bc

Tasbih Cinta Menuju Surga

book_age12+
1.0K
FOLLOW
6.7K
READ
love-triangle
time-travel
fated
second chance
mate
drama
tragedy
sweet
humorous
spiritual
like
intro-logo
Blurb

Ana uhibbuka fillah. Aku mencintaimu, karena kecintaanmu pada Allah.

Kehidupan rumah tangga memang tak ada yang berjalan mulus. Pasti ada lika-liku yang mengiringi. Problemnya, bisakah setiap pasangan melewatinya dengan sabar dan lapang d**a? Hingga nanti kebenaran menyeruak dan lika-liku itu hilang?

"In Shaa Allah aku ikhlas. Nggak apa-apa." Ucap Savierra seraya menyeka air mata.

"Maaf, Sya. Jujur aku menolak melakukan ini. Aku mau selalu sama kamu, tanpa ada orang lain, selamanya." Ucap Azzam yang mendekat pada Savierra, dan memegang bahunya. Namun Savierra menepisnya.

"Aku butuh waktu sendiri." Ucap Savierra kemudian.

“Sya,”

“Kak Azzam keluar dulu, ya. Biarin aku sendirian.”

•°•°•°•

Season 2 lanjutan Cinta dan Hijrahku Fisabilillah

chap-preview
Free preview
MENGUKIR SENYUM
*MENGUKIR SENYUM* Dua minggu menjelang akad pernikahan, baik keluarga Azzam maupun keluarga Savierra tengah sibuk mempersiapkan banyak hal demi suksesnya pelaksanaan acara. Sejauh ini, semua perencanaan berjalan dengan lancar. Mulai dari gaun dan baju pengantin yang didesain langsung oleh Umi Zahrah dan Bunda Rahmah, undangan pernikahan, susunan acara, tempat akad dan resepsi, dan lain-lain. Satu lagi yang belum siap, tambahan souvenir. Sebenarnya, souvenirr pernikahan memang sudah siap. Tapi karena ada tambahan tamu yang harus diundang, maka souvenirnya harus ditambah juga. Hari ini, rencananya Azzam dan Savierra akan mengunjungi toko souvenir langganan keluarga Azzam yang berada di salah satu mall untuk membeli tambahan souvenir yang kurang. Tapi, mereka tidak akan hanya berdua. Yang menjadi masalah adalah, mereka bingung harus dengan siapa mereka akan pergi. Azzam dan Savierra membicarakannya lewat pesan w******p. Azzam Maulana : Jadi ajak siapa, Sav? Keisya. S. Assalafiyah : Belum tau. Ajak bunda aja kali ya? Azzam Maulana : Boleh aja. Tapi, apa bunda nggak lagi ngurusin baju? Keisya. S. Assalafiyah : Kurang tau juga. Em, hari ini umi ke butik nggak? Azzam Maulana : Iya kayanya. Tadi aku liat lagi siap-siap gitu sih. Keisya. S. Assalafiyah : Kalau umi ke butik ya bunda pasti ke butik juga. Azzam Maulana : Apa ajak adek aja? Keisya. S. Assalafiyah : Zahira sama Tara? Apa Angga sama Vino? Azzam Maulana : Menurut kamu? Keisya. S. Assalafiyah : Zahira sama Tara aja kayanya. Angga atau Vino aku yakin mereka nggak bakalan mau kayanya. Azzam Maulana : Ya udah. Berarti aku ngomong sama Tara dulu nih ya. Keisya. S. Assalafiyah : Iya. Aku juga mau kasih tau Zahira. Azzam Maulana : Ya udah, kamu sekalian siap-siap aja. Nanti aku jemput. Keisya. S. Assalafiyah : Iya. Setelah itu, Savierra meletakkan ponselnya dan berjalan menuju kamar Zahira. Seperti apa yang dikatakan Azzam tadi, mereka akan mengunjungi toko souvenir bersama Zahira dan Tara juga. Saat sampai di depan kamar Zahira, kebetulan Zahira baru saja keluar kamar juga. “Kenapa, Kak?” Tanya Zahira. “Kamu mau ke mana?” “Ambil air di dapur.” “Kamu udah mandi?” “Udah barusan. Kenapa?” “Temenin kakak ya, bentar doang.” “Hah? Temenin kemana?” “Toko souvenir. Kakak nggak enak kalau cuma berdua doang.” “Emang sama siapa?” “Sama Azzam. Temenin ya, Dek, nggak baik juga kan kalau bukan mahram tapi jalan berdua? Siap-siap ya.” “Dih, jadi nyamuk nanti aku.” “Enggak, Dek. Azzam juga ajak Tara kok.” “Maksudnya nemenin Kak Savierra sama Mas Azzam gitu?” “Iya.” “Ih, Kak, lagian kalau niatnya baik juga nggak apa-apa kali, Kak. Toko souvenirnya di mall, kan? Di sana kan ramai orang nantinya, Kak. Orang Kak Savierra sama Mas Azzam udah tunangan juga.” “Iya, tapi kakak nggak enak sendiri, Dek. Ikut ya, sama Tara juga kok.” “Belaga malu-malu. Tapi mau.” “Ih, Adek. Ayo dong.” “Iya-iya. Tapi Tara beneran ikut ya. Males banget kalau aku jadi nyamuk.” “Iya-iya, Dek. Ya udah, kamu siap-siap sekarang. Keburu dijemput Azzam.” “Oke.” Setelah perdebatan kecil dengan Zahira, barulah Savierra kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Namun saat ia hendak mengganti bajunya, ia mendengar ponselnya berbunyi. Tertera nama ‘Kak Avivah’ di layar ponselnya. Savierra tersenyum. Sudah lumayan lama ia dan Avivah tidak saling bercerita. Bahkan ia belum menceritakan rencana pernikahannya dengan Azzam pada Avivah. Karena itu, Savierra langsung mengangkat panggilan dari Avivah. “Hallo, Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam, Sav.” “Kak Avivah, aku kangen banget.” “Hehehe, iya sama.” “Eh, apa kabar sama anaknya Kak Avivah? Pasti lucu banget. Pengen ketemu.” “Alhamdulillah, si dedek baik-baik aja. Dia udah bisa merangkak gitu. Lucu banget.” “Ih, lucu banget. Aku pengen banget ketemu.” “Boleh aja. Aku lagi di Surabaya. Kalau kamu mau, main-main sini ke rumah.” “In Syaa Allah deh. Tapi nggak bisa hari ini ya, Kak.” “Nggak apa-apa kok. Kamu pasti sibuk urusin persiapan nikahan, kan? Hehehe.” “Hah? K-kok tau? Aku baru mau cerita loh.” “Parah banget mau nikah tapi nggak bilang sama aku.” “Maaf, padahal aku baru banget mau bilang. Aku lupa banget. Udah mau cerita dari kemaren-kemaren tapi lupa terus.” “Hahaha, nggak apa-apalah. Aku juga udah tau kok.” “Tau dari mana?” “Dari Azka.” “Hah? A-Azka? Kok bisa, Kak?” “Ya bisa dong. Kan dia adik ipar aku.” “Bukan itu maksudnya. Azka tau dari mana juga?” “Ya mungkin dari Azzam langsung. Kan mereka berdua sahabatan, Sav. Wajar kalau Azzam cerita. Sekalian ngundang gitu mungkin.” “Iya ya? Aduh, aku jadi nggak enak sama Azka.” “Kenapa?” “Kan Kak Avivah tau sendiri aku sama Azka gimana dulunya.” “Oh, itu. Nggak apa-apa kok. Aku tau sendiri kalau Azka udah ikhlas. Mas Irsyad juga udah cerita banyak tentang kejadian waktu itu. Azka sering cerita ke abangnya sih emang. Jadi, aku sedikit banyak tau. Kamu tenang aja. Dia baik-baik aja kok.” “Gitu ya? Jujur aku masih canggung sama Azka, Kak. Aku masih nggak enak sama dia karena nggak bisa bales perasaan dia. Sekarang juga aku mau nikah sahabat dia sendiri. Jadi nggak enak gitu loh, Kak.” “Iya, aku faham kok. Kamu tenang aja. Azzam sering banget kok ke sini. Dia sering keluar bareng sama Azka juga. Mereka berdua baik-baik aja. Jangan khawatir. Jangan ngerasa bersalah juga, kamu kan tau perasaan nggak bisa dipaksakan.” “Iya juga sih, Kak. Aku harap, ke depannya bakalan tetep baik-baik aja antara aku, Azzam, dan Azka.” “Aamiin. Iya, itu pasti.” “Em, Kak, maaf banget ya, aku nggak bisa lama-lama dulu. Aku mau keluar habis gini.” “Mau kemana? Ngurusin nikahan ya?” “Hehehe, iya. Mau pesen tambahan souvenir. Sempet kurang yang kemaren.” “Wah, Alhamdulillah deh. Semoga lancar ya. Oh iya, pergi sama Azzam ya? Hehehe.” “I-iya sih. Tapi nggak berdua doang kok.” “Pasti ngajak mahram ya? Zahira pasti.” “Hehehe, iya dong, Kak. Sama Tara juga, adiknya Azzam.” “Bagus deh. Biar Zahira nggak jadi nyamuk nantinya.” “Ih, apaan sih, Kak Avivah.” “Bercanda. Ya udah, sana kamu siap-siap aja. Keburu dijemput si Azzam nanti.” “Iya. Ya udah ya, Kak, Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Setelah sambungan telepon dengan Avivah terputus, Savierra kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia segera mengganti bajunya dengan gamis untuk keluar rumah. Ia sedikit terburu-buru. Ia takut saat Azzam datang, ia belum siap untuk berangkat. “Em, pakai gamis yang mana ya?” “Astaghfirullah, apa-apaan sih? Nggak biasanya mau ganti baju aja bingung pilih yang mana. Biasanya juga tinggal ambil aja. Mau pakai apapun juga sama aja, orang semuanya gamis juga.” “Ya Allah, sejak kapan jadi selektif banget gini.” “Hah? Astaghfirullah, apa karena aku mau pergi sama Azzam? Enggak-enggak, bukan gitu kok. Bukan gitu maksudnya. Ah, apaan sih?” Savierra berdebat dengan dirinya sendiri. Ia bingung harus memakai gamis apa untuk keluar rumah kali ini. Mendadak hari ini ia menjadi selektif. Entah karena memang dia ingin memakai pakaian terbaik. Atau karena akan pergi dengan Azzam. Tapi terlepas dari itu semua, Savierra senang. Savierra seringkali menatap dirinya di depan cermin dan memberi ‘selamat’ pada dirinya sendiri karena ia mampu bertahan memperjuangkan sebuah nama hingga Allah meridhoinya dan berkata ‘iya.’ Setelah beberapa saat bersiap-siap, kini Savierra sudah benar-benar siap. Gamis abu-abu tua dengan cadar yang warnanya sedikit lebih muda dari gamisnya menjadi style yang dipakainya hari ini. Setelah dirasa cukup untuk bersiap-siap, akhirnya Savierra keluar dari kamarnya dan berjalan ke kamar Zahira. “Dek, udah selesai belum?” Panggil Savierra seraya masuk ke kamar Zahira. “Udah.” “Ya udah, ayo keluar.” “Kak Angga sendirian di rumah berarti, Kak?” “Mau ajak dia juga?” “Emang mau?” “Nggak bakal mau kalau menurut kakak.” “Samperin ke kamarnya aja dulu yuk, Kak. Kasian juga kalau ditinggal sendirian.” “Ya udah ayo.” Akhirnya, Savierra dan Zahira berjalan menuju kamar Angga. Awalnya memang Savierra ingin mengajak Angga ikut. Tapi Savierra berpikir bahwa Angga tidak akan mau diajak keluar rumah. Adik Savierra yang satu itu memang berbeda. Jarang ia mengiyakan ajakan Savierra atau Zahira untuk pergi keluar rumah. “Kak Angga, keluar bentar, Kak.” Panggil Zahira. “Pelan-pelan, Dek. Kenceng amat suaranya.” Ucap Savierra. “Kak Angga tuh jarang banget keluar kamar tau, Kak. Aku heran banget jadinya.” “Ya maklum lah. Dia kan udah gede. Bentar lagi sekolahnya lulus. Wajar kali kalau orang udah seumuran Angga gitu lebih nyaman diem dalam kamar. Aku juga dulu gitu, Dek.” “Masa iya?” “Ya iya.” Tak lama setelah itu, Angga pun keluar dari kamarnya. Dengan kaos hitam dan sarung hitamnya, Savierra yakin jika Angga baru saja selesai melaksanakan sholat dhuhanya. “Kenapa?” Tanya Angga. “Habis sholat dhuha?” Tanya Savierra. “Baru banget selesai. Kenapa emangnya?” “Kak, mau ikut kita nggak?” Sahut Zahira. “Kemana?” “Ke toko souvenir.” “Sama siapa?” “Sama Mas Azzam. Kak Savierra nggak enak katanya kalau cuma berangkat berdua.” “Jadi? Berempat?” “Enggak sih, Dek. Ada Tara juga.” Jawab Savierra. “Em, terserah sih.” “Terserah gimana? Irit ngomong banget sih, Kak.” Tukas Zahira. “Apaan sih, Dek? Orang biasa aja. Emang dasarnya gini kan, ya masa di suruh cerewet kayak kamu.” Jawab Angga. “Em, Kak Savierra telfon Mas Azzam deh.” Ucap Angga lagi. “Hah? Ngapain?” “Ya tanya, kalau belum berangkat, mending suruh ajak Vino juga. Kalau udah terlanjur ya udah nggak apa-apa.” “Kayanya udah mau sampai, Dek. Gimana? Soalnya emang udah dari tadi sih.” “Ya udah nggak apa-apa.” “Jadi ikut?” Tanya Zahira. “Bunda pergi ke butik?” “Iya.” “Ayah kemana?” “Ya ke kantor lah, Kak. Makanya, sering-sering keluar kamar.” Ujar Zahira. “Bawel amat.” Tukas Angga sembari mengacak pucuk kepala Zahira. “Ih, ngeselin banget bikin kerudung aku berantakan. Jadi ikut nggak?” “Ya bentar deh, siap-siap bentar dulu.” “Tumben mau diajak keluar?” Lirih Zahira. “Bosen di rumah, Dek. Serba salah nih kalau gini. Mau ikut kamu ngomel, nggak ikut pun kamu ngomel juga. Diem napa, cerewet amat.” Tukas Angga sembari mencubit pipi Zahira. “Sakit, Kak! Iseng banget, sih?!” “Ngomel mulu dari tadi.” “Em, kakak sama Zahira tunggu di depan, Dek.” “Iya.” Lantas, Savierra dan Zahira menunggu Angga di ruang tamu. Baik Savierra maupun Zahira sibuk memainkan ponselnya masing-masing. Sampai akhirnya, Zahira memberitahu Savierra bahwa sebentar lagi Azzam akan sampai di rumahnya. “Kak, Mas Azzam bentar lagi sampai katanya.” Ucap Zahira. “Udah mau sampai? Kamu dikasih tau Tara ya?” “Iya. Barusan dia chat. Sepuluh menit lagi kira-kira.” “Ya udah.” Tak lama setelah itu, Angga keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiri Savierra dan Zahira. “Belum sampai Mas Azzamnya?” Tanya Angga. “Sepuluh menit lagi katanya. di tunggu aja ya, lagi di perjalanan orangnya” Jawab Savierra. “Buset! Masyaa Allah, kaga pernah keluar, sekalinya keluar keren bener gitu ya.” Ucap Zahira sembari melihat penampilan Angga dari atas sampai bawah. “Kenapa baru ngeh punya abang keren kayak gini? Ganteng lagi, pinter lagi baik pula.” Tukas Angga dengan bangganya. “Dih, pede bener.” “Emang iya. Itu adalah sebuah kenyataan, harus di terima dong." “Kepedean itu mah!” “Bodoamat.” “Eh, udah sih. Ribut mulu dari tadi. Sekali-sekali nggak usah berantem napa, Dek. Kebiasaan berantem mulu.” Ucap Savierra kemudian. Setelah itu, barulah Angga dan Zahira diam. Setelah sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar suara mesin mobil yang memasuki halaman rumah Savierra. Lantas Angga melihat ke depan. Dan ternyata, Azzam sudah sampai di rumah Savierra. “Assalamualaikum.” Ucap Azzam. Di belakangnya, nampak ada Tara dan juga Vino yang berjalan mengikuti Azzam. “Waalaikumussalam.” Jawab Savierra, Zahira, dan juga Angga. “Eh, bro, ikut juga lu ternyata.” Sapa Angga pada Vino. “Tadinya kaga mau gue. Cuman ya gue pikir, lo ikut juga, Ngga. Jadi, mungkin gue ikut juga aja. Lo ikut, kan?” “Ikut. Tadi maunya sih kaga ikut. Cuman ya kalau gue di rumah, ngapain juga ya, kan? It’s oke lah gua ikut aja. Tadinya gue pikir lo kaga ikut. Kata Kak Savierra, Mas Azzam udah mau sampai sini, ya kali balik lagi buat jemput lu.” “Hahaha, bagus deh kalau lo ikut.” Savierra tersenyum melihat Angga dan Vino. Sepertinya, keluarganya dan keluarga Azzam memang benar-benar akan menyatu. Belum menyatu saja, mereka sudah sedekat dan seakrab ini. Apalagi nanti jika sudah ada ikatan di antara mereka. Mungkin ini yang di namakan jodoh, kedua keluarga sama kompaknya, enggak ada yang terpecah belah. Syukurlah, Savierra harus merasa bersyukur, karena di luar sana masih banyak pasangan yang kedua keluarganya banyak perbedaan dan malah berujung perseteruan. Kalau begitu, pernikahan yang terjadi pasti tidak bisa seindah yang dibayangkan. “Em, Sav, udah pamit bunda tadi?” Tanya Azzam kemudian. “Udah.” “Bunda beneran ke butik?” “Iya.” “Apa nanti pulangnya kita mampir ke sana dulu?” “Boleh. Terserah kamu aja. Kamu udah buat janji sama yang bikin souvenirnya?” “Tadi udah sih. Ditunggu gitu katanya.” “Oh, ya udah.” “Em, kita berangkat sekarang?” “Iya. Sekarang aja, lebih cepat lebih baik.” “Ekhm, beruntungnya kita semua ikut, jadi pada ada patnernya gitu lah ya. Nggak bakalan jadi nyamuk, Alhamdulillah deh.” Ucap Tara yang diikuti oleh tawa oleh Zahira, Angga, dan Vino. Sedangkan Azzam dan Savierra bingung dan gugup sendiri melihatnya. “Jago banget nyindir kakak sendiri.” Ucap Vino sembari terkekeh. Lantas setelah itu, semua orang masuk ke dalam mobil. Hingga akhirnya, Azzampun mulai menjalankan mobilnya. ¤¤¤¤ Suasana mall hari ini bisa dibilang sedang tidak terlalu ramai. Karena memang hari ini bukanlah hari libur. Saat ini, Azzam dan Savierra beserta adik-adik mereka sedang berada di sebuah toko souvenir dimana mereka akan memesan tambahan souvenir untuk acara pernikahan mereka. Angga dan Vino asik mengobrol, begitu juga Zahira dan Tara. Entah takdir atau bagaimana, usia adik-adik Savierra dan Azzam memang tidak jauh berbeda. Tidak salah jika mereka bisa seakrab ini. Di sisi lain, Savierra dan Azzam sibuk dengan kepentingan mereka. “Disamain kayak yang kemaren aja kali ya, Sav?” Tanya Azzam sembari melihat beberapa example souvenir di hadapannya. “Iya kali. Biar sama aja kayak yang kemaren. Jadi setiap orang yang dateng ya dapetnya sama.” “Yang kemaren tuh gelas gitu ya? Tapi kecil imut bentuk love gitu nggak, sih? Nah, kayak yang ini, nih. Kemaren kan ambil yang bentuknya gini. Imut banget, kawai.” Mendengarnya, Savierra tertawa ringan hingga membuat Azzam bingung. “Kenapa ketawa? Ada yang lucu?” Savierra hanya mengangguk sembari masih tertawa. “Apanya yang lucu?” “Kamu.” “Hah? Aku?” “E-em, maksudnya, tadi kamu nyebut souvenirnya itu loh. Lucu gitu nyebutnya.” “Oh, souvenir gelasnya?” “Iya.” “Ya emang lucu tau. Kecil gitu, mana bentuknya love lagi. Kawai banget.” “Kawai apaan emang?” Tanya Savierra kemudian. “Apa ya? Imut gitu sih setau aku.” Jawab Azzam. “Bahasa apa?” “Bahasa jepang.” “Hah? Kamu bisa bahasa jepang?” “Enggak.” “Yah, kirain bisa.” “Kenapa?” “Bahasa jepang tuh kayak ada beberapa kosa kata yang unik-unik gitu. Makanya tadi kamu bilang kawai tuh, aku kayak pernah tau. Tapi nggak tau juga sih, hehehe.” “Kamu suka bahasa jepang, kah?” “Em, lumayan suka.” “Ya nanti deh aku belajar.” “Hah? Buat apa? Suka juga?” “Belum suka. Cuma tau dikit doang. Katanya kamu suka.” “Terus?” “Ya aku pengen mempelajari apa yang kamu suka aja dulu. Siapa tau aku suka beneran.” “Suka bahasanya?” “Iya. Suka sama orang yang suka bahasanya juga.” “Hah?” “Kenapa?” Tanya Azzam sembari menaikkan satu alisnya. “Ya-yang suka bahasa jepang kan nggak cuma aku.” “Ya aku sukanya sama orang yang bikin aku suka sama bahasanya.” “Siapa?” “Kamu.” “Ja-jadi?” “Ya jadi, ya aku suka kamu.” Diam. Apalagi yang akan Savierra lakukan selain diam? Jujur, jantung Savierra sudah berdetak tak karuan sedari tadi. “Allah, godaan menjelang nikah kenapa banyak banget gini? Bikin sport jantung. Huh, Astaghfirullah.” Batin Savierra. “Sav,” “I-iya?” “Semoga Allah lancarkan ya.” Ucap Azzam. Empat kata itu, mampu membuat sudut bibir Savierra merekah sempurna di balik cadarnya. Bahkan, Azzam pun pasti bisa melihat itu. Ya, dari mata Savierra yang menyipit, membuat Azzam tau bahwa Savierra tersenyum. Seperti Humaira, yang pipinya merona. Pasti cantik dan manis. “Aamiin ya Mujibassailin.” Lantas, Azzam dan Savierra kembali saling tersenyum. Hari ini, detik ini, saat ini, keduanya sama-sama sedang mengukir senyum. Sebenarnya, senyum itu belum benar-benar sempurna. Senyum itu akan sempurna nanti. Saat kedua raga mereka sudah menyatu atas nama Allah. Saat dua jiwa itu sudah direstu oleh Sang Pemilik hati, maka di situlah, ukiran senyum itu akan benar-benar sempurna. Semuanya terasa seperti mimpi, takdir Allah memang begitu indah. ¤¤¤¤ Ketika sujudmu benar-benar sungguh, ketika rintihan doamu benar-benar tulus, ketika malammu kau penuhi dengan tangisan lirihmu supaya Allah menjaga hatimu dan hatinya, maka di situlah, yakinlah bahwa Allah sedang memelukmu dan berbisik lembut, ‘Tunggu, Aku akan mengabulkannya satu-persatu, hamba-Ku.’ • Cinta dan Hijrahku Fisabilillah • ¤¤¤¤ Lanjutkan cerita dari cinta dan Hijrahku Fisabilillah. Ini sambungannya, insyaallah update setiap hari. Selalu di tunggu ya.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.7K
bc

My Secret Little Wife

read
99.5K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
191.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook