Bab 1

1583 Words
Gadis kecil berusia tujuh tahun itu meliukkan pinggangnya mengikuti alunan musik yang mengalun merdu memenuhi ruang aula yang dipenuhi penonton yang menyaksikan penampilan peserta lomba, rambut hitamnya berkilau indah tersanggul rapi dengan hiasan pita berwarna biru muda. Bulu matanya lentik bagai bulu angsa. Sepasang mata tajam menatap gadis itu dengan bangga dan penuh cinta, tidak sekalipun matanya berkedip agar ia bisa menikmati setiap gerakan yang ditampilkan gadisitu. Gadis kecil itu tersenyum lebar dan melambaikan tangannya ke arah pemilik mata tajam itu, sang pemilik mata tajam membalas lambaian tangan gadis itu, memberitahunya kalau ia akan selalu ada untuknya. "Ayah," teriak gadis kecil itu dengan lantang. Pemilik mata tajam dan juga ayah dari si gadis kecil kembali membalas lambaian tangan anaknya, mulutnya membuat gerakan pelan dengan ucapan 'love you' seolah ingin memberitahu seluruh penonton bahwa ia lah ayah sang gadis itu. Semua mata tertuju padanya dan ia bangga bisa menyandang nama ‘ayah’ sang gadis. Gadis kecil itu membalas dengan gerakan tangannya berbentuk lambang hati. Ayah gadis itu kembali tersenyum dan rasa cintanya semakin bertambah tiap detiknya. "Ayo Hanin! Ayah yakin kamu bisa!" teriak laki-laki bernama Ganindra Bakti Utomo sang pemilik mata tajam itu ke arah putrinya Hanindiya, Hanindiya mengangguk pelan dan melanjutkan gerakan tarinya. Gerakan demi gerakan ditampilkan Hanindiya tanpa ada kesalahan, pengajar yang memilih Hanindiya bangga melihat usaha muridnya untuk menarik minat juri. Hanindiya semakin bersemangat menampilkan kelihaiannya di hadapan ratusan penonton yang datang dalam pertunjukannya dan juga juri yang nantinya akan memilih perwakilan Indonesia di pentas internasional untuk kategori anak-anak. Senyum Ganindra hilang saat gadis kecil itu kembali fokus dalam pertunjukannya, senyum semu dan palsu Ganindra hanya akan terlihat saat ia berinteraksi dengan Hanindiya dan setelah itu ia akan kembali menjadi manusia dingin dankaku. Tujuh tahun kamu abaikan gadis itu dan larut dalam kenangan semu, sampai kapan? Sampai kapan aku dan Hanin menunggumu? gumam Ganindra dalam hati. Tujuh tahun ia mencoba membuat Sandra menerima Hanindiya dan juga menerimanya sebagai suami tapi sia-sia, Sandra semakin larut dalam kenangan mantan suaminya yang telah meninggal dan melupakan tugasnya sebagai istri dan juga seorang ibu. Drttt drttt Ganindra mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan melihat nama 'bunda' tertulis di layar ponselnya. Dengan malas Ganindra mengangkat telepon yang selama ini iahindari. "Halo bunda." "Bagaimana pertunjukan Hanin hari ini? Bunda pengen nonton tapi ayah tidak mau ngantarin bunda ke sana, ayah kamu emangnyebelin!" "Baik dan nanti saja kita bahas, di sini agak berisik. Sudah dulu ya, Hanin sudahselesai." "Tapi ..." Belum sempat wanita yang dipanggil bunda itu melanjutkan ucapannya Ganindra lebih dulu memutuskan percakapan mereka. Ganindra sengaja menonaktifkan ponselnya dan kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Wanita yang menelepon Ganindra tadi terlihat kecewa saat Ganindra menonaktifkan ponselnya. Pertanyaan tentang Hanindiya hanya kamuflase, wanita itu hanya ingin mendengar suara Ganindra yang sangat ia rindukan. "Maafin bunda ya Ganin ... sudah hancurin hidup kamu," gumam wanita itu dengan lemah. Seorang pria tua mendekati istrinya itu lalu memeluknya penuh cinta, ini yang membuatnya enggan mengantar istrinya menghadiri acara Hanindiya karena hanya isak tangis dan kesedihan setiap istrinya bertemu Ganindra, anak angkatmereka. "Ayunda ... kamu masih menganggap dia pengganti Alex?" tanya pria itu ke wanita bernama Ayunda. Ayunda menatap sedih Rabian, sangsuami. "Salahlah aku? Anak kita sudah nggak ada lagi, aku tulus menyayangi Ganin tapi dia sulit di dekati. Dia membuat tembok pemisah dengan kita bahkan aku tidak tahu apa isi hatinya," Ayunda menutup wajahnya dengan kedua tangannya lalu menangisterisak-isak. Rabian menghela napas lalu memeluk istrinya yang masih sulit menerima kematian Alexander. Dalam lubuk hati terdalamnya Rabian juga sulit melupakan Alexander tapi hidup harus terus berjalan dan sebagai suami dan juga ayah ia harus kuat dan merelakan kematian Alexander agar orang-orang yang disayanginya bahagia. **** Pertunjukan Hanindiya akhirnya selesai dan orang pertama yang dicari Hanindiya adalah Ganindra, ayahnya. Hanindiya berlari menuju tempat ayahnya menonton pertunjukkannya, ia langsung menghambur ke dalam pelukan Ganindra. Tangan kanannya memegang piala kecil sedangkan tangan kirinya memegang sebucket mawar merah. "Gimana pertunjukanku yah? Oke tidak? Aku juara satu dan mereka memberiku ini sebagai hadiah," Hanindiya menyerahkan piala tadi ke tangan Ganindra. "Wow," Ganindra mengangkat kedua jempolnya lalu mencium kening putrinya itu, "good girl, kamu selalu bisa bikin ayah kagum dengan prestasi kamu," kata Ganindra memuji kebolehan anaknya di bidang seni tari. "Ayah serius? Wahhhhh terima kasih ayah, hanya ayah yang bisa mengerti Hanin. Hanin sayanggggg banget sama ayah," Hanindiya mencium pipi Ganindra bertubi-tubi dan diakhiri dengan pelukan hangat. "Hey kamu bikin ayah geli, berhenti Hanin! Ayah balas ya, rasain!" Ganindra punmembalas dengan menggelitiki pinggangHanindiya. Interaksi di antara mereka menjadi tontonan ibu-ibu yang melewati bangku Ganindra, mereka kagum dengan kedekatan Ganindra dan Hanindiya. Setiap Hanindiya ada pertunjukan atau lomba mereka selalu melihat Ganindradatang. "Sayang ya pertunjukan Hanin tidak pernah ditonton ibunya, selama ini hanya ayahnya yang datang," bisik salah satu gerombolan ibu-ibu yang melewati kursi Ganindra. Senyum Hanindiya langsung hilang saat mendengar ibu-ibu itu membahas ibunya, wajahnya menunjukkam ketidaksukaannya akan topik paling sensitif dalam hidupnya. "Besok ibuku pasti datang!" sela Hanindiya dengan mata berkaca-kaca dan d**a naik turun, amarah dan kesal membuatnya bersikap tidak sopan. Ganindra melihat ke arah Hanindiya dan kaget mendengar ucapan anaknya itu. Selama ini Hanindiya tidak pernah membahas masalah ibunya dan selalu menerima kalau ibunya tidak pernah mau datang ke acara pertunjukannya. Ibu-ibu itu merasa tidak enak saat Ganindra menatap mereka tajam, setelah kepergian ibu-ibu itu barulah Ganindra menatap Hanindiya dengan lembut. Ganindra merapikan anak rambut yang berserakan di pipi Hanindiya. "Kamu mau ibu datang?" tanya Ganindra pelan. Hanindiya menggeleng pelan lalu menundukkan kepalanya. Isak tangis pelan terdengar dari mulut kecilnya. Hati Ganindra langsung pilu dan reflek ia memeluk tubuh kecil putrinya. "Ayah ..." panggilnya pelan dengan suara serak. "Ya, jangan nangis lagi ya. Kalau kamu mau ibu datang, ayah akan ajak dia ke sini tapi kamu jangan nangis lagi," ujar Ganindra membujuk anaknya untuk berhenti menangis. "Aku mau ayah cari ibu baru ... ibu yang sayang sama aku dan juga ayah," bisik Hanindiya dengan wajahmengiba. Kamu dengar Sandra? Putrimu menginginkan ibu lain untuknya dan aku tidak sanggup lagi melihatnya bersedih seperti ini, mungkin sudah waktunya kami meninggalkan kamu Ganindra kembali memeluk Hanindiya yang masih menangis terisak. Ingatannya tentang kejadian tujuh tahun lalu kembali datang dan membuat dadanya sesak, masa-masa di mana ia hanya bisa menerima orang lain mengatur hidupnya. Karena aku hanyalah sebagai pengganti Alex. **** Dengan pelan Ganindra meletakkan Hanindiya di atas ranjang hello kitty miliknya, Ganindra melepaskan sepatu dari kaki Hanindiya lalu melepaskan baju baletnya dan diganti dengan piyama bergambar kuda ponny kesukaanHanindiya. "Selamat malam sayang, semoga mimpi indah ... lupakan kesedihan hari ini dan kembalilah ceria," bisik Ganindra pelan ditelinga Hanindiya. Hanindiya menggelinjang pelan dan menarik selimut mickey mouse nya untuk menutupi tubuhnya dari rasa dingin. Setelah memastikan Hanindiya tidur barulah Ganindra keluar, ia tidak lupa mematikan lampu agar Hanindiya bisa tidur dengan nyenyak. Rasa lelah dan penat membuat Ganindra melangkah menuju dapur untuk mengambil segelas air es, langkah kakinya terhenti saat melihat seorang wanita terlihat menyedihkan sedang merokok di balkon. Asap memenuhi balkon itu bahkan ia bisa mencium bau asap masuk ke dalamrumah. "Alex! Aku kangen banget sama kamu, tega sekali kamu ninggalin aku sendiri di sini. Aku ... aku ..." terdengar isak tangis dari wanita itu, lama kelamaan isak tangis tadi berganti gelak tawa penuh kesedihan. Ganindra masih berdiri di tempatnya dengan sikap kaku dan tanpa ekspesi, tidak lama wanita itu kembali masuk ke dalam rumah. Matanya melihat Ganindra dengan tatapan benci, dendam dan sikap permusuhan lainnya. "Apa lo lihat-lihat," maki wanita itu dengan kasar dan keras. Napasnya sesak setiap melihat laki- laki yang dibencinya itu masih betah bertahan di sampingnya selama tujuh tahun. "Hanin mau kamu datang ke sekolahnya besok," balas Ganindra masih tanpaekspresi. "Masa bodo, nggak ngurus!" wanita itu melewati Ganindra dengan sengaja menyenggol bahu Ganindra untuk melepaskan kekesalannya. "Sandra, Hanin mau kamu datang ke sekolahnya," ulang Ganindra sekali lagi. "Gue sudah bilang tidak! b***k ya?" Sandra semakin kasar dan tidak peduli kalau laki-laki yang berdiri di hadapannya kini adalah suaminya, suami yang telah menemaninya selama tujuh tahun ini. Suami yang diam meski Sandra memaki, menghina, menolak bahkan membencinya. "Elo kan dibayar buat ngurus anak itu, ya sudah silakan urus dan jangan ganggu gue dengan rengekannya. Bikin sakit kepala!" sindirnya tajam. "Sandra!" Sandra memutar tubuhnya dan melihat Hanindiya sedang menangis ketakutan di belakang Radja, Ganindra langsung mendekati Hanindiya dan menggendong anak itu. Ganindra meninggalkan Sandra dan Radja untuk menyelamatkan Hanindiya dari rasa sakit yang disebabkan penolakanSandra. Setelah Ganindra pergi barulah Radja mendekati Sandra, Radja menarik Sandra menuju kamarnya agar pertengkaran mereka tidak didengar Hanindiya. "Kamu kapan sadar kalau Hanin itu anak kamu? Anak yang ditinggalkan Alex untuk kamu jaga, bukan untuk kamu siksa seperti tadi!" ujar Radja dengan nada tinggi. Sandra tertawa sinis, "Elo lupa kalau semua ini nggak akan terjadi ... sudahlah, jangan ganggu hidup gue lagi," Sandra mengeluarkan rokok baru dari sakunya dan sengaja mengisapnya di depan Radja. "Tolong hormati Ganindra, dia suami kamu," ujar Radja sebelum meninggalkan Sandra tapi langkah Radja terhenti saat mendengar gelak tawa dari mulut Sandra. "Hanya suami pengganti yang kalian atur tanpa seizin gue, suami gue hanya Alex dan elo sudah membunuhnya," ujar Sandra kembali mengingat kejadian tujuh tahun lalu. Kejadian yang membuat Radja sampai detik ini hidup dengan penyesalan dan juga kesepian. "Bersyukurlah kamu bisa memiliki anak dan sayangi anakmu sebelum kamu menyesalinya, jangan …" Radja berhenti bicara dan meninggalkan Sandra. Sandra semakin dalam menghisap rokoknya. Baginya Hanindiya adalah penyebab ia kehilangan Alexander, andai hari itu ia tidak sedang hamil maka Alexander tidak akan meninggalkannya sendirian di Jakarta dan kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Sandra kembali memutar kenangan buruk yang merenggut seluruh kebahagiannyanya bersama Alexander. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD