SENJAKU, SENJAMU, SENJA KITA

2994 Words
*SENJAKU, SENJAMU, SENJA KITA* Setelah beberapa jam berada di dalam mall, usai memesan souvenir tambahan, Azzam mengajak Savierra dan adik-adik mereka untuk mampir makan siang ke salah satu restoran yang berada di dalam mall tersebut. Kebetulan, mereka semua memang sedang lapar. Dan Azzam memang mempunyai niat untuk mentraktir mereka semua. Alhasil, jadilah mereka makan siang berenam. Pada saat memilih menu makanan, Savierra merasa bingung. Ia suka chicken katsu, tapi ia juga suka steak. Di sisi lain, Savierra juga menyukai nasi goreng sebagai salah satu makanan Indonesia kesukaannya. “Sav.” Panggil Azzam yang duduk di sampingnya. “Hm?” Gumam Savierra yang masih sibuk menatap buku menu. “Kenapa?” “Bingung.” “Bingung? Bingung pilih makanannya?” Savierra mengangguk. Melihatnya, Azzam tersenyum sendiri dibuatnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini Azzam senang melihat tingkah Savierra yang menurutnya polos, lucu, dan menggemaskan. “Mau makan aja kamu masih harus bingung dulu. Lucu banget sih.” Ucap lirih Azzam. “Iya, Zam? Lucu? Mana ada makanan lucu.” “Bukan makanan.” “Kamu bilang lucu tadi.” “Iya. Tapi bukan makanannya.” “Emang apa yang lucu?” “Kamu.” “Hah? A-aku?” “E-em, i-iya. Em, maksud aku, ya lucu aja gitu. Mau makan harus bingung milih dulu.” “O-oh.” Savierra dibuat salah tingkah setiap kali berada di dekat Azzam. Ah entahlah, jangan tanyakan bagaimana jantung Savierra saat ini. Detaknya sudah tidak beraturan tentu saja. “Kak Savierra pesen apa? Lama bener milihnya.” Ucap Zahira. “Em, nasi goreng ayam sosis aja deh.” “Hm, kebiasaan. Setiap kali makan di luar selalu nasi goreng ayam sosis.” “Kesukaannya Kak Savierra banget kali. Iya, Kak?” Tanya Tara kemudian. “Iya.” Jawab Savierra sembari tersenyum. Setelah semuanya memesan makanan, Zahira memberikan daftar menu pesanan mereka pada pelayan restoran. Setelah itu, mereka tinggal menunggu saja sampai makanan dihidangkan. “Mas, sering-sering begini juga nggak apa-apa kali, Mas. Ya nggak, Bang?” Ucap Tara kemudian. “Boleh banget. Ide bagus, Dek.” Jawab Vino sembari mengacungkan jempol. “Ya In Syaa Allah aja, kalau ada rezeki. Ya kamu kali, Vin, sekali-kali traktir juga.” Ucap Azzam pada Vino. “Kayanya nih ya, nanti kalau Mas Azzam sama Kak Savierra udah nikah, kalau kita keluar-keluar bareng lagi kaya gini, harus tentuin dulu deh siapa yang traktir makan.” Ucap Zahira. “Hahaha, ada-ada aja, Za. Tapi kayanya bakal seru ya kalau kita sering keluar-keluar bareng kayak gini.” Sahut Tara. “Seru aja sih sebenernya. Berasa keluar bareng temen gitu.” Ucap Angga. “Nah iya. Gua juga ngerasa gitu, Ngga. Menurut gue sih mungkin karena gua sama lu hampir seumuran. Terus si Tara sama Zahira juga hampir seumuran. Jadinya kita tuh kayak hang out bareng temen gitu. Ya kecuali Mas Azzam sama Kak Savierra doang sih yang beda. Meskipun pada dasarnya mereka juga hampir seumuran.” “Kenapa beda, Bro?” Tanya Angga. “Kalau kita berempat kan seumuran, mau jadi saudara berasa kayak temenan gitu. Kalau Kak Savierra sama Mas Azzam beda. Bukan temen lagi kalau mereka mah. Bener-bener jadi temen hidup. Hahaha.” “Hahaha, bisa banget sih lu. Tapi ya bener banget itu. Bisa gitu ya, tadinya temen satu pesantren, temen satu kampus, sekarang mau jadi temen hidup. Ya nggak, Bro? Hahaha.” “Asli! Gila sih, kisahnya kayak seru banget gitu ya.” “Kisahnya kayak yang sering Tara baca di novel-novel gitu, Bang. Emang beda sih, tapi mirip.” Ucap Tara pada Vino. “Aku juga beberapa kali baca novel, kisah tokohnya ya hampir mirip kayak Mas Azzam sama Kak Savierra. Gila sih, emang keren.” Sahut Zahira. Sedari tadi, Angga, Vino, Zahira, dan Tara terus saja menggoda Azzam dan Savierra semata-mata hanya karena mereka berdua akan menikah sebentar lagi. Nampaknya, ikatan yang sebentar lagi akan terikat, bukan hanya mengikat mereka berdua saja. Tapi seluruh keluarga mereka. Bagaimana tidak? Saat ini saja mereka seakan sudah sefrekuensi. “Udah bicaranya?” Ucap Azzam kemudian. “Apaan sih, Mas? Masa bicara doang nggak boleh? Lagian topik kita sesuai sama apa yang akan terjadi sama kita sebentar lagi. Ya, kan?” Ucap Tara. “Kenapa, Mas? Salting?” Sahut Zahira. “E-enggak. Siapa yang salting? Biasa aja.” Jawab Azzam. “Kak Savierra kali yang salting.” Ucap Angga. “A-apa? E-enggak lah. Ngapain,” Ucap Savierra sembari membuang muka. “Yeee, dua-duanya kali ah yang salting.” Ucap Vino. “ENGGAK.” Ucap Savierra dan Azzam bersamaan. Seketika, Angga, Vino, Zahira, dan Tara saling bertatapan. Sedetik kemudian, mereka kompak tersenyum dan menatap jahil ke arah Azzam dan Savierra. “Belum juga halal. Udah sehati aja. Bilang enggak aja barengan.” Ucap Tara. “Cuma kebetulan kali, Dek.” Ucap Savierra. “Udah kenapa sih, Kak. Sengaja juga nggak apa-apa kali. Namanya juga udah jodoh.” Sahut Zahira. “Dek, diem ih. Godain mulu dari tadi.” Balas Savierra. “Hahaha.” Mereka terus saja mengoda Savierra dan Azzam. Savierra dan Azzam pun hanya menanggapinya dengan ringan. Toh memang candaan adik-adik mereka benar adanya. Kisah Savierra dengan Azzam memang seindah itu. Bahkan lika-likunya meninggalkan kenangan tersendiri hingga mereka sampai pada titik ini. Tak lama kemudian, makanan pesanan mereka pun disajikan. Kini, hanya ada suara dentingan piring dengan sendok dan garpu saja. Masing-masing dari mereka mulai menikmati hidangan yang ada. Sederhana, namun bahagia. ¤¤¤¤ Usai menuntaskan urusan di toko souvenir, kemudian mereka makan bersama, kini mereka sedang dalam perjalanan menuju ke butik. Tadi sebelum berangkat, Azzam sudah sepakat dengan Savierra bahwa mereka semua akan mampir ke butik saat semua urusan sudah selesai. “Kenapa arahnya bukan ke arah rumah, Mas?” Tanya Tara. “Ke butik dulu.” Jawab Azzam sembari menyetir. “Oh, bagus deh. Udah lama juga nggak ke butik.” “Em, Tar, baju kamu yang buat acara akadnya Mas Azzam sama Kak Savierra ada di butik apa kamu bawa pulang?” Tanya Zahira sembari memainkan ponselnya. “Ada di butik. Biarin aja di sana dulu biar aman. Kalau akau bawa pulang, nanti takut lecet atau ada yang rusak, hehehe.” “Sama deh. Aku juga takut gitu. Rentan soalnya bahannya. Mending taruh butik dulu aja sih emang.” “Iya. Nanti dicoba lagi yuk, Za.” “Boleh-boleh. Desain baju yang dibuat umi sama bunda emang nggak mengecewakan sih. Bagus banget parah.” “Bener banget, setuju!” “Ya Allah, itu baju setiap kali kalian berdua ke butik dicobain mulu. Lama-lama rusaknya bukan gara-gara dibawa ke rumah. Tapi karena dicobain mulu.” Sahut Angga kemudian. “Tau. Ribet banget cewek-cewek ya. Udah dicoba sekali ya udah sih, simpen buat harinya aja. Lah ini, setiap ketemu dicobain mulu.” Timpal Vino. “Sirik amat sih, Bang. Orang emang suka sama bajunya.” Tukas Tara. “Tau nih. Nih ya, Kak Angga sama Bang Vino kalau pengen cobain baju kalian sendiri ya cobain aja. Segala pakai bawa-bawa cewek ribet. Orang kita juga biasa aja, nggak ribet.” Timpal Zahira. “Iyain aja deh, Ngga. Salah mulu kita.” “Iya, Bro. Diem aja dah.” Mendengar perdebatan adik-adiknya, Savierra terkekeh ringan. Ia merasa bahwa puncak kebahagiaannya adalah ketika berada di lingkungan orang-orang yang disayanginya. Seperti sekarang ini contohnya. Ia sedang berada bersama Azzam, adik-adiknya, dan adik-adik Azzam juga. Savierra menghela nafasnya perlahan. Ia mengucap ‘Alhamdulillah’ di sela-sela helaan nafasnya. Savierra benar-benar bersyukur atas apa yang ia punya saat ini. Tanpa Savierra sadari, Azzam sempat menoleh ke arahnya dan melihat ia tersenyum. “Kenapa, Sav?” Tanya Azzam. “Hm?” “Kok senyum-senyum gitu?” Savierra tersenyum lagi. “Nggak apa-apa. Seneng aja hari ini bisa kumpul rame-rama kayak gini.” Mendengarnya, Azzam juga ikut tersenyum. Nampaknya, senyum Savierra menular pada Azzam. “Senyum kamu nular ya.” “Maksudnya?” “Lihat kamu senyum, bikin ikutan senyum juga.” “Hah? Ke-kenapa bisa?” “Ya bisa aja. Aku juga seneng sama hari ini.” “Semoga hari ini jadi berkah.” “Aamiin ya Mujibassailin.” Sepanjang perjalanan, tidak ada banyak percakapan antara Azzam dengan Savierra. Azzam fokus mengendarai mobil. Sedangkan Savierra menyandarkan kepalanya di jendela mobil sembari melihat ramainya jalan raya hari ini. Sejenak ia tersenyum kembali. “Masyaa Allah, Tabarakallah. Allah, takdir yang Kau beri memang seindah ini. Takdir yang Kau beri memang semembahagiakan ini. Terima kasih, Allah.” Ucap Savierra dalam hatinya. ¤¤¤¤ Saat ini, Savierra, Azzam, Zahira, Tara, Angga, dan juga Vino sudah berada di butik. Mereka sedang bercengkrama di sebuah ruangan yang diperuntukkan sebagai tempat tersendiri bagi keluarga mereka. “Udah pada sholat dzuhur kan tadi?” Tanya Umi Zahrah sembari menyruput teh buatan Rani yang masih hangat. “Udah, Umi. Tadi di jalan sempet mampir ke masjid sebentar buat sholat dzuhur.” Jawab Vino. “Ya udah, Alhamdulillah. Soalnya sebentar lagi adzan ashar. Takutnya belum pada sholat dzuhur.” “Udah kok, Umi. Tenang aja. In Syaa Allah kemana pun kita pergi, kita tetep jaga sholat.” Timpal Tara. “Alhamdulillah kalau gitu.” Ucap Umi Zahrah sembari tersenyum. “Eh iya, gimana tadi, Sav? Bisa pesen souvenir tambahannya?” Tanya Bunda Rahmah. “Alhamdulillah bisa kok, Bun.” “Modelnya sama kayak yang kemaren?” Tanya Umi Zahrah. “Sama, Umi. Memang sengaja dibikin sama aja. Biar bagus dan serasi.” “Bener. Ya Alhamdulillah kalau udah beres.” “Emang nambah banyak banget ya?” Tanya Bunda Rahmah lagi. “Nggak terlalu banyak juga, Bun. Ada beberapa temen Savierra dari pesantren yang rumahnya di kota ini. Mereka kenal baik sama Savierra. Jadi ya Savierra undang juga. Sama ada beberapa temen Azzam juga.” Jawab Savierra. “Oh gitu. Temen kampus udah semua, kan?” “Udah sih, Bun. In Syaa Allah udah semua.” “Ya udah deh. Alhamdulillah udah pada beres.” Savierra dan Azzam tersenyum. Sampai pada detik ini, tak henti-hentinya mereka bersyukur kepada Allah atas takdir yang mereka jalani saat ini. Baik Azzam maupun Savierra merasa bahwa ini adalah puncak perjuangan mereka. Setelah setiap malam mereka bangun dari tidurnya, mengambil air wudhu dan kemudian menunaikan tahajjud, bersujud di atas lantai nan dingin dengan dilapisi oleh sehelai sajadah suci, mereka menyuarakan segala isi hati pada Sang Pemilik Hati. Setiap perjumpaan doa dengan sang pencipta, selalu terselip sebuah nama. Setiap barisan doanya yang membintang di angkasa, selalu terselip sebuah nama. Nama yang pemiliknya selalu dimohonkan agar hatinya senantiasa terjaga. Nama yang pemiliknya selalu dimohonkan supaya kelak bisa meraih surga bersama. Nama yang pemiliknya selalu dimohonkan bisa menjadi pelengkap tulang rusuk dan penyempurna separuh agama. Ada banyak harapan di balik setiap kata ‘semoga’. Dan saat ini, salah satu dari semoga itu akhirnya tersemogakan. Salah satu suara hati itu kini dibuat nyata oleh Sang Maha Segalanya. Nama yang saling terjaga dalam doa itu, kini akan segera menyatu menjadi satu jiwa. Perjuangannya menahan nafsu dan mengungkapkan segala rindu lewat doa itu kini akan terbalas dengan suatu ikatan suci atas ridho Ilahi. ¤¤¤¤ Hari sudah menjelang sore. Usai menunaikan sholat ashar berjamaah di musholla butik, Savierra membawa dirinya mendekat ke jendela butik. Di sana, ia tersenyum menatap panorama indah. Di hadapannya, tersuguhkan pemandangan ciptaan Allah yang luar biasa indah. Perpaduan warna jingga dengan merah itu seakan mewarnai langit. Ditambah lagi keindahan matahari yang kini mulai menenggelamkan dirinya di balik langit. Hari ini, Savierra bertemu lagi dengan senja. Senja yang sampai saat ini masih sangat disukainya. Senja yang selalu memanjakan matanya kala melihat perpaduan warnanya di atas sana. Senja yang membawa ketenangan di hatinya kala ia diam tersenyum memandang langit petang. “Selamat sore, senja. Kita bertemu lagi. Di tempat ini.” Ucap Savierra sembari tersenyum menatap senja dari balik jendela. “Selamat sore juga.” Terdengar suara seseorang yang tiba-tiba muncul kala Savierra menyampaikan sapaannya pada senja. Beberapa detik kemudian, pemilik suara tersebut turut berdiri di samping Savierra sembari melihat senja. Sama seperti apa yang dilakukan Savierra beberapa detik yang lalu. Melihatnya, jujur saja Savierra sedikit terkejut. Namun tak lama, Savierra mencoba menetralkan degup jantungnya dengan kembali menatap senja di hadapannya. Setelah itu, Savierra tersenyum kembali. Ada rasa senang di hatinya kala orang tersebut turut berada dengannya. Melihat senja bersama. “Hai, senja. Selamat bertemu kembali, dengan kita.” Savierra tersenyum mendengarnya. “Kamu kenapa tiba-tiba ada di sini?” “Kebetulan aja. Niatnya emang mau lihat senja. Taunya ada kamu juga.” “Kamu masih suka senja sampai sekarang?” “Iya. Mungkin, akan selalu begitu.” Savierra tersenyum sekali lagi. “Senja memang seindah itu. Sayang banget kalau hadirnya yang sebentar itu dibiarkan begitu aja sampai nantinya dilahap sama gelapnya malam.” “Kenapa gitu?” “Ya karena emang sayang banget kalau bisa lihat senja, tapi malah memilih untuk nggak melihat. Emang nggak salah sih, cuman, ya nggak ada salahnya juga melihat salah satu ciptaan Allah yang cantik banget ini. Hadirnya cuma sebentar. Tapi benar-benar menenangkan hati.” Kini, Azzamlah yang tersenyum mendengar ucapan Savierra. “Kamu puitis ya.” “Enggak juga.” “Tapi ucapan kamu tentang senja tadi bener-bener bagus. Kayak karya sastra.” “Kamu ngeledek aku?” “E-enggak lah. Ya menurut aku, emang bener bagus ucapan kamu tentang senja tadi.” Lagi-lagi, Savierra tersenyum. “Aku bisa mendeskripsikan senja dengan sebagus itu karena aku suka banget sama dia.” “Oh ya?” “Iya.” “Emang bener sih, kalau orang udah suka sama sesuatu, pasti mudah banget buat dia bikin kata-kata indah untuk sesuatu yang dia sukai itu.” “Kamu juga dulu pernah mendeskripsikan senja. Bahkan lebih bagus dari aku. Kamu memang sesuka itu sama senja.” Ucap Savierra kemudian. “Kamu masih ingat itu?” “Ingat.” Azzam tersenyum lagi mendengarnya. “Sama. Untuk pertama kalinya, aku bisa berbagi kata-kata indah tentang sesuatu yang aku sukai dengan orang yang menyukai sesuatu yang sama dengan aku.” “Kamu masih ingat juga?” “Pasti. Nggak akan semudah itu aku lupa. Hari itu, hari yang menyenangkan. Untuk pertama kalinya, aku melihat senja dengan orang yang sama-sama suka dengan senja.” “Sebelumnya belum pernah?” “Belum. Aku selalu melihat senja sendirian di balkon rumah.” “Berbeda kah rasanya?” “Mungkin. Kalau aku melihat senja di balkon, aku merasa senja itu adalah senjaku. Tapi saat aku lihat dengan kamu waktu itu, aku merasa bahwa itu bukan hanya senjaku, tapi senjamu juga.” Entahlah. Entah yang keberapa kalinya Savierra tersenyum. Intinya, hatinya sedang benar-benar tenang dan baik-baik saja saat ini. Bersama senja. Juga si penikmat senja, Azzam. “Senja memang milik siapa saja yang menyukainya.” Azzam tersenyum mendengarnya. “Gimana ya, perasaan senja kalau dia tau bahwa kita suka banget sama dia?” Savierra dibuat tertawa mendengarnya. “Kamu ada-ada aja.” “Ya aku cuma pengen tau aja. Di luar sana, pasti banyak juga orang yang suka sama senja. Dia memang semenarik itu, sampai banyak yang suka sama dia.” “Mungkin dia senang.” “Karena banyak yang suka sama dia?” “Mungkin. Dan ya, kalau gitu, dia bukan cuma senjaku dan senjamu. Tapi senja mereka juga. Mereka yang suka sama senja, sama seperti kita.” “Iya.” Setelah itu, obrolan mereka sempat terhenti. Baik Azzam maupun Savierra larut dalam menikmati panorama senja kesukaan mereka. Bibir mereka saling tersenyum. “Dear, senja, terima kasih selalu hadir kembali untuk setiap harinya.” Ucap Azzam. “Dear, senja, terima kasih sudah selalu ada untuk setiap harinya. Menjadi kesukaanku, dan kesukaan Azzam.” Senyum Azzam merekah sempurnaa mendengar ucapan Savierra. “Hai, senja, terima kasih sudah menjadi sesuatu yang aku sukai dan Savierra sukai. Aku dan dia akan selalu suka kamu.” Kini, Savierra lah yang tersenyum. “Kamu bener. Mungkin, aku akan selalu suka sama senja.” “Aku juga. Setelah entah berapa lama aku melihat senja sendirian, akhirnya sekarang, aku bisa lihat senja lagi di sini. Bersama kamu.” Ucap Azzam. “Ka-kamu menunggu hal ini terjadi lagi?” “Mungkin seperti itu. Aku senang saat aku tau kalau kamu juga menyukai senja. Sampai ketiga kalinya ini kita lihat senja lagi bersama-sama, ternyata kamu masih menyukai senja.” “Sama seperti kamu, aku akan selalu suka sama senjaku.” Azzam tersenyum mendengarnya. “Aku cuma punya satu harapan tentang senjaku dan senjamu.” “Apa?” “Semoga suatu saat, senjaku dan senjamu menyatu. Menjadi senja kita.” Jujur saja, Savierra tidak menyangka bahwa Azzam akan mengatakan hal itu. Sepertinya, senja adalah perantara dari Allah sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan mereka. Di samping gugupnya Savierra, tetap saja ia tersenyum. Bagaimanapun juga, harapan Azzam tentang senja juga sesuatu yang diharapkan oleh Savierra. “Aamiin, In Syaa Allah.” Jawab Savierra dengan tulus. “Hai, senja, terima kasih sudah hadir di hari ini dan menemani sore hari kami. Suatu hari nanti, In Syaa Allah kami akan bertemu kamu lagi. Melihat kamu lagi bersama-sama.” Ucap Azzam kemudian. “Hai, senja, semangat untuk selalu hadir setiap hari.” Tambah Savierra sembari tersenyum. “Sav.” “Hm?” “Semoga Allah lancarkan niat baik kita.” Savierra tersenyum, “Makasih, selalu berdoa seperti itu.” “Kamu berdoa juga?” “I-iya. Selalu.” “Makasih juga ya.” Ucap Azzam sembari tersenyum dan menatap Savierra sebentar. “I-iya.” “Bahkan sampai sekarang, rasanya seperti mimpi. Kalau memang mimpi, rasanya aku nggak akan mau bangun dari tidurku.” Ucap Azzam. Mendengarnya, Savierra tertawa. “Kenapa gitu?” “Terlalu indah. Rasanya ingin tetap seperti ini aja.” Mendengarnya, Savierra terdiam. Di balik diamnya, ada senyum yang merekah sempurna. “Dan pada dasarnya ini semua memang bukan mimpi. Allah memang Maha Baik.” Ucap Savierra kemudian. “Masyaa Allah, Tabarakallah. Alhamdulillahi ‘alaa kulli haal.” Savierra dan Azzam tersenyum. Hari ini, bersama senja yang mereka sukai, doa yang mereka semogakan bersama sudah mengangkasa menuju haribaan Sang Ilahi. Doa-doa yang diharapkan supaya Allah senantiasa meridhoi. Di penghujung hari ini, senja menjadi saksi atas perjuangan dua orang yang senantiasa saling menjaga nama di setiap perjumpaan doa dengan Sang Robbi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD