bc

Sang Veteran

book_age12+
0
FOLLOW
1K
READ
BE
submissive
single mother
heir/heiress
tragedy
no-couple
scary
loser
lucky dog
musclebear
like
intro-logo
Blurb

Pak Leman merupakan salah seorang veteran yang memiliki tunggakan uang kontrakan rumah sepetak yang ia dan cucunya tempati. Ia juga memiliki sejumlah hutang kepada teman seperjuangannya dahulu yang ketika itu digunakan untuk keperluan berobat almarhumah istrinya. Pak Leman yang terus-menerus didesak dan diancam pun akhirnya bimbang, haruskah ia menjual becaknya demi melunasi semua hutang-hutangnya?

Kedua cucunya yang merasa kasihan akan nasib sang kakek yang tak habis-habisnya dimarahi orang, akhirnya secara sembunyi-sembunyi bekerja. Salya berjualan koran dan Karin menjadi pelayan di sebuah rumah makan milik salah seorang sahabat veteran melalui Ibu Emon, pemilik yayasan sosial di mana Karin tinggal dan disekolahkan.

Ibu Emon yang juga merupakan teman seperjuangan Pak Leman dahulu yang bergerak di PMI kini menghabiskan sisa umurnya untuk memperjuangkan anak-anak kurang mampu dan berkebutuhan khusus agar mereka tetap bisa sekolah.

chap-preview
Free preview
1. Selamat Jalan Pak Hamid
Mendung di luar mendung di dalam hati. Amat yang usianya menginjak delapan belas tahun berdiri beku di tengah banyaknya tamu berpakaian serba hitam. Sebenarnya hatinya paham betul akan apa yang sedang terjadi, hanya saja Tuhan telah lebih dulu menetapkan bentuk kekurangan dalam dirinya yang membuatnya harus ikhlas menjalani takdir sebagai tunagrahita dan kini melihat semua menangis, ia hanya mampu terdiam. Bisu. Berusaha sekeras mungkin menerima. Bersusah payah menggerakan kepala ke kanan dan kiri. Menatap sekeliling. Ruangan dipenuhi para pelayat. Kenapa? Ada apa? Hatinya menepis kenyataan tanpa mampu mengucap. Cuma ia yang berpakaian lain, kaos cokelat dan celana merah tua. Mirip celana siswa sekolah dasar. Teringat betul ia manakala dulu Pak Hamid memberikannya sambil berkata bahwa ia mesti sekolah tanpa perlu berangkat ke sekolah dan berpakaian layaknya anak sekolah. Ia mesti sekolah. Sekolah di rumah. Belajar bersama bapak dan ibu. Begitu kata Pak Hamid kepada Amat, anak semata wayangnya. Dari sekian banyak ucapan Pak Hamid, hanya satu itu yang selalu terngiang di telinga Amat. Pak Hamid dan istri tak pernah sekalipun menyesali takdir Tuhan. Meski hidup miskin dan diberikan amanat besar melalui seorang anak berkebutuhan khusus, namun mereka tetap bersyukur dan mampu menikmati hidup dengan penuh keikhlasan dan kesabaran. Pak Hamid tak memiliki apapun untuk diwariskan kepada anak semata wayangnya itu. Harta tak punya dan ilmu tinggi pun tak ada, kecuali sebuah keyakinan terhadap keberadaan Rabb, pencipta alam semesta. Benar memang, bahwa di dunia ini Pak Hamid beserta keluarga hidup miskin, namun bukan berarti kelak di akhirat mengalami hal serupa lagi. “Aa aa appa, bu, i, ish? Aa apppa mua ish? Bap bappa ening gal ya?” (Kenapa ibu menangis? Kenapa semua menangis? Bapak meninggal ya?) Amat menangis tanpa suara. Air matanya jatuh. Menderas. Telapak tangannya mengusap sembarang pipi yang basah. Ia melangkah mendekati ibunya yang tersungkur, menangis sejadi-jadinya dipelukan Ibu Emon, salah satu teman seperjuangan Pak Hamid dulu. Ibu Emon pernah menjadi bagian dari Palang Merah Indonesia di masa kelaskaran yang tugasnya tentu saja manjadi tenaga kesehatan. Pak Hamid sendiri pernah ikut berjuang melawan Belanda di Irian Barat pada tahun 1961-1963 yang disebut Veteran Trikora, maka dari itu sebetulnya beliau pun termasuk pahlawan tanah air. Tetapi mangapa kehidupan Pak Hamid jauh dari penghargaan yang diberikan negara atau masyarakat kini bahkan generasi berikutnya dan lebih parah lagi dari tetangga di sekitar? Ada apa dengan Indonesia? Ada apa dengan rakyatnya? Mengapa darah yang dulu telah dikorbankan para pahlawan justru disia-siakan? Lupakah kita pada sejarah? Padahal sejak masih duduk di bangku sekolah, kita semua telah ditanami mata pelajaran sejarah. Dipupuki kisah-kisah para pahlawan dari berbagai daerah di tanah air. Namun mengapa tak satu pun mengena di hati? Ada apa dengan kita? Ada apa dengan rakyat Indonesia sekarang? Benar lupakah kita pada sejarah? Sejarah yang membawa kita sampai pada detik ini. Sejarah jugalah yang mencetak kita sebagai generasi berikutnya yang harus selalu siap membela tanah air tanpa melupakan sejarah itu sendiri. Sejarah, masih ingatkah kita dengan sejarah? Bukan sejarah pribadi, melainkan Bangsa Indonesia. Sejarah telah mencatat sekian ton darah tumpah dan jutaan jiwa melayang. Sejarah jugalah yang menjadi saksi pertemuan para pahlawan. Ibu Emon, Pak Hamid, Pak Leman, Pak Asman, dan Pak Mukram, merupakan bagian dari pahlawan veteran yang ada di Kota Cirebon. Nama-nama mereka tidak terpahat di Taman Makam Pahlawan, namun nama-nama mereka terukir di langit dan kisahnya akan tetap mengudara, menggema. Selamat jalan Pak Hamid. Selamat bertemu dengan kebebasan. Sebuah akhir dari derita yang membelenggu. *** Di rumah kontrakan yang sederhana dan sempit, Pak Leman tinggal berdua bersama Salya, salah satu cucunya. Karin yang merupakan cucu pertama Pak Leman, kakak dari Salya tinggal di Panti Asuhan Beringin Bhakti yang dikelola oleh Ibu Emon. Sejak kepergian putri semata wayangnya, Ningrum dan Angga, suaminya membuat Karin dan Salya terpaksa tinggal terpisah, mengharuskan Pak Leman mengurus cucunya. Pak Leman sebenarnya sangat mau membesarkan kedua cucunya itu, namun apalah daya. Lelaki paruh baya yang masih dirundung duka mendalam harus berusaha lebih tabah lagi setelah menerima kenyataan istri tercintanya, Bu Asih meninggal dunia sebab sakit yang diderita bertahun-tahun. Pak Leman limbung. Perasaannya serasa dicabik. Menerima kenyataan pahit bertubi dan harus rela menjalani episode kehidupan berikutnya adalah hadiah terbesar dari takdir Tuhan yang dirasakan kini. Apa yang harus dilakukan? Diam berpasrah diri tanpa ikhtiar atau melepas kenangan yang tak kan pernah terlupa, lalu berjalan bersamanya menuju asa? Pak Leman termenung. Duduk sembarang di lantai teras rumah, dekat becaknya yang terparkir. Hari menjelang siang, namun kaki Pak Leman masih terasa berat untuk melangkah. Hatinya sakit. Perasaannya kacau balau. Mengingat sang istri, Ningrum dan Angga, serta masa depan kedua cucunya. Pak Leman baru menyadari bahwa ditinggalkan orang-orang terkasih ternyata lebih pedih dibandingkan berjuang membela tanah air. Lebih terluka daripada dilupakan sejarah. Hati Pak Leman koyak. Matanya basah. Bulir air kuat-kuat mendobrak kedua kelopak matanya. Air matanya jatuh. Menderas. Pak Leman menangis tanpa suara. Semilir angin membawa bayang-bayang Bu Asih yang masih tetap terlihat cantik meski usianya menginjak 65 tahun. Bu Asih menjahitkan kaos kaki milik Pak Leman. Kaos kaki lusuh. Pak Leman teringat betul kata-kata istrinya setiap kali menemukan kebutuhan sandang suaminya itu yang bolong di sana-sini. “Selagi masih bisa diperbaiki” atau semisalnya “Maaf ya pak, ibu cuma bisa menjahitkan. Mudah-mudahan nanti ada gantinya dengan yang baru.” Pak Leman tergugu. Mengingat masa lalunya yang senantiasa bahagia meski hidup dalam keterbatasan. Hanya sang istrilah yang setia menemani, di kala suka dan duka. Tak pernah mengeluh biarpun beban hidup penuh seluruh. Kata-kata bijak dari bibir Bu Asih menjadi penguat bagi Pak Leman yang dalam kesehariannya bekerja hanya sebagai tukang becak. Dengan penghasilan tak pasti, bahkan kadangkala pulang dengan tangan hampa tak membuat cinta yang diberikan Bu Asih menipis. Justru dalam kondisi semacam itulah, terasa benar kasih sayang Bu Asih begitu dalam terhadap Pak Leman. Usia mereka memang tak muda lagi dan mengarungi bahtera rumah tangga sudah puluhan tahun lamanya bukanlah alasan berkurangnya kadar cinta di antara mereka. Malah menjadi perisai pada kondisi terumit. Penangkal sebuah perpisahan. Meski pada akhirnya perpisahan tetaplah terjadi dan bisa menimpa siapapun, lalu pada akhirnya hanya ikhlaslah yang mampu mendamaikan segalanya. Pak Leman mengambil kaos kaki di sudut, tempat Bu Asih biasa menjahit. Digenggamnya kaos kaki yang terakhir kali dijahitkan Bu Asih sehari sebelum ia meninggal dunia. Sekuat tenaga Bu Asih menepis rasa sakit yang diderita demi menyelesaikan tugas sebagai seorang istri. “Baik-baik di sana ya bu,” Pak Leman terisak. Diciumnya kaos kaki lusuh. Pak Leman berusaha menguatkan diri. Menghela nafas sedalam mungkin. Dipakainya kaos kaki, kemudian menurunkan becak dari teras rumah dengan susah payah. Maklum, rumah kontrakan Pak Leman kecil sekali. Hanya ada satu ruangan multifungsi di dalamnya. Bisa menjadi ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, ruang makan, dan tempat sholat. Di ujung terdapat lemari pakaian dan satu ranjang. Tempat beristirahat Pak Leman dan Bu Asih dulu yang sekarang digunakan Pak Leman dan Salya. Di sampingnya lahan kosong, sedikit, tempat biasanya sholat secara bergantian. Lebih dekat, ada dua kursi mengapit sebuah meja. Kamar mandi letaknya di luar. Di samping teras. Mirip kos-kosan memang, tetapi bukan. Rumah kontrakan Pak Leman terjepit oleh rumah-rumah lainnya. Gang sempit di depan rumah Pak Leman tak bisa dilalui mobil. Kalaupun becak Pak Leman melintas, harus dipastikan betul tak ada kendaraan lain dari arah berlawanan yang lewat secara bersamaan. Becak Pak Leman unik. Berbeda dari becak pada umumnya. Bendera merah putih berukuran kecil bertuliskan Karya Dharma terpasang di samping kap spakboard becak. Bukan lantaran Pak Leman adalah pahlawan veteran, sehingga itu dijadikan identitas pribadinya agar khalayak umum tahu siapa ia sesungguhnya. Becak itu sengaja didesign khusus sebagai bentuk kecintaan terhadap tanah air, sekaligus mengingatkan siapapun yang berpapasan dengannya mengenai identitas bumi pertiwi yang dipijak. Mereka harus tahu, bendera merah putih merupakan lambang negara Indonesia yang wajib dijunjung tinggi. Bukan sekadar dikibarkan di Hari Senin atau di Hari Pahlawan, tetapi tetap dan terus berkibar selamanya di d**a rakyat Indonesia, dimaknai sebagai darah, jiwa, dan segenap perjuangan para pahlawan, serta impian yang mesti digenggam. Pak Leman siap dengan kehidupan baru.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Her Triplet Alphas

read
7.0M
bc

The Heartless Alpha

read
1.5M
bc

My Professor Is My Alpha Mate

read
474.5K
bc

The Guardian Wolf and her Alpha Mate

read
521.1K
bc

The Perfect Luna

read
4.1M
bc

The Billionaire CEO's Runaway Wife

read
613.6K
bc

Their Bullied and Broken Mate

read
473.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook