"Jadi kau, Brian Westlake, kapten tim basket kebanggan sekaligus jenius kedua setelah Mrs Handerson. Bisa-bisanya kau menggunakan fasilitas sekolah untuk hal tidak penting?!" Marah Mr Oddison, kepala sekolah Poly Prep yang terkenal dengan kumis lebatnya.
Brian merengut. "Ya maaf, Mr. Saya hanya menepati janji saya untuk kemarin saja. Tak akan ada kejadian seperti itu lagi."
"Berapa kali kau melakukannya kemarin ? Dua kali. Sebelum bel masuk sekolah dan sesudah bel pulang sekolah. Berapa banyak yang terganggu ?" Tatapan mata Mr Oddison tajam sekali.
"Satu sekolahan." Tukas Brian ogah-ogahan.
"Mari kita lihat catatan masalah siswa dalam riwayat belajarmu di Poly Prep, Tuan player. Kau jenius, jenius satu sekolahan setelah Mrs Handerson, sayangnya kau pembuat onar. Kau tahu ? Itu amat disayangkan sekali."
"Jika saja kau tidak termasuk pembuat onar, aku yakin kau bisa mendapat beasiswa Oxford. Begitu pun Mrs Handerson yang terlihat berjuang sekali untuk mendapatkannya." Tutur Mr Oddison.
Dahi Brian mengernyit. "Beasiswa Oxford ?"
Mr Oddison mengangguk. "Ya, Oxford. Perguruan tinggi terkenal dan terbaik yang menjadi impian anak-anak. Mrs Handerson sudah berniat untuk mendapatkannya. Tak heran jika ia menjadi siswa teladan Poly Prep. Begitu juga denganmu, Mr Westlake. Andai saja kau tak membuat onar seperti kataku sebelumnya."
Brian terkekeh. "Sayangnya tidak, Tuan kumis. Aku tidak pernah berniat masuk Oxford."
"Oke, cut it out. Sekarang aku akan mengurus detensi tambahan atas dasar penyalahgunaan fasilitas terpenting sekolah." Mr Oddison membuka buku aturan siswa.
"Oh ayolah, Mr. Aku hanya menggunakannya dua kali !" Keluh Brian dengan erangan frustasi.
"Aku yakin kau akan menyukai detensi ini." Mr Oddison tersenyum lebar, menggodai Brian.
Brian berdecak. "Kau sudah mengatakannya berkali-kali di setiap kau memberikan detensi padaku."
"Aku yakin kau akan menarik kembali ucapanmu." Mr Oddison mengerlingkan mata.
Yang Brian inginkan sekarang adalah keluar dari ruang kepala sekolah, duduk di kelas, dan menatap Luna yang memang duduk bersebelahan dengannya.
***
"Kamu bertengkar sama Elise, ya ?" Tanya Bianca, berdiri di sebelah meja Luna.
Luna hanya mengangguk tanpa menoleh ke Bianca. Sudah ia duga jika Elise akan langsung menjauhinya setelah ia mengakui segalanya. Tapi Luna tidak menyesalinya, karena segala ucapannya bukan kebohongan dan fakta nyata.
Mungkin saja sekarang Elise telah memasukkan namanya ke dalam catatan orang-orang yang gadis itu benci.
"Kata Elise, kamu berteman sama salah satu anak cheerleader." Ujar Bianca.
"Elise saja yang keras kepala. Nggak mau melihat kenyataan dulu." Tukas Luna lalu berdiri dari bangkunya.
Luna berjalan keluar kelas dengan sedikit menundukkan kepala. Tak peduli dengan tatapan bingung dari para siswa lainnya.
"See ? Kau langsung membencinya hanya karena dia berteman dengan Shane Cowell ? Kau bahkan belum melihat dengan langsung siapa Shane Cowell itu, Elise." Celetuk Rebecca, lelah dengan sifat keras kepala Elise, ia pun duduk di bangkunya sendiri.
Semua cheerleader itu sama saja, batin Elise kesal.
Luna menutup pintu lokernya dengan sedikit keras lalu bergegas kembali ke kelas. Namun tiba-tiba ia menabrak seorang lelaki jangkung hingga membuatnya hampir terjatuh.
Sepuluh detik Luna tak merasakan apapun maupun tanda-tanda ia akan jatuh. Ia pun membuka kedua matanya, nampaklah wajah Jack di hadapannya. Luna merasakan sebuah lengan besar memeluk pinggangnya, mencegahnya agar tidak terjatuh barusan.
Cepat-cepat Luna melepaskan diri dari Jack dan berdiri tegak sambil merapikan seragamnya.
"Lain kali kalau jalan jangan terburu-buru." Celetuk Jack, senyuman geli tergores di wajahnya.
"Yeah, sorry. Excuse me and thank you." Sahut Luna lalu berjalan cepat meninggalkan Jack.
Jack tersenyum geli melihat kelakuan Luna yang sedikit salah tingkah barusan. Tak peduli dengan tatapan terkejut di sekitarnya yang melihat adegan romantis barusan, Jack berjalan kembali ke kelasnya.
Ia jadi merasa mengkhianati Brian atas kelakuannya pada Luna barusan. Tapi itu murni sekedar menyelamatkan Luna dari rasa sakit membentur lantai dan malu jika dilihat banyak siswa.
Ekspresi wajahnya barusan imut sekali, batin Jack menahan tawa.
"Wowowowowo ada apa dengan si chubby ini ? Senyum-senyum sendiri seperti Brian." Seru Thomas ketika Jack baru saja berjalan memasuki kelas.
Jack mendongak. "What ? Aku tidak seperti itu."
"Ya, kau seperti itu barusan, chubby." Bantah Samuel yang asyik duduk di jendela tanpa takut terjatuh dari lantai tiga, tempat kelas berada.
"Ceritakan saja, bung. Jarang sekali melihatmu senyum-senyum sendiri seperti barusan." Celetuk Brandon.
Jack duduk di bangkunya, menghela napas panjang. "Nope. Tak ada yang terjadi hari ini."
"Harusnya kau melihat bagaimana menyedihkannya Brian sehabis keluar dari ruangan Tuan kumis tadi pagi. Detensinya bertambah lagi, oh for God sake !" Seru Thomas tanpa sadar mengubah topik.
Jack terkekeh. "Memangnya detensi tambahannya apa ?"
"Kalian ingat jika sebentar lagi Poly Prep akan berulang tahun ke-60 tahun ? Dan apa kalian ingat jika setiap berulang tahun, si Tuan kumis itu pasti akan mengadakan pesta ?! Brian yang disuruh mempersiapkan segalanya !" Thomas tertawa bahagia.
"Sendirian ?" Tanya Jack sambil berusaha menahan tawa lebih dulu.
"No. Mana mungkin dia melakukannya sendirian. But, you know that. Menjadi salah satu yang mempersiapkan pesta perayaan Poly Prep itu melelahkan." Jawab Jeff.
"Aku yakin dia sekarang sedang mengutuk si Tuan kumis di kelas." Brandon berusaha meredakan tawanya.
Thomas menggelengkan kepala dengan dramatisnya. "Jangan lupa guys. Nanti sore grand finalnya akan diadakan."
"Being the winner is my style." Celetuk Samuel sombong.
"Exactly !" Sahut kelima sahabatnya kompak.
***
Jam istirahat. Luna duduk di bangku kantin setelah mengantri untuk mengambil jatah makanan. Fenomena, Luna sangat jarang makan di kantin, nyaris tidak pernah. Suatu keajaiban melihatnya duduk manis di bangku kantin dengan nampan berisi menu makanan khas kantin.
Tak ada angin, tak ada petir, tiba-tiba Brian duduk di hadapan Luna dengan meletakkan nampan makanan juga. Cengiran tergores di wajah baby face-nya. Tak luput, kelakuan Brian langsung mengundang perhatian siswa di kantin.
"Tumben sekali melihatmu makan di kantin." Ujar Brian kemudian mulai memakan makanan di nampan miliknya.
Luna melirik sekilas. "Masalah ?"
"Yeah nggak sama sekali. Aku justru senang, akhirnya ada perempuan yang bisa menemaniku makan." Ungkap Brian, pipinya menggembung penuh makanan.
Luna memasukkan sesendok nasi ke mulutnya. "Your friend ?"
"Ke kantin saat jam istirahat ? Itu bukan style mereka." Jawab Brian.
"Tidak latihan buat grand final ?" Tanya Luna.
Brian menggeleng. "Gym yang kemarin sudah lebih dari cukup. Bukan berarti kami meremehkan Trinity."
Luna manggut-manggut. Kurang dari sepuluh detik, kedua mata hazelnya menangkap sosok Elise, Rebecca, dan Bianca di salah satu bangku kantin, jauh dari bangkunya sendiri berada. Sepertinya Elise juga masih enggan bertatapan dengannya.
Luna hanya bisa menghela napas panjang. Mencoba mengerti dengan sikap Elise yang terkadang egois.
"Kalau dilihat-lihat, sepanjang hari ini kau tidak ngobrol dengan ketiga sahabatmu itu." Celetuk Brian.
"Tidak harus setiap hari aku berbicara dengan mereka semua." Tukas Luna lalu bersiap pergi setelah makanannya habis.
Sebelum Luna pergi, Brian mencekal tangan kanan Luna. Alis Luna naik sebelah, bingung. Namun sedetik kemudian gerombolan cheerleader mendatangi kantin beramai-ramai. Kantin yang semula ramai pun langsung hening seperti di pemakaman.
Mau tak mau, Luna kembali duduk, menuruti kode mata Brian. Tak perlu menerka lagi, gerombolan teratas dalam cheerleader itu menghampiri bangku yang diduduki ketiga sahabat Luna.
Kembali memaksa Elise untuk yang terakhir kalinya karena grand final basket Poly Prep dengan Trinity adalah hari ini.
BRAK !
Isabelle menggebrak meja, tepat di hadapan Elise. "Dengar ini, b***h ! Ini untuk terakhir kalinya aku mengajakmu masuk dalam cheerleader. Aku tak akan repot-repot melakukan hal bodoh ini jika saja lawan Poly Prep bukan Trinity. Terima atau tidak ?" Kecam Isabelle nyaris menekankan seluruh perkataannya.
Elise berdiri, balik menantang Isabelle. "Tak bisakah kau mencari perempuan lain selain diriku ? Jangan-jangan kau fansgirling padaku." Smirk muncul di wajah Elise.
"Apa yang akan terjadi jika usaha terakhir Isabelle gagal ?" Tanya Luna, berbisik pada Brian.
Brian menoleh. "Dia akan menggunakan segala cara jahatnya."
Tanpa sadar Luna menggigit bibir bawahnya sendiri.
Isabelle tertawa sinis. "Aku masih punya otak untuk menjadi fasngirlingmu, jalang. Menghancurkan hidupmu, Huntley, Handerson, dan Portebeast itu sangat mudah bagiku."
Tatapan Elise menajam. "Aku tak peduli dengan hidup Luna. Dia sudah bukan siapa-siapaku lagi."
Sontak Brian menoleh ke Luna yang duduk di hadapannya. Semakin terkejut melihat keadaan gadis itu tidak menunjukkan reaksi yang terlalu berarti. Tetap datar.
"Oh oh oh ternyata sudah tak ada hubungan apapun." Cemooh Isabelle.
Para back up-an Isabelle tersenyum sinis ke arah Elise. Rebecca dan Bianca hanya diam, Rebecca terus menyembunyikan Bianca di belakang tubuhnya.
Anak-anak di kantin pun tampak tak peduli maupun kasihan dengan Elise.
Shane datang dengan napas putus-putus, sehabis berlari dari atap gedung sekolah ke kantin. Tanpa basa-basi Shane langsung duduk di sebelah Luna.
"Apa yang terjadi ?" Tanya Shane sambil mengatur napas.
"Intinya, Isabelle mengajaknya lagi. Untuk yang terakhir kalinya." Jawab Luna.
Isabelle maju satu langkah, mempersempit jarak antara dirinya dengan Elise. "Pikirkan ini, kalau kau menjadi cheerleader, kau bisa dapat segalanya. Kehidupanmu akan berubah drastis. Uang, laki-laki tampan, reputasi, kedudukan, dan status akan kau dapatkan.
"Daripada hidup sebagai anak nerd dan tak berguna seperti Handerson, Huntley, dan Portebeast. Menyedihkan. Aku menjamin ucapanku barusan, Redgard."
"Aku lebih memilih mati sebagai pecundang daripada harus menjadi perempuan jalang yang berpindah-pindah kasur dan pasangan." Balas Elise tajam.
Isabelle pun marah. Tangan kanannya sudah siap dilayangkan ke pipi Elise. "Berani-beraninya kau-"
PLAK !
Seluruh siswa terkejut dan tak berkutik sedikit pun setelah suara tamparan keras itu menggema ke seluruh penjuru kantin. Apalagi Brian dan keenam sahabatnya yang baru datang.
"Lu-Luna ?" Rebecca membeo.
"Seperti kata Luna, berkacalah Isabelle. Itulah dirimu." Cetus Shane dengan kedua mata melotot.
Isabelle menyentuh pipinya yang memerah, ditampar oleh Shane.
"Oh wow lihat siapa ini ? Anggota cheerleader yang telah lama menghilang dari hadapanku," Isabelle tersenyum sinis, "Shane Cowell."
Elise dan Rebbeca membulatkan mata mereka ketika mengetahui siapa perempuan berambut panjang yang barusan menampar Isabelle. Lebih terkejut Elise karena ucapan Luna benar.
Buktinya, Shane yang notabene anggota cheerleader barusan menampar ketua cheerleader-nya sendiri.
"Ada apa ini ?! Hentikan kekacauan ini sekarang juga !" Seru Claire, sang ketua OSIS.
Para siswa di kantin pun langsung pergi dari kantin tepat setelah kemunculan sang ketua OSIS yang terkenal tegas dan licik.
"Serius, dunia perempuan itu penuh drama." Celetuk Thomas yang duduk di bangku yang diduduki oleh Luna beberapa saat yang lalu.
Isabelle bungkam secara tiba-tiba, ia pun sedikit-sedikit menundukkan kepalanya, tak mau bertatapan dengan perempuan yang paling berkuasa di Poly Prep.
"Cheerleader lagi. Bagus sekali, Lockhart." Celetuk Claire, mengerti dengan apa yang terjadi tanpa harus bertanya lebih dulu.
"Aku hanya-"
Claire mengangkat tangan kanannya, menyela Isabelle yang ingin mengelak. "Enough. Kau tak ada lelahnya membuat ulah setiap hari."
"Tapi aku hanya-"
"Aku tak mau mendengar pembelaanmu lagi, Lockhart. Pergi menghadap Mr Oddison sepulang sekolah. Kelakuanmu sudah tak bisa kutolerir lagi." Claire memutus ucapan Isabelle lagi.
Sebelum Isabelle dan para back up cheerleader-nya meninggalkan kantin. Celetukan Luna membuat Isabelle semakin muak.
"Aku yang akan menggantikan Elise menjadi cheerleader saat grand final nanti !"
***
"Oke, yang barusan itu gila, Luna ! Apa yang barusan kau pikirkan saat mengucapkan hal itu ?!" Brian.
"I like your style, Handerson." Samuel.
"Aku tak menyangka kau seberani itu." Brandon.
"Itu cukup untuk membuat Poly Prep heboh sebentar lagi." Jeff.
"Ini kesempatan yang bagus untuk melihat Luna memakai baju cheerleader Poly Prep ! Oh man, semua orang pun tahu jika desainnya sungguh seksi !" Steven.
"Good luck for you, Luna." Jack.
"Kukira Luna akan menjadi penonton, ternyata menjadi penyemangat kita, bung !" Thomas.
"Bisakah kalian diam ? Aku pusing." Luna menghela napas panjang sambil menenteng tas sekolahnya di pundak kanan.
Bel sekolah sudah berbunyi, tepat setelah itu Luna langsung diseret oleh ketujuh pemain basket tim Poly Prep. Sepanjang perjalanan menuju parkiran mobil sekolah, Luna bagaikan dikawal oleh mereka bertujuh.
"Kau bisa meminjam punggungku jika pusing." Celetuk Samuel polos.
Spontan ia mendapat jitakan di kepala dari keenam sahabatnya.
"Karena kau akan menjadi cheerleader untuk pertama dan terakhir kalinya, kau harus buat pengalaman ini berkesan. Dan harus cantik, melebihi cheerleader lainnya." Ujar Brandon.
"Maka dari itu, kau harus ikut kami ke rumahku untuk didandani. Claudia pandai dengan make up dan tata rias. Ngomong-ngomong, hari ini kau tidak naik sepeda ke sekolah ?" Tanya Steven, wajahnya sungguh berbinar.
Luna menggeleng. "Aku sudah cukup pusing menaiki mobil adikku, Lykan Hypersport miliknya sungguh menyeramkan."
"Pertama LaFerrari, sekarang Lykan Hypersport. Just wow." Celetuk Jeff kagum.
Sesampainya di parkiran, Luna langsung dimasukkan secara paksa ke dalam mobil Lamborghini milik Brian. Lagi-lagi, ia hanya bisa pasrah dengan keadaan.
***
Ketujuh mobil sport yang sungguh menyilaukan mata memasuki halaman rumah elit milik keluarga Sorensen, rumah Steven. Dengan bangganya cowok itu keluar dari mobilnya ala-ala orang milyuner terkaya.
Sosok adik perempuannya muncul setelah pintu utama rumah dibuka olehnya.
"Kalian datang lagi. Dan oh ? Siapa dia ?" Claudia menunjuk Luna yang baru keluar dari mobil Brian.
Steven nyengir. "Kakak kandung dari sainganmu di sekolah. Klue, Handerson."
"Jadi dia kakaknya Lauren ? She's so beautiful. Come in !" Claudia tersenyum kemudian memasuki rumah lebih dulu.
Brian menjentikkan jari. "Segera telpon pihak sekolah untuk mengantarkan seragam cheerleader Luna,"
Brandon langsung menempelkan ponsel canggihnya di telinga.
"Dan kau Luna, segera bersiap-siap sana. Aku dan yang lain juga akan bersiap-siap. Satu jam dari sekarang." Perintah Brian.
Tanpa aba-aba, Claudia langsung menggeret Luna ke lantai dua.
***
Meskipun sedikit terpaksa dan agak benci melakukannya, Elise tetap datang untuk menonton grand final Poly Prep melawan Trinity. Ditambah rasa bersalah yang mulai menghinggapinya sejak tadi siang di sekolah. Perkataan Luna benar, ada salah satu cheerleader yang bahkan membenci grup cheerleader itu sendiri.
Apalagi, Luna rela menggantikan dirinya menjadi cheerleader selama grand final berlangsung.
Ketika pertandingan akan dimulai. Terlihat di mata Elise bagaimana formasi cheerleader Poly Prep di pinggir lapangan basket indoor, ada Luna dan Shane berdiri bersebelahan. Rasa bersalah Elise semakin menjadi.
"Wow, nggak nyangka kakakku bisa menjadi cheerleader di pertandingan besar seperti ini." Celetuk Lauren yang tiba-tiba sudah duduk di sebelah Elise.
Elise menoleh dengan wajah kaget. "La-Lauren ?! Sejak kapan kau di sini ?!"
"Baru saja duduk. Why ?" Jawab Lauren lalu menyantap hotdog.
"Nope. Hanya kaget." Tukas Elise sedikit canggung.
Elise terus menatap Luna yang memperagakan formasi cheerleader khas Poly Prep. Sedikit bingung juga, bagaimana bisa Luna hafal dengan gerakan cheerleader khas Poly Prep.
Terlihat sekali jika cheerleader Poly Prep tak ingin kalah dengan cheerleader Trinity. Pertandingan pun dimulai setelah bola basket dilempar ke atas oleh wasit di tengah lapangan. Penonton langsung bersorak.
"Luna itu baik dan selalu menutupi semua masalahnya sendiri," celetuk Lauren ditengah-tengah suara sorakan penonton.
"Yeah, I know." Tanggap Elise lirih.
"Dan..., dia tidak suka melihat temannya dilukai," Lauren mengunyah hotdog-nya, "terkadang kau sudah merasa sungguh mengenal Luna. Nyatanya tidak. Kenyataannya, banyak yang tidak kau ketahui tentang dia."
Ucapan Lauren langsung menyadarkan batin Elise disaat itu juga.