-Luna POV-
Setelah nyaris dua jam aku melompat, bersorak, bergaya, dan tersenyum lebar sebagai cheerleader, pertandingan usai. Dengan bangga, Brian mengangkat piala kemenangan itu tinggi-tinggi yang langsung disambut sorakan gembira para penonton.
Dia tersenyum lebar, sesekali tertawa bangga bersama keenam sahabatnya. Cukup khawatir dengan kondisi kaki Jack yang barusan terkilir secara tiba-tiba.
Lebih menggelikan yaitu Thomas yang mendapat giliran menjadi pemain cadangan. Ia hanya kebagian main selama dua puluh lima menit.
"LUNA LUNA AYO SINI FOTO BERSAMA LAGI !!"
"AYO HANDERSON ! INI KEMENANGAN BERKAT KAU MENJADI PENYEMANGAT KAMI SELAMA PERTANDINGAN !"
Tanpa sadar aku terkekeh geli kemudian meletakkan pom-pom di bangku tempat tim cheerleader Poly Prep. Tanpa perlu menoleh, sudah bisa kurasakan berbagai tatapan benci itu berasal dari anak-anak cheerleader.
Mana aku peduli ?
Anggap saja itu hanya angin lalu.
Tanpa malu-malu lagi aku berpose di sebelah Brian karena lelaki itu langsung merangkul pundakku.
"Say cheese !!" Seru Steven.
Aku pun tersenyum lebar sambil mengacungkan dua jari tangan kananku, jari telunjuk dan jari tengah. Tidak hanya sekali, namun dua kali berfoto. Pose yang kali ini sungguh membuatku ingin menampar hidung Brian.
Eh, hidung bisa ditampar ?
Soalnya pose di foto kedua ini pipiku dicium oleh Brian secara tiba-tiba. Setelah selesai berfoto, aku langsung melotot ke arahnya dengan wajah kesal.
"Apa yang kau lakukan barusan ?" Tanyaku sinis.
Brian nyengir. "Sekali-sekali aku cium nggak masalah, 'kan ? Hehehe...,"
"Dasar pencari kesempatan !" Ledek Thomas.
Samuel mengacak rambut Brian. "Kau sudah besar ya, Nak. Sudah main cium perempuan."
Tiba-tiba Jack mengacak rambutku. "Bagaimana rasanya dicium sama kapten tim basket yang punya banyak fans, hmm ? Hahahaha..."
Aku mendengus kesal. "Menggelikan sekaligus menyedihkan. Ciuman pertama di pipiku ternyata orang semacam dia."
Kami asyik sendiri di tengah lapangan yang sudah dipenuhi kertas berwarna yang terjun dari langit-langit beberapa menit yang lalu. Penonton pun terlihat masih enggan keluar meskipun pertandingan telah selesai. Tim Trinity saja sudah pulang membawa kekalahan, lengkap dengan tim cheerleader mereka.
Pelatih dari kedua belah pihak tampak masih mengobrol layaknya seorang teman, tanpa memprotes maupun berdebat mengenai pertandingan barusan. Ketujuh cowok ini harus bersyukur memiliki pelatih yang baik dan penyabar, Mr Brave.
Aku terkejut dalam diam ketika melihat Lauren berlari ke arahku dari atas podium penonton. Jadi sejak awal dia melihat tingkah konyolku selama menjadi cheerleader ? Oh my God.
"You guys are so amazing ! Gimme an highfive, you damn so hot !" Serunya lalu ber-highfive ria dengan ketujuh lelaki tampan di belakangku.
Puas ber-highfive dengan mereka, Lauren tersenyum lebar di hadapanku. "Hai nyonya muda Handerson. You're so amazing as cheerleader. Gimme highfive, ice lady !"
Aku memberinya highfive dengan raut super ditekuk. Yakin seribu persen jika wajahku sekarang sangat menyebalkan untuk dilihat.
"Ngomong-ngomong sekarang sudah hampir jam enam sore. Apakah kalian turut ikut ke mobil kami atau naik taksi, nona-nona ?" Tanya Steven, kedua alisnya naik-turun menggelikan.
Lauren tersenyum senang. "Wah aku akan senang menaiki Lamborghini Brian,"
Mereka sudah ancang-ancang akan bersorak.
"Tapi masih lebih asyik LaFerrari milik kakakku." Lauren tersenyum sombong sambil memutar kunci mobilku di ujung jari telunjuk tangan kanannya.
Sontak mereka langsung mengerang kecewa diiringi berbagai gaya dramatis berlebihan. Aku ingin tertawa, tapi entah kenapa seperti tertahan di bibir.
Setelah sesi berpamitan dan ber-good bye ria, aku dan Lauren pulang ke rumah dengan menaiki mobilku. Untungnya Lauren bersedia menjadi sopir. Bahaya kalau aku yang sudah low ini disuruh menyetir.
Lagu Stitches by Shawn Mendes mengiringi perjalanan pulang kami melalui radio mobil. Suaranya keras sekali, berkat Lauren yang sungguh mengidolai penyanyi remaja itu.
Mobil berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.
"Oh iya, Kak," celetuk Lauren.
Aku menoleh. "Apa ?"
"Tadi ada Elise datang menonton pertandingan," jawabnya, "sepertinya dia merasa bersalah."
Aku memalingkan muka ke kaca jendela di sebelahku. "Biarkan saja. Dia yang akan datang meminta maaf dengan sendirinya."
"Sungguh, dia datang sendirian. Sepertinya Rebecca sudah muak dengan tingkah keras kepalanya." Lauren terkekeh.
"Jangan salahkan Rebecca. Salahkan sifat keras kepala dan pendendam Elise." Tanggapku cuek.
Entah kenapa telingaku sedikit sensitif jika mendengar nama Elise, rasanya tabu. Terlepas dari fakta bahwa kami bertengkar hingga dia sendiri sudah enggan menyebutku sahabat. Bukan hanya telinga, hatiku juga ikut terbawa kondisi. Memanas.
Aku mengerti bagaimana jalan cerita Elise ketika pertama kali membenci cheerleader. Tapi tidak seharusnya seperti itu, tak mau melihat kebaikan orang lain. Contohnya Shane, aku kasihan padanya.
"Dinner malam ini ?" Tanya Lauren, melirikku dengan cengiran iblisnya.
Kubalas cengirannya. "Pizza."
***
Tubuhku terjun bebas ke atas tempat tidur, lega memakan porsi pizza yang cukup besar. Aku pun bisa merasakan perutku melebar akibat terlalu banyak makan pizza. Padahal aku memakannya bersama Lauren. Mungkin efek lelah sehabis terus-terusan meloncat selama pertandingan tadi sore.
Kuraih ponselku yang tergeletak di atas nakas, menyamankan tubuhku di antara tumpukan bantal dan selimut tebal. Ada pesan masuk dari Brian rupanya.
Brian : Jangan lupa beristirahat, babe.
Dahiku mengernyit ketika membaca sapaan panggilan di pesan Brian. Menjijikkan dan rasanya ingin muntah.
Luna : Kepalamu tadi terbentur bola basket ? Menjijikkan.
Baru sepuluh detik merubah posisi berbaringku, Brian sudah membalas pesanku. Mungkin dia kurang kerjaan makanya membalas dengan cepat.
Brian : Memanggilmu 'babe' memang lucu, ya. Harus dibiasakan.
Luna : I'm not your babe.
Brian : Tidak harus menjadi perempuanku dulu untuk bisa kupanggil 'babe', 'kan ?
Luna : Dasar lelaki b******k.
Hey, aku tidak salah jika menghujatnya 'b******k'. Maksudku, lelaki yang menggaet semua perempuan itu memang b******k, 'kan ? Apalagi merayu perempuan lain disaat dia sendiri sudah punya kekasih.
Brian : Hei hei hei jangan marah begitu. I'm single, right ? Don't get wrong opinion 'bout me.
Luna : Whatever, Mr player.
Berdebat dengannya membuatku pusing. Belum selesai dengan Brian, berpuluh chatting sosial media masuk ke akun pribadiku. Yang lebih menarik perhatianku adalah chat dari Jack, sahabatnya Brian.
JackL : Night, Luna.
Dia tahu akun milikku dari mana ?
Bianca : Luna ! Forgive me, please ! Tadi Jack menanyakan akun pribadimu padaku. Awalnya aku nggak mau memberitahu, tapi dia memaksaku ! Please, forgive meeeee !!!
Oh, anak polos ini biangnya.
Luna : It's okay. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh padaku.
Luna : Night too, Jackie.
Sudah jam dua belas malam. Aku ingin tidur, besok ada jadwal Mrs Prios mengajar. Oh man, guru yang mulutnya gatal kalau tidak mengomeli murid selama sehari.
Meskipun aku terkesan diam dan dingin, aku juga manusia, bung. Ada juga guru yang kubenci di sekolah, sama seperti kebanyakan siswa lainnya.
Fix, aku ingin tidur. Lampu kamar kumatikan, lengkap dengan lampu tidur juga. Pendingin ruangan sudah membuat kamarku dingin, tinggal menutup kedua mata untuk terbang ke dunia mimpi.
TOK
Abaikan, Luna. Itu hanya suara kucing memanjat pohon di taman belakang.
TOK TOK
Abaikan, sekali lagi abaikan. Semakin lama kuabaikan, suara-suara itu tak kunjung berhenti. Apalagi ponselku pun ikut ramai oleh notifikasi pesan.
Jengkel, kusibakkan selimut tebalku lalu mengecek ponsel yang begitu ramai. Melihat isinya membuatku langsung ingin menampar si pengirim pesan. Inisialnya, Brian !!
Brian : Aku ada di bawah balkon jendela kamarmu. Bukalah dan temui aku.
Brian : Hey, jangan tidur dulu, babe.
Brian : Cepat temui aku sebelum aku mati digigit oleh Smith !
Brian : Luna~ aku tahu kau belum tidur, sweetie.
Brian : Say something, Luna ! Smith sudah bersiap ingin menggigitku !
Rumah Smith memang tak jauh dari area kamarku, karena kami tak terpisahkan layaknya bayi kembar siam. Mungkin lain kali akan kuajarkan dia untuk mengusir Brian disaat lelaki b******k itu menyusup masuk ke rumahku.
Aku bangkit dari ranjang dengan desahan malas. Kesal juga, apa yang dia lakukan tengah malam menyusup ke rumahku ? Juga, bagaimana bisa dia menyusup masuk tanpa ketahuan security ?
Kubuka pintu kaca yang merangkap menjadi jendela sekaligus, berjalan menuju pagar pembatas balkon untuk menengok ke bawah sana.
"Hai babe !!"
Demi Tuhan, ada anak hilang menyusup ke dalam rumahku.
"Kau sudah gila ?!" Teriakku dari balkon. Aku tak akan repot-repot berteriak jika saja jarak antara balkon dengan dataran di sana tidak jauh.
Cengiran menyebalkan tergores di wajahnya. "Oh oh kau menggemaskan sekali. Ngomong-ngomong, aku boleh masuk ke rumahmu ?!"
"DALAM MIMPIMU !! PULANG ATAU KUPANGGILKAN SECURITY !!"
Aku langsung membekap mulutku sendiri. Sifat asliku keluar tanpa sengaja. Argh bodohnya aku !!
"Kenapa, Luna ? Sebegitu malunya kah kau karena keceplosan berteriak di depanku ?" Tanya Brian, tersenyum kecil di sana.
Aku berdehem pelan, menghilangkan rasa canggungku. "Bodoh !"
Aku berbalik badan, hendak kembali masuk ke kamar. Tapi suara kembang api meletus langsung membuat langkahku terhenti. Berbagai kembang api meletus di langit malam New York. Ukurannya besar dan terus meluncur lalu meletus tanpa henti.
Kedua kakiku tak bisa bergerak menuju kamar, lebih ingin berdiri di balkon dan menatap berjuta kembang api yang indah itu meletus di langit.
Ketika aku menengok ke bawah, Brian tersenyum manis ke arahku. Jangan-jangan ini ulahnya ?
"Bagaimana ? Kau suka ?" Tanyanya.
"Buat apa semua kembang api itu, bodoh ?" Sahutku berbeda jauh dengan yang kurasakan dalam hati.
Aku suka, sangat suka. Kembang api adalah kesukaanku sejak kecil. Sudah empat tahun aku tidak melihatnya. Karena kembang api itu mengingatkanku dengan kenangan buruk. Seharusnya sekarang aku memaki Brian karena meletuskan kembang api di hadapanku.
Nyatanya aku tidak mengingat kenangan itu sekarang. Justru senang.
Ingatkan aku untuk memeriksakan diri ke psikolog.
"Yeah, sebentar lagi musim panas akan berakhir. Lalu memasuki musim gugur kemudian musim dingin dan natal. Aku hanya ingin merayakannya saja. Dan..., aku tahu kau sangat menyukai kembang api." Jelasnya masih dengan senyuman manis kepadaku.
Mataku berkaca-kaca, entah mengapa.
"Oke, I like it and thanks. Sekarang kau bisa pergi." Balasku ingin cepat-cepat dia pergi sebelum air mataku jatuh.
Brian melambaikan tangan kanannya. "Good night and see you soon."
Dia berbalik badan lalu berjalan santai menuju dinding samping rumahku. Terlihat di sana ada enam sahabatnya duduk di atas dinding tinggi itu dengan santainya. Oh please, kemana perginya semua security rumahku ?
Kuharap Lauren tidak terbangun dari tidurnya karena teriakanku dan Brian beserta suara letusan kembang api.
***
"C'mon sister kita akan terlambat !!"
"Shut up dan jangan panik !!"
"Bagaimana tidak panik ?! Oh gosh, dimana kunci mobilku ?!"
Ya, aku dan Lauren terlambat bangun. s**l, dua puluh menit lagi bel sekolah akan berbunyi. Terpaksa aku membawa LaFerrari kesayanganku agar bisa menghemat waktu. Apa yang tidak bisa dilakukan mobil sport ? Mengebut adalah keahlian nomor satunya.
Aku dan Lauren menyambar roti panggang yang telah disiapkan oleh pembantu di rumah lalu berlari ke garasi mobil. Mrs Lane tidak salah, beliau sudah membangunkan kami tapi kami tetap tidur.
Okay Luna, waktunya menjadi pembalap gadungan.
Kubuka kaca jendela penumpang di sebelahku, Lauren juga membuka kaca jendelanya hingga kami bertatapan di dalam mobil yang berbeda.
"Jangan lupa membeli bahan makanan dan camilan, kak !" Serunya.
Suara mesin mobil yang cukup keras membuat kami harus sedikit berteriak.
"Okay, jangan pulang telat !"
Tepat setelah kami menutup kaca jendela masing-masing, mobil langsung melesat keluar dari area rumah. Dalam hati aku terus mengucapkan doa, semoga tak ada yang menyadari milik siapa LaFerrari ini ketika terparkir mulus di parkiran sekolah.
#School
Sepuluh menit, aku sampai di sekolah. Sudah kuduga, mobil mahal ini akan langsung menjadi pusat perhatian. Parkiran lebih ramai dari biasanya, s**t.
Semakin mencolok ketika aku membuka pintu mobil. Pintu ini jika dibuka, bukan menyamping layaknya engsel pintu melainkan ke atas. Disaat semua pintu mobil terbuka layaknya membuka pintu, mobilku saja yang pintunya terbuka ke atas.
"Hei, itu Luna Handerson, 'kan ? Dia membawa mobil yang termasuk termahal di dunia."
"Sebelumnya dia hanya menaiki sepeda biasa, 'kan ?"
"Wow, ternyata dia anak orang kaya."
Persetan dengan ocehan kalian, aku tak peduli. Yang kupentingkan sekarang adalah cepat-cepat ke kelas sebelum bel berbunyi.
Ketika aku sampai di kelas, ketiga sahabatku sibuk mengelap mejaku menggunakan kain lap. Brian pun menyapu berbagai sampah kertas yang ternoda cat warna merah. Jack membuang kertas-kertas itu ke dalam kantong plastik dan Samuel membawakan tong sampahnya.
Ada apa ini ?
Shane menepuk pundakku. "Seseorang telah merusak bangku dan lokermu."
"Siapa ?" Tanyaku bingung.
Shane menggelengkan kepala, dia menyerahkan kertas padaku. Ada serentetan kalimat yang ditulis menggunakan tinta merah di atasnya.
Aku sungguh membencimu, b***h !!