Bab 13

1261 Words
Aku menarik nafas lega saat melihat Husniah hanya mondar mandir di teras sambil bergumam, menyebut nama ibuku dan juga namaku. Ada apa sebenarnya, kenapa dia tampak sangat khawatir. "Ada apa?" Aku bertanya pada Husniah. Gadis itu menatapku, kemudian membuang muka saat melihatku belum memakai baju. Saking paniknya aku hanya memegangnya sejak tadi. "Ibu sakit, aku mau pulang!" "Siapa yang bilang, kenapa Ibu atau Bapak tidak menghubungiku." "Bagaimana kamu bisa dihubungi, kalau kamu sibuk memuaskan nafsumu!" serunya sambil berlalu masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya mendorong tubuhku yang menghalangi pintu. Sejak kapan tenaganya jadi kuat begitu. Aku bergegas mengikutinya, dan bertemu dengan Lita yang masih berada di ruang tamu. "Lita kamu pulang duluan ya, aku harus pulang ke kampung. Ibuku sakit," ucapku pada wanita itu. "Kamu yakin mau pulang dengan keadaanmu seperti ini? kepalamu sakit, bahaya berkendara." "Tidak apa-apa, aku bisa. Kamu pulanglah dulu." Lita pulang setelah aku mengatakan hal tersebut. Aku mengantarnya hingga pintu gerbang, setelah ojek online yang dia pesan datang. Setelah kepergian Lita, aku segera menemui Husniah. Gadis itu sedang sibuk memasukkan beberapa potong pakaiannya ke dalam travel bag dengan tergesa-gesa. "Kamu yakin Ibu sakit?" tanyaku memastikan. Kuraih tangannya yang sejak tadi memasukkan baju-baju ke dalam tas dengan kasar. Sepertinya dia menahan emosi. "Terserah kamu percaya atau tidak, Mas. Aku tetap akan pulang!" Serunya sambil menyentak tanganku. "Tunggu, kita pulang bersama." Aku segera bergegas ke kamarku sendiri, mengambil jaket dan juga kunci mobil. Saat aku keluar, Husniah sudah siap di samping mobil dan pintu gerbang sudah terbuka lebar. "Sini kuncinya biar aku yang menyetir, kamu sakit kepala, kan." Husniah berbicara sengit padaku sambil merebut kunci mobil dari tanganku. "Kamu bisa naik mobil?" "Bisa." "Punya SIM?" "Punya!" Aku sampai tidak percaya dengan perkataannya, dalam waktu kurang dari tiga tahun, gadis itu banyak berubah. Dari gadis yang kuanggap cupu jadi gadis yang bisa segala hal. Siapa yang mengajari semua itu padanya. Husniah menyalakan mobil, dengan mulus kendaraan roda empat itu keluar dari garasi dan siap berjalan menuju tujuan. "Mau ikutan gak, kalau tidak. Aku tinggal!" Serunya dari dalam mobil. Teriakannya menyadarkanku, bergegas aku keluar. Menutup gerbang dan menguncinya, kemudian masuk kedalam mobil yang di setir oleh Husniah. Gadis itu menjalankan mobil dengan sangat lancar, aku sampai tidak percaya jika tidak melihatnya sendiri dengan mata dan kepalaku. "Siapa yang mengajarimu mengendarai mobil?" Aku bertanya dengan penasaran. "Apa perlu aku jawab," ketusnya tanpa mengalihkannya pandangan dari jalanan. Aku diam, biarkan saja dia fokus berkendara. Daripada aku banyak bertanya dan terjadi apa-apa pada kami nantinya. Apa dia diajari oleh Wisnu? Hatiku memanas memikirkan hal tersebut. "Istirahatlah, tidur kek. Pasti kamu sakit kepala karena hasratmu tidak tersalurkan, bukan. Keburu aku datang," cerocos Husniah tanpa beban. Tau darimana dia kalimat-kalimat seperti itu. Apa dari Wisnu juga. Segala hal yang dilakukan oleh Husniah, hanya pada pemuda itu aku curiga. Aku akan membuat perhitungan dengannya karena membuat gadis polos ini sampai memiliki kosakata v****r seperti itu. *** Kami sampai tujuan setelah berkendara hampir delapan jam, sekitar jam delapan malam kami sampai di rumah sakit. Husniah memintaku langsung pergi ke rumah sakit, kami bergantian menyetir saat sudah setengah jalan. Bapak memang sudah menghubungiku sebelum menelpon Husniah, tapi karena aku asyik dengan Lita membuat panggilan telepon tersebut terabaikan. Husniah berlarian dengan tidak sabaran saat sampai di rumah sakit, dia bergegas mencari kamar Ibu. Padahal dia ibuku, bukan Ibunya, tapi gadis itu begitu khawatir. Begitu sampai di kamar orang tuaku, Husniah langsung menghambur ke pelukan Ibu. Pemandangan yang jarang terjadi antar mertua dan menantu. "Jangan nangis, Nia. Ibu baik-baik saja," ucap ibu lembut sembari mengusap kepala Husniah yang terbalut jilbab wanita cream. "Kenapa Ibu sampai masuk rumah sakit?" tanya Husniah. "Ibu kangen pengen memeluk bayi lagi," sahut Ibu sembari membingkai wajah Husniah. Ah, Ibu sedang membahas masalah cucu lagi. Husniah menatapku sekilas lalu kembali menatap ke arah Ibu, aku masih berdiri tak jauh dari keduanya. Gadis itu mengurai pelukannya dan duduk di samping ranjang pasien. "Apa Ibu begitu menginginkan cucu?" tanya Husniah. "Tentu saja, wanita tua sepertiku ini apa lagi yang diinginkan kalau bukan cucu," sahut Ibu sambil tersenyum. "Maafin Nia ya, Bu. Belum bisa kasih cucu. Mungkin Nia bukan wanita subur, bagaimana kalau kita nikahkan lagi saja Mas Hanan." Nia berkata sambil mengengam tangan mertuanya. Apa-apaan ini, bisa-bisanya muncul ide itu dari kepalanya yang kecil. "Jangan ngomong sembarangan kamu, Nak. Bagaimana bisa wanita berbagi suami dengan wanita lain. Itu menyakitkan. Jangankan berbagi, melihatnya dekat dengan wanita lain saja sudah sakit hati. Apa kamu tidak menyukai anak Ibu, apa karena dia tua?" Husniah tertawa, entah karena mendengar kata aku sudah tua atau tertawa karena menyembunyikan rasa sakitnya. Dia tidak hanya melihat aku dekat dengan wanita lain, bahkan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri aku bermesraan dengan wanita lain. "Mungkin saja salah satu caranya agar Ibu cepat punya cucu, adalah menikahkan Mas Hanan lagi. Saat menikah denganku, kami belum bisa memberi cucu di usia pernikahan kami yang ke tiga." "Kamu terus saja menyuruh dia menikah, apa kamu tidak suka padanya? Kamu terpaksa ya menikah dengan anak Ibu?" "Mas Hanan baik hati, perhatian, penuh kasih sayang, juga mapan. Mana ada wanita yang tidak suka padanya, Bu." Itu bukan jawaban dari pertanyaan ibu. Bahkan jelas-jelas Husniah menyindirku, aku ini baik dari mana. Bahkan aku tidak pernah berbuat baik padanya sama sekali. "Kalau itu caranya, lebih baik Ibu tidak punya cucu. Ibu akan sangat berdosa pada Bundamu, karena tidak bisa menjagamu dengan baik." Husniah terdiam, melihat mereka tidak lagi berbincang, aku mendekati ibu dan mencium punggung tangannya. Tak lama kemudian datang Bapak, disusul oleh Syifa. "Kalian sudah datang?" tanya Bapak. "Sudah beberapa saat yang lalu," jawabku sambil menghampiri beliau. "Kalian pulang saja, istirahat di rumah. Biar malam ini Bapak yang jaga." Perintah Bapak padaku. "Ayo!" Ajakku pada Husniah. "Tapi, Mas." "Sudah kamu pulang saja, istirahat yang nyaman di rumah. Kalian habis berkendara," ucap Ibu. Husniah menurut perkataan Ibu, untuk pulang denganku. Jarak rumah dan rumah sakit tidak terlalu jauh, hanya butuh tiga puluh menit saja. Kami masuk ke rumah dalam keadaan sepi, tidak ada siapapun di rumah kecuali aku dan Husniah karena semua di rumah sakit. "Kenapa kamu bilang seperti itu pada ibu?" tanyaku pada Husniah saat kami sudah memasuki kamarku. Saat pulang, kami memang akan tidur dalam satu ruangan dan berpura-pura sebagai pasangan yang bahagia, dulu. "Yang mana?" tanya Husniah seakan tidak tahu arah pembicaraanku. "Tentang menikahku lagi." Gadis itu berbalik dan menatap padaku. "Dari pada kamu berzina dengan wanita itu lebih baik kamu nikahi dia, Mas. Lagi pula aku tidak bisa memberi cucu pada Ibu." "Kamu tidak mau hamil?" "Aku tidak mengatakan hal itu, apa ada wanita yang tidak ingin hamil. Aku memang tidak bisa memberikan cucu buat Ibu, kan?" Aku berjalan mendekat padanya, sejak awal aku sudah geram dengan idenya. Bisa-bisanya dia meminta Ibu menikahkan aku lagi, dulu memang aku ingin menikah dengan Lita. Tapi sekarang tidak lagi, aku ingin hanya Husniah saja yang menjadi istriku. "Kamu tahu, kan bagaimana prosesnya pasangan suami istri memiliki anak. Bagaimana kau katakan kalau kamu tidak subur dan memintaku untuk menikah lagi saat aku tak pernah menyentuhmu. Jika kamu tidak tahu caranya biar punya anak, aku kan mengajarimu." "Makanya itu kamu tidak mau menyentuhku tapi bisa bermesraan dengan wanita itu, maka nikahi dia. Sejak awal aku memang sudah jadi benalu dalam hubungan kalian, aku tahu posisiku makanya aku membujuk Ibu agar kamu bisa menikah lagi," ucapnya pajang lebar. "Baiklah aku akan menyentuhmu sekarang." Aku berkata sambil mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur, lalu mengungkung tubuhnya. Pasti dia jadi seperti ini karena Wisnu, dia mementahkan setiap perkataanku. Pemuda slengean itu yang mengubahnya. Kulumat bibirnya yang terlihat ranum itu dengan paksa. Tidak perduli dia terus meronta menolakku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD