Manipulasi

1314 Words
Suasana di rumah keluarga Gerard Soemantri malam ini penuh tawa, dimana seluruh keluarga Soemantri berkumpul merayakan hari ulang tahun pernikahannya dengan istrinya tercinta, Grace Soemantri. Celoteh dari cucu-cucu keluarga itu membuat suasana semakin ramai, sembari mereka menunggu jam makan malam, para pelayan masih menghidangkan makanan di meja. Grace, yang sangat cantik malam ini, dan selalu cantik, resah menunggu kedatangan anak keduanya yang sudah lama tidak pulang ke rumah mereka. Glen anak tertuanya, penasaran melihat ibunya yang tampak tidak tenang sejak tadi. "Ma, liatin apa sih dari tadi ke arah pintu?" Grace gugup menjawab pertanyaan putranya itu. "Oh, itu, Mama—" Tiba-tiba suasana sepi, orang-orang yang tadi berisik semuanya menjadi diam tak bersuara. Glen yang bingung melihat suasana yang tiba-tiba berubah, membalikkan badannya dan melihat ke arah pintu, dimana semua mata mengarah ke sana. Grace langsung menghampiri dan memeluk putranya yang sudah di tunggu sejak tadi. "Mama, pikir kamu tidak akan datang, Nak." Gabriel Hagai Soemantri hanya membalas dengan tersenyum pada ibunya, sambil memeluk wanita itu. "Gue, nggak nyangka, lu berani datang ke rumah ini!" bentak Glen, saat melihat adiknya datang ke rumah orang tua mereka.Matanya tajam penuh dendam menatap, Gabriel. "Glen, mama yang minta adikmu untuk datang," sahut Grace, agar putra tertuanya itu tenang. "Mama, nggak seharusnya mengundang dia ke rumah ini, Ma!" Teriakan penuh amarah Glen bergema di ruang tamu yang sangat hening sekaligus tegang. "Jaga ucapanmu, Glen! Papa, tidak suka kamu membentak istri, papa, seperti itu." Gerard memperingatkan putra tertuanya, tapi tampak acuh pada putra bungsunya, Gabriel. "Sekarang, kita semua makan." "Aku tidak mau satu meja dengan pembunuh seperti dia, Pa," ucap Glen cetus dengan ekspresi jijik. Dan dia marah pada orang tuanya yang telah mengundang Gabriel. Gabriel mendengus dan menatap kakak laki-lakinyanya itu bosan. "Dasar manusia nggak tau diri, lu! Sonia mati karena lu b******k!" Glen tampak murka melihat Gabriel yang menanggapinya dengan santai. "Sonia mati karena diri dia membunuh dirinya sendiri. Lu nggak usah berlebihan," sahut Gabriel dengan wajah dingin. "b******k lu!" Glen sudah hampir ingin menerjang adiknya, tapi langsung dihentikan bentakan ayah mereka. "Cukup! Kalian berdua, keluar dari rumah ini kalau hanya membuat keributan!" bentak Gerard marah. "Baiklah, aku pergi dari sini. Happy anniversary, Pa, Ma." Gabriel mencium pipi ibunya, tapi Grace langsung menangis dan berusaha menahan putranya untuk tetap tinggal, sedangkan suami diam saja, tampak tidak berusaha menahan Gabriel. "Elu, jangan berani, nunjukkin muka lu, di hadapan kami!" Glen berteriak pada Gabriel saat adiknya itu berjalan menuju pintu. Gabriel yang sudah muak dipersalahkan selama ini, menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Glen dan seluruh keluarganya yang sedang menatap kepergiannya tadi. Persetan, pikirnya. Malam ini Gabriel tidak akan diam seperti sebelumnya.Dia maju satu langkah dan memandang Glen, dengan tatapan cemooh dan kasihan, yang membuat kakaknya itu berang saat melihat ekspresi itu. Lalu Gabriel, berkata, "Hidup lu benar-benar mengenaskan Glen. Lu nggak bisa beranjak dari masa lalu, " lalu dia menatap, istri kedua Glen, Yizka Soemantri, "Kak Yizka, lu pasti menderita banget ya hidup bersama suami yang penuh dendam dan tinggal dalam kenangan mendiang istri pertamanya?" Yizka langsung menunduk, karena ucapan Gabriel tepat sasaran. Glen langsung memakinya. "Sialan lu, Gabe! Elu yang bikin Sonia—" "Perempuan manipulatif seperti dia, pantas menerima hal itu." Gabriel langsung memotong ucapan kakaknya. Amarah Glen semakin tersulut. "Dasar pembunuh!" Gabriel terkekeh. "Istri lu yang membunuh dirinya sendiri, dan lu jelas tau alasan istri lo bunuh diri, karena cinta mati ke gue. Jadi, kalau dia melakukan hal bodoh itu, kerena gue udah menolak perasaannya, menurut lu, itu kesalahan gue?" Glen langsung menerjang Gabriel, tapi pria itu berhasil mengelak dan justru berhasil memukul, kakaknya itu hingga jatuh. Istri Glen langsung menghampiri suaminya namun ditepis langsung oleh suaminya. "Sudah cukup! Kalian berdua sekarang keluar!" Kali ini Gerard benar-benar marah pada kedua anaknya, tapi Gabriel tidak menggubris teriakan ayahnya. "Kemarahan lu ini hanya karena Sonia lebih cinta gue kan? karena gue nggak yakin, lu masih menangisi kematian Sonia," ucap Gabriel, menatap Glen sinis. "Gue kasihan sama lu, yang nggak pernah bisa menerima kalau orang lain lebih unggul dari lu, Kak." keluarga besar Soemantri yang hadir diam mendengar perkataannya. "Ma, aku pergi dan mulai sekarang aku akan sering datang ke rumah ini." Gabriel pergi dari rumah orang tuanya yang sudah tidak dipijaknya sejak deri sepuluh tahun lalu, semenjak kakak iparnya, Sonia meninggal karena bunuh diri. Setiap mengingat Sonia, darah Gabriel mendidih, perempuan medusa penuh manipulasi itu menghancurkan hubungannya dengan kakak laki-lakinya, Jonathan Glen Soemantri. Sejak saat itu, Gabriel berjanji pada dirinya sendiri, kalau dia bertemu dengan perempuan pembohong, dan rela melakukan apapun demi mendapatkan ambisinya, Gabriel bersumpah akan mengirim perempuan seperti itu ke neraka. Ponselnya berdering saat Gabriel tiba di bengkelnya, nama Matteo Lukas Panggabean tertera di layar ponselnya. "Ya, Matt?" "Lu kemarin bilang butuh asisten kan untuk bantu rapiin semua file-file lu itu, kan?" "Iya, Kenapa? Ada yang mau lu rekomendasikan?" "Ada nih, temannya Jo, dia jago filing, dijamin semua berkas-berkas, dan kertas-kertas dari yang penting dan yang nggak penting tersusun pada tempatnya." "Okay, tapi gue nggak langsung menerima karyawan tetap ya, Matt, gue akan kasih waktu sebulan untuk lihat hasil kerjanya dulu, setelah itu gue akan liat, dia cocok jadi karyawan tetap gue apa nggak." "Sip, dijamin deh, lu nggak bakal nggak kecewa, dia cekatan dibidangnya." "Okay. She or He?" "Woman." "Gue harap, temen Jo ini bukan tipe baperan." "Yang ada lu ntar yang baper." Gabriel mendengus lalu tertawa. "Kapan dia bisa masuk?" "Besok, langsung suruh jumpa gue, di bengkel utama." "Dia, mau lu tempati di bengkel?" "Yup, lagian kertas-kertas di sana amburadul, gue udah pengen bakar, karyawan kemarin kerjanya nggak beres." "Okay, besok dia akan ke sana." "Thank's, Matt." "You're welcome." Gabriel yang dulunya seorang dokter dan sekarang beralih menjadi pengusaha spare part otomotif, juga menjual mobil dan motor yang limited edition, dan memodifikasi mobil dan motor lama. Dia juga sering bepergian, baik travelling sendiri, atau karena ada bencana di satu daerah atau negara yang membutuhkan tenaga medis sukarelawan, dan Gabriel masih bergabung di dalam tim medis khusus sukarelawan. Hidup Gabriel hanya berputar di dalam lingkup itu selama sepuluh tahun belakangan ini, dia tidak memiliki kekasih, pria itu terlalu malas berurusan dengan yang namanya perempuan, menurut Gabriel, perempuan terlalu manipulatif, dan sering menggunakan kelemahan mereka sebagai senjata untuk mencapai tujuannya. Keesokan harinya, Gabriel bertemu jenis perempuan yang dihindarinya selama ini, yang rela melakukan apa saja demi ambisinya. "Selamat siang, Pak Gabriel." Senyum ramah terukir di bibir perempuan yang baru saja masuk ke ruang kerja di bengkelnya. Gabriel memperhatikan perempuan yang berdiri di depannya ini dengan seksama, bertubuh sintal dan padat, rambut kecokelatan berombak hampir mencapai punggung, kulit cerah merona, dan bibir itu, tampak penuh dan menggoda. Menggoda? Sejak kapan Gabriel merasa bibir perempuan membuatnya tergoda. Gabriel berdehem karena sempat memikirkan bibir wanita di hadapannya. "Kamu yang direkomendasikan Matt?" "Iya, Pak. Nama saya, Rossa," jawab masih tetap tersenyum. Gabriel memperhatikannya dengan penuh selidik, lalu berkata, "Silahkan duduk." "Terima kasih, Pak." Dia berdoa, semoga suara terdengar meyakinkan saat mengucapkan namanya tadi. Rossa adalah nama samaran yang dia pilih, karena dia kawatir mungkin saja, Gabriel, pernah dengar jika dia memakai nama asliny. Lalu dia kembali berkata, " Dan ini sertifikat saya—" "Tidak perlu, karena Matt yang merekomendasikanmu aku percaya, jadi jangan mempermalukan Matt dan Jo." "Siap, Pak!" Tamara langsung berdiri dan menyodorkan tangannya pada Gabriel membuat pria itu terkejut karena reaksinya. Gabriel menerima uluran tangan wanita itu dengan sedikit ragu, dan akhirnya mereka bersalaman. "Sekarang saya siap memulai pekerjaan saya, Pak," kataTamara, dengan semangat. Benar apa yang dikatakan, Josephine, bahwa, Gabriel, tidak akan memeriksa sertifikat atau ijazahnya karena Matt yang merekomendasikannya, padahal Tamara sudah siap memberikan alasan konyol, kalau sertifikatnya ternyata jatuh saat menuju ke bengkel. "Akan saya beritahukan apa yang harus kamu kerjakan, dan suara kamu,tolong kamu pelankan sedikit." "Siap, Pak!" sahut Tamara dengan suara tinggi. Baiklah, sepertinya perempuan ini tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan Gabriel. Pria itu pun memberitahukan pekerjaannya, merapikan dan menyusun semua dokumen,juga semua kertas-kertas yang membuat Gabriel pusing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD