Senin Kelabu

799 Words
"Apa liat-liat?!" kata Sergio galak pada beberapa cewek yang menatapnya curiga. Pasalanya cowok itu seenak jidat mengobrak-abrik tumpukan ransel milik murid lain dan tak hanya satu dua ransel yang sengaja di lempar ke belakang oleh Sergio. Lando memperhatikan Sergio yang mengacak rambutnya frustrasi. "Warna apa tasnya?" "Hijau. Hijau army." Tidak seperti Sergio yang sibuk melempar-lemparkan ransel yang berwarna selain hijau, Lando hanya berdiri sembari memasukan dua tangan ke saku celana bahannya sambil memperhatikan ransel yang berserakan di jalanan koridor akibat ulah temannya. "Lo yakin di sini?" "Iyalah mau dimana lagi?" "Udah diambil kali sama orangnya." "Gak mungkinlah orang kit— EH SINI LO SINI LO!" Sergio melambaikan tangan menyuruh seorang cowok yang baru saja mengambil ransel hijau mendekat kepadanya. Cowok itu tampak tegang begitu tahu dirinya yang dipanggil Sergio. "Iya elo. Cepet!" "Ke-kenapa Kak?" Tanpa basa-basi Sergio mengambil paksa ransel adik kelasnya itu, tapi sekali lihat bagian depan ransel itu saja dia tahu bahwa bukan ransel tersebut bukan yang ia cari. Sergio menghela napas kasar sambil mengembalikan ransel itu kepada pemiliknya. "Yang pakai ransel hijau siapa lagi?" "Hah?" Cowok itu tampak bingung kemudian melirik Lando sebelum kembali pada Sergio. Takut-takut dia menjawab sembari memeras ingatannya, "B-ani, Rey, Ta—" "Yang nama belakangnya ada sa-sa-nya." "Y-ya Kak?" "Sa... Nisa kek, Disa kek, atau siap—" "Udah balik lo," sela Lando sebelum adik kelasnya yang masih kebingungan terhadap pertanyaan Sergio sebelum dia malah dijadikan samsak oleh temannya. "Anjing! Anjing!"" Sergio semakin frustrasi saat mendapati tidak menemukan ransel tempat ia menyembunyikan kotak rokok juga fakta dirinya hanya ingat sepenggal kata dari nama yang ia hapalkan tiga puluh menit lalu. "g****k!" "Yaudah... ntar dicari lag—" Sergio menatap Lando lekat, menekan suaranya hingga nyaris terdengar sebagai bisikan. "Kalau ketahuan gimana, b*****t?!" Lando menyurai rambut ke belakang, matanya mengawasi beberapa murid yang tampak tertarik dengan dirinya dan Sergio. Atau lebih tepatnya kepada Sergio yang selalu menarik perhatian banyak orang dilingkup SMA Gharda. Di kalangan murid cowok itu terkenal paling ganteng, paling misterius, dan paling dihormati meski tidak diminta. Sementara di kalangan guru Sergio hanya terkenal sebagai murid rebel yang setiap hari tidak pernah absen menjadi alasan guru untuk meminta obat sakit kepala, darah tinggi, demam kepada Dokter Dina— dokter UKS SMA Gharda. Kelakuan Sergio yang belagak tuli setiap mendengar wejangan dari para guru membuat semua akhirnya memilih untuk membiarkan demi menyelamatkan kewarasan masing-masing. Pernah suatu hari saat Sergio masih kelas sebelas, dan Bu Winda guru matematika yang saat itu cuti melahirkan kangen dengan mie ayam sekolah. Tidak ada yang salah dengan keinginan seorang ibu hamil dan seorang suami yang menuruti kemauan sang istri, hanya saja saat mie ayam yang disajikan di atas meja oleh Mang Yusuf secara spesial dengan toping ayam melipah terpaksa harus Bu Winda relakan karena Sergio tersandung kursi yang jatuh tergeletak— sebenarnya bisa dilihat dengan jelas oleh cowok itu jika ia tidak sibuk bersenda gurau dengan Abi, Sergio yang jatuh limbung refleks mencari pegangan hanya bisa menggapai ujung meja Bu Winda membuat mie ayam pesanannya jatuh berhamburan mengenai bajunya. Tiga jam setelahnya Bu Winda melahirkan, lebih cepat lima hari dari perkiraan dokter. "Tapi lo masih inget kan, gimana tasnya?" tanya Lando disambut anggukan dari Sergio. Dia ingat benar ransel tersebut memiliki gantungan kunci hitai-ate dari anime Naruto. Lando menepuk bahu Sergio pelan kemudian berkata, "Suruh anak-anak aja cari." *** Sasha duduk di sebuah Kelas yang disediakan khusus untuk murid-murid yang akan mengikuti olimpiade. Hanya ada tiga orang lain yang berada di tempat sama dengan Sasha. Berbeda dengan Kelas pada umumnya meskipun guru mereka belum datang semua sudah membuka buku maupun laptop untuk mengerjakan latihan atau hanya membaca materi. Sasha sendiri mempersiapkan diri untuk olimpiade Fisika. Berbeda dengan yang lain perempuan berambut sebahu itu menghela napas berat karena sudah satu jam menunggu sejak ia diperintahkan datang ke Kelas padahal upacara sedang berlangsung. Sasha menyampirkan tali ranselnya kemudian berdiri dan melenggang keluar Kelas begitu saja. Perempuan itu menuju taman belakang sekolah yang tidak terjamah, ia duduk di salah satu meja yang dibiarkan menumpuk hingga lapuk. Sasha mengangkat kaki meletakan di salah satu meja kemudian menggoyangkan beberapa kali meja tersebut memastikan bahwa ia tidak akan jatuh jika duduk di sana. Sasha duduk bersila di atas meja, meletakkan ransel di atas pangkuannya. Perempuan itu menarik gantungan kunci yang tersambung dengan resliting ranselnya. Seperti biasa Sasha mengambil satu kotak rokok yang sudah ada di ranselnya sejak tiga bulan lalu. Sasha berdecak setelah menghela napas panjang. "Ck!" Kening Sasha berkerut ketika menyadari perbedaan pada kotak rokok yang ia pegang. Sasha ingat betul rokok miliknya memiliki bungkus dominan warna merah sedangkan di tangannya sekarang dominan warna putih. Buru-buru Sasha merogoh kembali ranselnya dan benar saja rokok miliknya masih ada di sana, tersimpan rapi dan masih disegel. "Lah? Punya siap—" Bibir Sasha tertutup rapat begitu perempuan itu melihat isinya. "God!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD