2. Terkenang

1687 Words
Pak Leman mengayuh becaknya melewati beberapa rumah di kanan-kiri. Satu dua orang duduk-duduk di teras rumah, pinggir jalan, dan sebuah warung, namun tak seorang pun menyapa bapak tua pengayuh becak di hadapan. Pikir mereka samalah bapak tua itu dengan tukang becak pada umumnya. Tak ada yang spesial dari pekerjaannya dan lagi buat apa menegur sapa, toh di antara mereka tak memliki hubungan apapun. Sekadar tetangga. Sebatas tahu. Tahu wajah. Tahu nama. Sayang tak tahu sejarah. Pahlawan menangis, Indonesia menangis. Pak Leman tersenyum. Beberapa dari mereka membalas dan banyak yang acuh. Kasihan Pak Leman. Semestinya yang mudalah yang memulai sebagai rasa hormat terhadap yang lebih tua. Namun itu bukanlah masalah bagi Pak Leman. Bukan beban apalagi persoalan berat. Pak Leman sudah terbiasa menanggapi balasan datar dari orang-orang di sekitar. Tak tahulah mereka siapa sesungguhnya Pak Leman. Tetapi andaikata mereka tahu pun akankah perilaku mereka bisa berubah halus dan sopan terhadap Pak Leman atau tetap sama seperti biasa-biasanya? Biarlah. Dengan ikhlas, Pak Leman menerima semua kenyataan. Becak melaju di jalan raya. Melewati pusat perbelanjaan. Berhenti di salah satu lampu lalu lintas. Kembali mengayuh, menyusuri padatnya kota. Pak Leman memberhentikan becaknya di depan sebuah pasar tradisional. Salah seorang ibu ke luar dari dalam pasar sambil menenteng beberapa plastik belanjaan. Melangkah menuju pangkalan becak. Tawar-menawar terjadi antara si ibu dengan abang becak di sudut sana dan nampaknya si ibu keberatan dengan harga yang diajukan abang becak itu. Lantas dipalingkannya wajah ke arah abang becak lain, kemudian mendekati. Terjadilah tawar-menawar dan lagi-lagi penolakanlah yang diterima abang becak lain. Si ibu tak menyerah. Ditatapnya Pak Leman. Untuk tukang becak satu ini agak berbeda. Tak pernah mematok harga. Baginya, penumpang juga pasti tahu harga yang pantas diberikan kepada para pengayuh becak disesuaikan dengan jarak tempuh yang akan dilalui dan berat beban yang dibawa. Pak Leman tak pernah mengadakan tawar-menawar dengan calon penumpang. Itulah yang akhirnya membuat penumpang justru mengingat wajahnya. Teringat kebaikannya. Sekali dua kali ada yang memanggil dari jauh. Hanya memanggil. Bermaksud memastikan jika benar dialah Pak Leman. Mereka ingat Pak Leman, tetapi tidak dengan Pak Leman sendiri. Maklumlah, usianya menginjak kepala tujuh sekarang. Sulit merekam satu persatu wajah penumpang yang penah menaiki becaknya. Namun walau demikian, Pak Leman sangat bersyukur sebab banyak di antara mereka yang tidak melupakannya. Kembali pada si ibu yang menjatuhkan pilihan pada becak Pak Leman. Si ibu sempat bingung dengan harga yang bakal diberi, karena selain barang bawaan yang cukup banyak, rute yang dilalui pun agak jauh serta padat. “Terserah ibu saja.” Si ibu bingung dengan ucapan Pak Leman. Khawatir pemberiannya nanti kurang, lebih takut kalau ketinggian. Sepanjang jalan si ibu termenung. Ia membuka dompet yang sedari tadi digenggam. Menghitung isinya. Mengeluarkan beberapa lembar. Kembali menghitung uang di tangan. Memastikan lembarannya pas. Sesuai keinginan. Sampailah di depan sebuah rumah yang nampak asri dan konstruksi bangunannya mirip tempo dulu. Beberapa tanaman tumbuh subur di halaman depan. Ada kolam ikan dan sebuah pohon rindang yang di depannya tersedia kursi panjang serta meja. Pak Leman memperhatikan saksama. Mendadak ia teringat lagi istrinya yang baik hati. Sejak menikah dengan Pak Leman, Bu Asih tak penah meminta apapun dari sang suami, kecuali ketulusan dan tanggung jawab. Baginya, hidup bersama suami hingga menua sudah sangat disyukuri. Hal terindah yang tak terbeli oleh apapun. Kalaupun ada permintaan, lebih baik disampaikan kepada Rabb. Siapa tahu kelak dikabul. Jika tidak di dunia ya di akhirat. Dalam hati kecil, Pak Leman mendambakan rumah di hadapan. Ia senang dengan gaya klasik yang dipertahankan oleh pemilik rumah. “Pak, pak. Ini uangnya,” Pak Leman terkejut. Diterimanya uang dari si ibu penumpang barusan, lalu dibantunya membawakan barang-barang belanjaan ke teras rumah. “Sudah di sini saja pak. Terima kasih banyak.” “Sama-sama. Mari bu.” Pak Leman undur diri. Dalam langkah menjauh mendadak pergelangan tangannya nyeri, tetapi sebentar. Dikayuhnya lagi becak ke tempat yang tadi disinggahi. Berharap penumpang di hari itu lebih banyak. Dengan begitu tak lagi ada kesempatan baginya untuk terdiam membayangkan almarhumah istri. Apalah guna memikirkan masa lalu? Toh hanya akan menambah pedih di hati. Biarlah itu tersimpan rapih di sanubari, menjadi kenangan yang tak kan pernah terganti. Menjalani biduk rumah tangga hampir setengah abad lamanya merupakan bagian terindah yang Allah berikan bagi Pak Leman. Kepada istrinya yang penyabar dan penuh kasih sayang, Pak Leman tak pernah mampu memberikan sesuatu lebih. Walau demikian, Bu Asih justru membalas dengan cinta yang betapa luar biasa. Bu Asih tak pernah mengeluh dengan penghasilan yang didapat Pak Leman sehari-hari, bahkan selalu bisa menyisihkan untuk bersedekah, meski hanya seribu atau dua ribu rupiah perhari. Terakhir kali Bu Asih berbagi kebahagiaan manakala becak Pak Leman melintasi tepian sungai selepas sholat ashar. Dua orang tunawisma nampak tidur di bawah pohon, posisi tubuhnya menyamping membelakangi jalan raya. Bu Asih meminta Pak Leman memberhentikan becaknya, kemudian turun dan menaruh uang lembaran dua ribu rupiah di depan masing-masing tunawisma yang bergeming, saking pulasnya. Bu Asih kembali naik ke becak diiringi pertanyaan Salya yang duduk di sampingnya. “Bukannya uang nenek tinggal sedikit?” “Iya, tetapi nenek sudah sisihkan. Lihat, mereka tidak punya tempat tinggal, makanya tidur di pinggir jalan. Kita beruntung masih punya rumah. Tidak kepanasan dan kehujanan.” “Kalau hujan, mereka pergi ke mana?” “Mencari tempat berteduh yang aman.” “Yang aman?” “Iya, biar tidak diusir. Misalnya di depan sebuah warung atau ruko-ruko yang sudah tutup supaya pemiliknya tidak menyuruh pergi. Sewaktu-waktu mereka juga bisa tertangkap oleh satpol PP yang sedang mengadakan rajia.” Pak Leman terkenang lagi masa kebersamaan itu. Indah. Sulit dilupakan dalam hitungan singkat. Oh waktu, segeralah berputar melampaui kisaran bulan demi bulan, tahun demi tahun. Berharap membawa semua cerita itu agar bisa sedikit memudar. Tetapi, bukankah bagian-bagian dari kenangan itu adalah hal yang paling abadi dalam ingatan? Hal yang tak pernah bisa terpisahkan. *** Di teras rumah, Pak Leman memakai pakaian serba hijau. Mirip tentara. Baju dan celananya sudah lusuh dan kusam. Ia sedang mengelapi becak tuanya yang berhimpitan dengan sepeda Salya. Di jok becak ada handuk kecil kumal dan topi yang dipasangi pin merah putih di sisi kanan. Becak tua, oh becak tua. Menjadi saksi bisu dari sebuah kerja keras, pengorbanan, juga cinta. Sebenarnya, Pak Leman jarang sakit, bahkan sepeninggal istrinya, Pak Leman masih sehat meski hatinya terluka. Namun entah mengapa, kali ini tiba-tiba Pak Leman merintih. Ia merasa nyeri pada pergelangan tangan kanan yang membuatnya sulit digerakan. Sakit. Tetapi rasa sakit itu muncul sesaat, lalu perlahan hilang dengan sendirinya. Pak Leman mencoba menggerakan kembali tangannya yang mulai membaik. Salya ke luar dari dalam rumah dengan mengenakan seragam sekolah dasar, kemudian duduk sembarang di bawah, memakai sepatu. Pak Leman menarik nafas dalam melihat sepatu Salya yang robek dan nyaris jebol. Salya menutup pintu, lalu naik ke becak disusul Pak Leman meraih handuk dan topi di jok becak. Becak didorong menuruni teras rumah. Pak Leman siap menjalani rutinitas. “Ya Allah, seluruh rezeki berada di tanganMu, baik itu rezeki dunia maupun akhirat. Berikan kepada kami rezeki yang menurutMu maslahat. Aamiin ya Allah Yaa Robbal Alamin,” Pak Leman berdoa dalam hati. “Bismillahirrahmanirrahim!” Becak melaju perlahan melewati satu dua rumah. Salah seorang tetangga Pak Leman, Kholik ke luar dari dalam rumahnya sambil mengangkat ember berisi jemuran pakaian, lalu menaruh sembarang. Ia menuju sepeda motor yang terparkir. Istrinya ke luar, menyalami. Kholik bekerja sebagai cleaning service di sebuah hotel berbintang. Ia menyapa Pak Leman dan Salya yang lewat. *** Jalan raya mulai ramai. Becak Pak Leman melintas di antaranya, melewati Hotel Cirebon, tempat Kholik bekerja. “Kek, Om Kholik kerjanya di hotel itu ya?” “Iya.” “Woow, besar ya kek. Satu, dua, enam, sembilan, sepuluh lantai. Tinggi sekali kek!” “Kamu tahu siapa pemiliknya?” “Enggak. Kakek kenal?” “Kenal. Pemiliknya itu seorang dermawan yang sangat baik dan peduli terhadap nasib para veteran, makanya beliau salah satu yang disebut sebagai sahabat veteran.” “Kakek kenapa enggak kerja di situ? Kan enak kek seperti Om Kholik.” “Terlalu tua untuk bekerja di hotel bintang seperti itu. Bekerja di sana itu harus lulusan sekolah tinggi. Harus pintar.” Di dalam Hotel Cirebon, Kholik sedang mengelapi kaca gedung, dilanjut membersihkan lantai dasar. Dari pintu utama hotel muncul Pak Dermawan diikuti asistennya, melangkah menuju lift. Semua karyawan yang berpapasan dengannya mengangguk hormat termasuk Kholik. Dengan ramah Pak Dermawan membalas tersenyum. Satu dua orang disapa. Di tempat lain, becak Pak Leman masih melaju. Melewati sebuah keraton. “Tiga Keraton di Cirebon sejarahnya berbeda-beda ya kek? Kakek tahu sejarahnya?” “Keraton adalah peninggalan sejarah yang menjadi cagar budaya. Merupakan kebanggaan masyarakat Cirebon. Kita wajib menjaga dan melestarikan. Mengenai sejarahnya kita harus tanya ke ahlinya supaya enggak salah!” “Ahlinya itu siapa?” “Ya orang yang pintar dibidang sejarah Cirebon.” “Kakek pintar enggak.” “Sedikit,” Pak Leman dan Salya tertawa. Dekat dari situ, di trotoar berdiri Pak Asman yang juga seorang veteran. Nasibnya tak jauh beda dengan Pak Leman. Kalau saja hidup berpihak padanya, mungkin ia tak bakal menjadi pengamen seperti sekarang. Pekerjaan semacam itu bukanlah keinginannya. Andai hidup tak memiliki tuntutan apapun. Dengan topi baret dan kacu merah putih yang dikalungkan di leher, Pak Asman duduk bersila sambil menggesek biola, membawakan instrument Lagu Tanah Airku. Terdengar sedih. Pilu. Menggetarkan. Pak Asman begitu menghayati permainan biolanya. Semacam kesakitan tengah melanda. Ada hal mengiris. Menyayat. Ia tenggelam ke masa lalu. Hatinya menangis. Beberapa pejalan kaki berhenti untuk menyaksikan penampilan bekas veteran berkelas seni. Pak Leman mengangkat tangan, menyapa Pak Asman yang kemudian membalasnya dengan senyuman. Salya melambaikan tangan. “Kakek Asman itu teman seperjuangan kakek waktu perang melawan siapa dan kapan kek?” “Ketika Belanda mengadakan agresi ke Cirebon. Saat itu rakyat bersama TNI bangkit melawan dan mengusir Belanda. Dari sekian banyak pasukan dan laskar pejuang ada pasukan bersenjata namanya pasukan kancil merah yang dipimpin Letnan Abdul Kadir. Kakek, Kakek Asman, dan Kakek Hamid termasuk anak buahnya.” “Kasihan Kakek Hamid, sakitnya enggak sembuh-sembuh! Ciri-ciri seorang pahlawan itu apa kek?” “Cirinya yang paling menonjol adalah membela keyakinan sampai mati. Pahlawan itu pejuang yang gagah berani dalam membela kebenaran dan rela berkorban.” Becak Pak Leman terus bergerak merayap di antara kendaraan-kendaraan lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD