bc

Antara Delusi dan Cinta

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
sex
escape while being pregnant
friends to lovers
pregnant
goodgirl
female lead
first love
spiritual
love at the first sight
prostitute
like
intro-logo
Blurb

Dua orang temanku pernah berpacaran, dengan karena itu mereka terjangkit virus HIV/AIDS, akibat melakukan sesuatu yang di luar batas.

“Seseorang yang baik adalah seseorang yang tahu batas-batas dirinya,” kata Darsam.

chap-preview
Free preview
Tampak Asing
Hujan baru saja turun saat Gea sedang membaringkan tubuhnya di atas ranjang, di sebuah kamar kontrakan yang kondisinya masih berantakan. Ketika itu, dia baru saja tiba dari sebuah toko buku yang paling besar dan lengkap di Kota Malang. Beberapa buku yang dibelinya masih tersimpan rapi di dalam tas kulit yang dia beli dengan cara mencicil melalui teman dekatnya—Dita, yang semenjak liburan semester enam kemarin belum terlihat batang hidupnya. Ketika itu dia mengatakan kalau dirinya akan pergi untuk bertemu kedua orang tuanya di Kota Bekasi, 829 kilo meter dari Kota Malang. Di atas ranjang, Gea sungguh merasa lelah. Hati dan pikirannya terasa begitu berantakan sejak dia dari kampus tadi. Alasan pertama, dikarenakan seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya telah menuduh dirinya sudah melukai hati Darsam. Jelas saja Gea tidak habis pikir dengan tuduhan seperti itu. Bagaimana mungkin dirinya bisa melukai hati seseorang—Dewi—yang sama sekali tidak dikenalnya itu. “Apa maksudnya orang itu mengatakan hal tidak sepatutnya itu padaku?” batin Gea, yang bekalangan ini lebih suka menyendiri daripada pergi ke sana ke mari diajak oleh teman-temannya di mana mereka rata-rata anak orang kaya. Bisa jadi tuduhan itu meluncur kepada Gea, karena selama ini dia menutup diri dari pergaulannya dengan laki-laki. Menurutnya, Bukan tanpa alasan hal itu dilakukan Gea, sesudah dia sadar sepenuhnya kalau di muka bumi saat ini sangat jarang ada laki-laki yang baik, yang tidak memandang perempuan sebagai mangsa dari laki-laki atau sebagai objek pemuas nafsu belaka dalam pengertian seluas-luasanya. Namun jika soal menutup diri yang menjadi masalah, adakah sikap semacam itu membuat hati seorang jadi terluka karenanya? Ini lah yang tidak ada habisnya dipikirkannya, sehingga dia merasa pusing sendiri. Di sisi lain, sebagai perempuan normal, jelas saja dia sangat merindukan hadirnya sosok kekasih yang bisa memahami dirinya sampai ke relung batinnya. Kedua, yang membuat kepalanya mumet ialah timbulnya sejumlah pertanyaan dari Uci yang ditujukan padanya secara tidak terduga. Pertanyaannya itu adalah, apakah Gea pernah tidur dengan seorang laki-laki? Dalam kejadian itu, apakah Gea merasa puas melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan tali perkawinan? Adakah Gea sepakat kalau lembaga perkawinan itu merupakan sebuah lembaga yang tidak jelas, di mana secara diam diam menggiring kaum perempuan melompat ke dalam jurang p********n batin yang sudah dirancang secara permanen dan terstruktur oleh kaum laki laki? Dalam arti lain, apakah perkawinan merupakan institusi yang dibuat berdasarkan konsep patriarkal? Timbulnya pertanyaan seperti itu dari benak Uci, jelas saja membuat Gea tidak habis pikir dibuatnya. Dia merasa begitu sedih, dan bahkan pedih; saat dirinya digeneralisir dengan perempuan lain, yang tidak dapat lagi membedakan apa yang halal dan haram untuk dinikmati di muka bumi. Uci bertanya demikian pada Gea dengan sejumlah alasan. Uci dengan enteng mengakui jika dirinya bisa menikmati hubungan layaknya suami isteri secara wajar tanpa merasa bersalah pada siapa pun. Di sisi lain, adanya lembaga perkawinan bagi Uci menjadi tidak penting, sebab perempuan tidak musti terikat dan bahkan tunduk pada kaum laki-laki. “Di zaman seperti saat ini, kaum perempuan harus menguasai laki-laki. Tubuh kita dapat dijadikan modal untuk memperdaya mereka. s**s merupakan jalan ke arah itu, s**s dengan demikian buat saya ialah urusan manusia, bukan urusan siapa pun!: kata Uci yang meledakkan atngis di kedalaman hati Gea. Jangankan menikmati hubungan s**s baik secara halal atau haram, berpelukan saja tidak pernah dilakukannya. Jadi apa maksud dari Uci mengatakan itu? Batin Gea kembali bertanya tanya. Kenapa kita harus memperumit hidup kita dengan persoalan semacam itu, sedang persoalan di luar itu belum mampu diselesaikannya dengan baik,bersuci misalnya? Ya meman, Tuhan sudah memberikan kenikmatian yang tiada tara kepada manusia ketika melakukan hubungan s**s bersama lawan jenis yang dicintainya, tapi demikian dalam cara menikmatinya itu harus melalui jalan yang benar. Jika menyimpang, maka akibat dari persoalan s**s ini, tidak hanya akan mengemuka di muka bumi yang memunculkan aib baru bagi si pelaku dan keluarga pelaku, namun menyangkut urusan akhirat, yang pedih. Setidaknya para ulama mengatakan demikian, kurang lebih. Timbulnya pertanyaan yang dirasa bukan pada tempatnya itu, bukan hanya sekali itu saja diajukan oleh teman-teman Gea padanya, sehingga dia merasa jengah, menyisih dari dunia ramai, menyendiri, menggali kenikmatan rohani bagai para sufi dan orang-orang suci lainnya. Meski bukan sufi, menyendiri bagi Gea memang memberikan kenikmatan batin tersendiri yang luar biasa, apalagi kalau saat tiba pada sebuah perenungan tentang hidup dan kehidupan itu sendiri yang harus berhadapan dengan kematian. Bukan cuma itu, di dalam benaknya muncul juga sejumlah pertanyaan lainnya yang bergaung tanpa jawaban. Contohnya Gea kerap bertanya mengenai asal muasal kehidupan. Sebelum Tuhan mencipta manusia, bukankah asal muasal manusia itu tiada? Kemudian sesudah dicipta dan mengada, sesudah mengalami kematian di muka bumi, kenapa manusia tidak kembali ke tiada? Jika manusia kembali ke tiada, jelas tidak akan ada tempat yang diberi nama surge atau neraka. Namun kenyataannya, tidak seperti itu adanya di percakapan pubik. Sesudah manusia mengalami kematian yang sangat menyakitkan itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Rasulullah, dan bahkan dalam firmanNya, manusia ternyata harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan yang pernah dilakukannya semasa dia hidup di muka bumi. “Uci, aku memang bukan manusia modern yang kau bangga-banggakan itu, yang senantiasa beranggapan kalau semua urusan manusia di muka bumi merupakan urusan manusia dan bukan urusan yang lain. Aku tidak dapat hidup dalam duniamu yang sedemikian bebas seakan hidup tanpa batas, tanpa ada Yang di Atas. s**s bukan segalanya bagi hidupku. Jika Yang di Atas menjauh dari jangkauan hatiku, justru itulah yang membuatku takut,” jawab Gea pada ketika itu, disambul oleh gelak tawa si Uci, yang berkali-kali mengatakan kalau Gea tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan kota metropolitan, yang kerap marak dengan berbagai hiburan malam, yang memanjakan ruh dan daging dengan kenikmatan s**s yang luar biasa. “Jika begitu, aku ingin mengajukan pertanyaan lain. Apakah kau pernah melakukan, maaf, o***i?” katanya tanpa sungkan. Dipukul oleh pertanyaan seperti itu, Gea cuma mengusap d**a, dan menyeka wajahnya berkali-kali sembari mengucap lirih asma Allah. Atas timbulnya pertanyaan Uci itu; ternyata dalam pikiran Gea sudah bermetamorfosa ke dalam bentuk pertanyaan yang lain, seperti pertanyaan semacam ini; siapa yang memutuskan peran seseorang di muka bumi jadi pahlawan atau b******n, jadi orang suci atau penuh ktukan? Adakah semua itu telah ditentukan oleh Tuhan, ataukah oleh manusia itu sendiri saat kehidupan sudah digelarNya dengan penuh pesona di hadapan manusia? “Ya Allah… Betapa kecilnya manusia di hadapanMu. Pertanyaan demi pertanyaan yang hamba layangkan tidak bisa jawab. Betapa terbatasnya ilmu pengetahuan manusia, yang terkadang merasa sombong terhadap sesamanya, bahkan kepada diriMu ada pula yang betindak demkian!” Gea merintih dalam tali cintanya. Apabila rintihan batinnya telah tiba ke situ, diam-diam Gea kerap menitikkan air mata. Betapa kecil dan kerdilnya manusia di hadapan Yang Maha Kuasa, betapa terbatasnya daya nalar manusia saat berhadapan dengan sejumlah pertanyaan seperti itu, yang ternyata tidak dapat menjawabnya secara telak; selain menduga sebuah jawaban yang diandaikannya dapat memberikan kepuasan batin buat dirinya sendiri atau orang lain. Tersadar oleh deruan angina dingin, Gea bangun dari tempat tidurnya. Dia lalu mendekat ke arah daun jendala yang sedari tadi pagi lupa dia kunci. Untung saja tidak ada orang jahat masuk ke dalam kamar tidurnya. Saat tiba di muka jendela, seketika dia terpukau menatap butiran air hujan yang bersentuhan dengan cahaya lampu jalanan. Di samping itu, dia juga melihat warna langit yang gelap, yang menyebar ke berbagai arah, semacam ular yang mencari korban. Jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam. Sesudah pintu jendela dia kunci, dan kain gorden dipasang, sebagaimana mestinya dia lekas ke kamar kecil, mengambil air wudu. Kemudian dia menjamak salat maghrib dan isya. Dan itu lebih baik daripada tidak salat maghrib sama sekali. Ketika itu, kala waktu maghrib tiba, Gea masih di atas angkot, jalanan penuh sesak, antara lain disebabkan peristiwa tabrakan antara angkot. Kedua sopir dari kedua kendaraan yang bertabrakan itu pada ke luar dari kendaraannya masing-masing. Kemudian bertengkar hebat di tengah jalan. Ah, mungkin bukan tabrakan melainkan senggolan biasa. Ya, kedua angkot itu mungkin bersenggolan. Namun akibatnya, Subhanallah, kenapa harus sampai bertengkar hebat dan saling ancam akan membunuh? Kenapa tidak saling memaafkan? Sesudah salat dan berdoa, Gea kembali membaringkan dirinya sendiri di atas ranjang. Sembari rebahan, dibukanya tas kulit yang tadi dia lemparkan ke atas ranjang. Kemudian diambilnya beberapa buku yang masih dibungkus oleh kantong plastik, yang kemudian dirobeknya bungkusan plastik tersebut. Sesudah itu di abaca kembali satu demi satu judul buku yang dibelinya itu, terdapat tiga buah buku kumpulan cerita pendek, satu buku novel, dan dua di antaranya kompilasi puisi. Saat Gea hendak membaca salah satu di antaranya, mendadak kamar pintu kontrakannya ada yang mengetuk. “Gea, ada tamu!” seru Ibu kosnya, yang bernama Kalis Mardiasih. Ibu Kalis ini telah kehilangan tiga anak perempuannya dalam sebuah kecelakaan di Selat Madura saat kapal yang mereka tumpangi tenggelam dalam perjalanan menuju Pulau Madura. Sebuah pulau yang cukup dikenal dengan budaya karapan sapinya itu. Di samping itu, dikenal juga makanan khasnya yakni, Bebek Sinjai, di mana racikan bumbunya bisa mendoktrin kepala setiap orang untuk ingin dan ingin terus menyantapnya. “Baik, Bu! Saya segera ke sana,” seru Gea yang kelembutan suaranya sangat enak didengar. Sembari merapikan pakaian, sesudah memakai kerudung, dan berdandan sebagaimana biasanya, Gea lekas menuju ruang tamu. Ketika itu, dia begitu kaget berhadapan dengan seorang tamu laki-laki yang selama ini tidak dikenalnya, dan bahkan Gea baru melihat sosoknya kali ini. “Mau bertemu dengan saya?” tanya Gea. “Ya,” jawab laki-laki itu, tatapannya tajam. Ditatap seperti itu membuat Gea merasa takut kalau dirinya sedang berada dalam sebuah masalah yang tidak dia ketahui dengan pasti. Dan untuk menghilangkan ketakutannya itu, Gea kembali bertanya pada laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya itu. “Apa tidak salah orang yang anda cari itu saya?” “Sama sekali tidak. Namamu Gea, kan?” “Ya, memang. Ada perlu apa?” “Maaf mengganggu. ku datang ke sini cuma untuk menyerahkan dompet milikmu yang jatuh di Toko Buku tadi. Bisa jadi kau waktu itu tidak merasakannya, sebab tadi kau terlihat begitu tergesa-gesa ke luar toko,” papar laki-laki itu, sambil menyerahkan sebuah dompet di mana warna dan bentuknya mirip milik Gea. “Dompet? Saya rasa dompet saya masih ada di dalam tas saya. Bentuk dan warnanya memang sama dengan dompet milik saya. Sebentar, saya akan memastikan, dompet saya masih ada di dalam tas atau tidak,” tegas Gea dengan suasana hati yang bimbang. “Silakan, dan itu sangat bagus untuk membuat kau yakin apakah dompetmu itu benar-benar jatuh atau memang dompet ini milik Gea yang lain, yang namanya kebetulan sama dengan namamu,” jawab laki-laki itu, dia sangat yakin bahwa Gea sedang sangat meragukannya. Sesudah laki-laki tak dikenalnya itu mengatakan demikian, Gea segera masuk ke dalam kamar kontrakannya. Dibukanya tas kulit kesayangannya itu dengan tangan gemetaran. Saat dibuka, ternyata dompet itu memang tidak ada. “Ya, Allah, saya benar-benar sudah kehilangan dompet!” rintih Gea dalam hati. Sesudah itu, dia lekas kembali ke ruang tamu menemui laki-laki tak dikenalnya tadi. “Ya, tenyata dompet saya memang tidak ada. Tapi saya tidak begitu yakin, dompet yang anda bawa itu dompet milik saya atau bisa jadi punya orang lain.” “Kalau gitu, periksa saja dompet ini,” jelas laki-laki itu, sambil mengulurkan dompet yang dipegangnya pada Gea. Kok bisa dompet kesayangannya itu terjatuh dari dalam tasnya dan dia sama sekali tidak merasakannya? Batin Gea. Jangan-jangan tanpa dia sadari, ketika itu ada seseorang yang diam-diam berusaha mencurinya. Kalau ada, lalu apa pentingnya? Uang? Wah, jangan-jangan uang untuk hidup selama satu bulan ikut hilang diambil orang yang sekarang ada di hadapannya? Atau diambil orang lain, dan yang tersisa hanyalah dompetnya saja? “Tidak, saya tidak boleh berprasangka buruk,” gumamnya. Ingat tentang sejumlah uang yang ada di dalam dompetnya itu, mendadak wajah Gea terlihat pucat pasi. Sesudah dompet itu diterimanya, Gea lekas memeriksa isi dompet tersebut, ternyata masih utuh. “Alhamdulillah…” gumam Gea. “Terima kasih, anda sudah mengembalikan dompet milik saya. Anda pasti tahu alamat saya dari KTP yang ada di dompet saya. Harus dengan cara apa sayang mengucapkan rasa terima kasih saya kepada anda? Oh iya, jika boleh tahu, siapa nama anda?” tanya Gea. Biasanya Gea malas bertanya soal nama kepada lawan jenisnya, yang sama sekali tidak dikenalnya. Namun kali ini, apa boleh buat. Semua harus dilakukannya demi kelancaran berkomunikasi dengan laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Apalagi laki-laki tampan yang ada di depannya ini sudah menolongnya, mengembalikan dompet miliknya yang jatuh di toko buku yang tadi dikunjunginya sepulang kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Ketampanan laki-laki yang ada di hadapan dirinya ini setidaknya sudah mengingatkan Gea pada wajah Rangga, seorang pelukis yang pernah menggemparkan hati dan perasaannya saat untuk pertama kalinya Gea disengat cinta, di mana sengatan itu nyaris menyebabkan dirinya hampir melakukan tindakan bodoh—bunuh diri—saat Rangga memilih lepas dari kisah hidupnya. Untung saja hal seperti itu dapat dihindari Gea meskipun hatinya masih terasa hancur. Ketika itu dengan nada dingin, Rangga mengatakan demikian, “hubungan kita selesai sampai di sini.” Ingat hal itu nyaris membuat Gea menitikkan air mata. Tapi dia segera tersedar saat laki-laki yang ada di hadapan dirinya mengatakan, “Namaku Darsam, boleh aku memanggilmu seperti yang tertera di KTP? pintanya. “Boleh, silakan,” jawab Gea. Namun sesaat kemudian sesudah nama Darsam terucap dari mulut laki-laki yang ada di depannya, tiba-tiba saja hati Gea jadi berdebar-debar. Jangan-jangan laki-laki inilah yang sudah dilukainua itu; sebagaimana tuduhan orang tak dikenal terhadap dirinya. Gea mendadak dipaksa berpikir keras, kenapa dirinya harus berurusan dengan seorang yang mengaku bernama Darsam selagi baying-bayang Rangga terus menerus menghantuinya. Lebih dari itu, kenapa juga dompet miliknya harus jatuh tadi? Senyap. Waktu terasa lambat. Keduanya menarik napas dalam-dalam, kemudian dihembuskannya perlahan. Hujan di luar sana masih belum reda. Sesekali terdengar lolongan anjing kampong dan tiang listrik dipukul orang. Gea pamit sejenak ke belakang untuk mengambil air minum dan beberapa makanan ringan, yang mudah-mudahan masih tersedia di lemari makanan. Tidak lama setlah itu, Gea telah berada di ruang tamu, menyuguhkan dua gelas air teh hangat dan sedikit makanan ringan. Saat Gea menawari Darsam untuk minum air teh hangat, Darsam lekas meneguknya seperti orang dehidrasi. “Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih kalau anda sudah mengembalikan dompet milik saya. Harus dengan cara apa saya mengucapkan terima kasih ini?” ulang Gea. Ditanya demikian, Darsam cuma tersenyum. “Tidak perlu repot-repot, bisa kenalan denganmu sudah cukup buatku. Oh iya, kenapa tadi Gea terburu-buru meninggalkan toko buku? Apa takut akan turun hujan?” tanya Darsam, berupaya mencairkan suasana yang terasa beku dan kaku. Beku dan kaku tentu saja terjadi, karena keduanya baru saja bertemu dalam sebuah kejadian yang tak pernah terduga, yang hingga sekarang masih terus menyimpan sejumlah pertanyaan dalam benak Gea, kenapa dompet miliknya itu dapat jatuh. Apakah dicopet orang di atas angkot. Jika memang dicopet, kenapa dompet itu ada di tangan Darsam yang kemudian menyerahkannya kepada dirinya? Adakah Darsam pucuk pimpinan sejumlah copet di kota ini? Tanya jawab bergaung di batin Gea. “Astagfirullah. Lagi-lagi saya berprasangka buruk. Ya, Allah, mohon ampun sekiranya atas prasangka buruk seperti itu,” gumam Gea, di mana tatapannya sesekali mendarat di mata Darsam yang katanya tampan itu, yang tutur katanya enak didengar, layak pemain teater kenamaan yang sering ditontonnya. Meski bahasanya tidak seformal dirinya. “Saya tadi tergesa-gesa sebab memang takut kehujanan. Apakah ketika itu anda ada di toko buku yang sama?” tanya Gea. Lagi dan lagi, Darsam kembali tersenyum. “Ya, tadi aku ada di toko buku itu. Memperhatikan dirimu dari jauh. Saat dompetmu jatuh, ada seseorang yang mengambilnya, kemudian, aku mendekatinya dan meminta orang itu untuk memberikan dompet milikmu padaku. Saat aku akan mengejar dirimu, ketika itu juga kau telah naik angkot. Ya, sudah, akhirnya aku putuskan hari ini juga aku harus mengantarkan dompet ini ke alamat yang sesuai di KTP. Gea, apa dompetmu sering jatuh?” “Tidak, baru kali ini.” “Oh ya? Apa isinya masih utuh?” “Ya, masih utuh. Kalau dompet ini hilang, aku tidak tahu ke mana harus mencarinya. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Darsam. Ngomong-ngomong, gimana bisa dompet itu bisa diserahkan orang yang kau sebut tadi padamu?” tanya Gea. “He he, sudah aku-kau, ya..,” gumam Darsam. “Hem?” “Tidak-tidak. Oh, orang yang saat itu menunggu dompet milikmu, kebetulan aku mengenalnya. Dia ternyata masih satu kampong denganku. Ketika itu tampaknya ada seorang petugas keamanan di toko buku itu yang memperhatikan apa yang aku lakukan. Dia mendekatiku dan bertanya ini itu. Kemudian aku harus berurusan dengan petugas keamanan di toko buku itu saat berniat mengejarmu tadi untuk mengantarkan dompet ini padamu. Dan sebelum aku mengejarmu, KTP ku ditahan sebagai jaminan kalau aku bukanlah penipu, pencopet atau apalah itu namanya. KTP itu besok musti kuambil dan baru akan diberikan padaku kalau aku datang denganmu, pemilik dompet ini. Mau tidak besok pagi jam sepuluh kita pergi ke toko buku itu lagi?” “Gitu, ya?” “Iya.” “Baiklah. Lalu apa yang menggerakkan dirimu datang ke sini?” “Ada banyak hal. Pertama aku ingin berkenalan denganmu, itu pun jika kau tidak keberatan dengan maksudku itu. Kedua, aku lihat isinya ada sejumlah uang yang cukup banyak, dan juga ada secarik kertas yang tentunya sangat penting bagi dirimu. Di samping itu ada pula resep dokter yang apabila dilihat dari daftar obat-obatan yang harus dibeli oleh si orang yang memiliki resep dokter tersebut; ialah obat-obatan yang berkaitan dengan penyakit jantung. Aku tidak tahu, apakah resep obat itu milikmu atau bukan. Aku tidak sempat membaca lebih detail, selain memperhatikan daftar obat-obatan yang ada di resep itu,” papar Darsam. Gea agak terkejut mendengar penjelasan Darsam barusan. Terutama mengenai resep dokter itu, resep obat yang menjadi riwayat penyakit jantung milik ibunya, di mana sebulan lalu meninggal dunia di atas angkot. Resep itu belum sempat dibelinya, karena serangan jantung yang menimpa ibunya benar-benar terjadi secara tiba-tiba, sama sekali tidak dia duga sesudah beberapa menit ke luar dari ruang internis di sebuah laboratorium, di Jalan Nasution, di Kota Kediri, tempat kelahiran Gea, 180 kilo meter dari Kota Malang. “Sekali lagi, aku mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Resep itu tidak jadi aku beli, sebab si pemilik resep tersebut adalah ibu aku, sudah meninggal dunia secara tiba-tiba di atas angkot, yang ketika itu baru beberapa menit ke luar dari tempat prakter dr. Imam yang memeriksanya. Aku diberi tugas oleh ibuku untuk membeli obat yang tertera di resep itu di sebuah apotek langganan almarhumah. Ketika itu, ibuku bersama dengan kakakku pulang menuju rumah, sementara aku naik angkot lain menuju apotek yang dimaksud ibuku,” jelas Gea, yang tanpa dia sadari, air matanya mulai menetes. “Resep obat itu memang sengaja aku simpan sebagai kenang-kenangan. Maaf, aku malah jadi cerita tentang ibuku,” tutur Gea. “Aku yang semestinya minta maaf. Apa yang sudah aku lakukan tidak aku duga bakal menggali kesedihan di hatimu. Ibuku juga telah meninggal dunia dengan cara yang tragis, yang tidak dapat aku terima adanya. Ibuku dibunuh oleh sejumlah perampok pada suatu malam yang tidak bisa aku lupakan hingga detik ini. Ketika itu aku sedang berada di Bali. Hingga sekarang jejak para pembunuh ibuku belum terlacak, padahal kejadiannya sudah berlangsung hampir enam bulan yang lalu. Kita sama-sama sudah kehilangan sosok ibu, orang yang paling kita cintai. Selain itu, ayahku juga telah meninggal ditembak orang. Aku tahu nama-nama obat itu berdasar pada pengalaman dari kisah nenekku yang menyedihkan itu, yang meninggal di kamar mandi,” tutur Darsam. “Kalau gitu, riwayat hidup kita nyaris sama. Kita sama-sama kehilangan orang yang kita cintai. Mau tidak mau, kita harus mengikhlaskannya,” jawab Gea. “Iya.”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
102.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.7K
bc

My Secret Little Wife

read
98.9K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook