2

1959 Words
Fiora Widyanata baru saja selesai masak makan malam ketika suaminya, Ghaniy baru pulang. Ghaniy terlihat lelah, walau begitu ia mempunyai sesuatu di tangannya dan saat ini sedang berjalan sambil memandanginya. Fiora sudah terbiasa dengan Ghaniy yang pulang malam ketika pekan ujian tengah berlangsung sehingga ia tidak akan bertanya. Ghaniy akhirnya mengucap salam dan Fiora menjawabnya. Setelah itu baru ia meletakkan kotak kue di atas meja makan dan menanyai ke mana keberadaan putra mereka. “Ia sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya,” Fiora menjawab dan dihadiahi anggukan kepala. “Ngomong-ngomong, apa isi kotak ini?” Salah satu sudut bibir Ghaniy terangkat ketika ia menjawab, “Ah, ini cupcake. Diberikan oleh salah satu mantan mahasiswaku siang tadi.” Fiora menaikkan alis kemudian memeriksa isinya. Hanya ada satu capcake dengan hiasan fondant berbentuk helm proyek tertinggal di sana. “Maaf, tadi sebenarnya ada tiga. Aku sudah makan dua karena kelaparan,” aku Ghaniy. Fiora terkekeh pelan sebagai tanggapan. “Kalau begitu aku mandi dulu. Kalau kamu ingin makan malam lebih dulu, aku tidak keberatan.” Fiora kemudian mengangguk dan Ghaniy pergi meninggalkannya. Ia kemudian mengamati kotak kue itu. Seingatnya tidak ada kafe bernama Long Dock di kota mereka. Atau mungkin ia yang tidak tahu berita terbaru? “Mama, apa itu?” tanya putra mereka yang tingginya sudah setengah lengannya itu dengan wajah penuh harap. “Cupcake. Papa-mu yang bawa.” Putranya sudah bersiap membuka kotak tersebut, namun ia tahan. “Makan malam dulu, baru makan kuenya.” Putranya merengut saat itu juga, membuat Fiora gemas. Keduanya kemudian duduk di meja makan. Fiora mengawasi putra mereka makan dalam diam. “Mama tidak makan?” Ketika putranya menyadari ibunya tidak bergerak untuk mengambil piring. Fiora hanya tersenyum dan mengambil duduk di seberang putranya. Ia hanya butuh menunggu sekitar sepuluh menit sebelum Ghaniy kembali dengan pakaian bersih dan rambut basah. Pria itu kemudian mengambil duduk di kepala meja, mengambil piringnya sendiri, dan menyendok dalam diam. Ia membetulkan letak kacamata kembali ke pangkal hidungnya sebelum menyuap. Ghaniy tidak terlihat seperti pria yang telah menyentuh kepala empat. Ia masih tampak segar. Ia menyisikan waktu di akhir pekan untuk bersepeda bersama putra mereka. Fiora selalu merasa mungkin karena ia berada di lautan anak muda setiap hari membuat Ghaniy juga ikut muda. Satu-satunya hal yang menunjukkan bertambah usianya hanyalah pria itu mulai menjaga makan dan kerutan yang mulai muncul di dahinya. Fiora berhenti melamun begitu menyadari seseorang memanggil namanya yng disambung dengan. “Kamu tidak makan?” Fiora hanya menghela napas. “Tentu saja.” Kemudian mengambil piring dan menyendok lauk. Setelah ia menyuap sekali, Fiora kemudian bertanya. “Jadi bagaimana UTS-nya?” Ghaniy secara mengejutkan tertawa kecil. “Tidak ada yang spesial. Bahkan kamu bisa langsung tahu mereka mengerjakan makalah itu dari mengutip link yang sama.” “Lalu bagaimana dengan kelasmu yang lain?”Fiora memperhatikan Ghaniy memainkan makanan di piringnya sebelum menjawab: “Mereka melakukan progres yang bagus. Temanya juga jauh lebih menarik. Aku rasa tahun ini akan sukses besar.” Sebagai dosen Komunikasi Bisnis, setiap tahun para mahasiswa semester enam Ghaniy di Sekolah Tinggi Ilmu Pariwasata Harapan Bangsa yang mengikuti kelasnya akan mendapatkan tugas untuk menyelenggarakan even tahunan dengan tema yang mereka pilih sendiri sebagai tugas akhir semester yang sudah bisa dikerjakan sejak awal semester selama mereka mengikuti kelas formal. Tugas itu akan dikerjakan oleh tim dari tiga jurusan berbeda, yaitu Culinary Arts & Pastry, Manajemen Perhotelan, dan Manajemen Bisnis Pariwisata. Mereka diperkenankan memakai pelataran kampus yang luas sebagai vanue dan menjadikan ruangan Ghaniy sebagai basecamp. Even akan dilaksanakan selama maksimal tiga hari dan untuk tahun ini Ghaniy memberitahunya tim yang bekerja sekitar 30 mahasiswa dan mahasiswi.    Fiora mengangguk-angguk, kemudian melanjutkan makan. Putra mereka selesai makan lebih dulu. Begitu ia selesai meletakkan piring di wastafel, anak laki-laki itu langsung mengambil cupcake dan memakannya. Wajahnya seketika berbinar begitu ia mengunyah kue itu. “Ini enak!” serunya sambil mengedarkan pandangan ke arah kedua orangtuanya. Kali ini menggigit lebih banyak. “Aku tidak pernah mendengar nama kafe ini sebelumnya,” Fiora sambil mengedikkan dagu ke arah kotak kue. “Karena memang belum resmi dibuka. Grand opening-nya baru diselenggarakan akhir pekan ini.” Ghaniy kemudian mengangkat wajah. “Apa kamu mau pergi bersamaku?” Fiora balas menatap suaminya dengan senyum merekah. “Terdengar menyenangkan.” *** Ramiel Yusmar berdiri di depan pintu masuk di Long Dock Caffe dengan senyum mengembang. Otot wajahnya sudah terasa tegang. Tiga jam setelah grand-opening diselenggarakan, pengunjung tetap datang silih-berganti.  Ini dikarenakan oleh relasi abangnya dan reputasi Long Dock Cafe sebagai cabang ketiga dari kafe sukses di ibukota. “Kamu bisa mencari cari orang lain!” Ramiel begitu menyadari pekerjaan sebagai manajer jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Saat ini mereka berada di ruang kerja abangnya. Duduk saling berhadapan dengan dipisahkan oleh meja kerja yang penuh dengan buku-buku dan katalog berbagai warna. “Tidak. Ini harus kamu.” Abangnya dengan tenang berada di balik meja kerjanya. Pandangan mata Ramiel menyipit. “Jangan bilang ini karena Ibu.” Abangnya menghela napas. “Kamu sudah terlalu lama bergaul dengan para rigger dan diver. Dan aku tahu bagaimana pergaulan mereka. Dan Ibu ingin kamu menikah secepatnya.” “Lebih banyak gadis yang bisa dipilih di sini daripada di sana!” “Kamu benar. Dan jangan bersikap seperti aku tidak tahu sepak terjangmu di sini. Aku bahkan mendengar sendiri kamu mambual dengan anak-anak tentang gadis-gadis yang sedang kamu dekati di sini. Membual dengan Cassie, lebih tepatnya.” Ramiel menyadari abangnya tengah mengulum senyum, tapi ia tidak mengatakan apapun. “Aku lihat kamu dan Cassie terlihat dekat.” Abangnya melanjutkan. “Aku tahu gadis itu jga berasal dari kota yang sama dengan kita. Tapi kamu tidak mungkin tahu semua orang yang berasal dari sana.” Ramiel mengamati abangnya lebih lekat sekarang, membuatnya mengerang pelan. “Abang Cassie adalah seniorku di universitas. Jadi aku sudah pernah bertemu beberapa kali dengan Cassie sebelumnya.” Ramiel terkesima dengan ekspresi abangnya yang terkejut dengan informasi itu. “Oh, ya? Aku tidak tahu. Cassie tidak pernah memberitahuku apapun, tapi aku tidak terkejut dia melakukannya. Gadis itu terkenal tidak suka mengobrol banyak.” Karena akhirnya nama Cassie tersebut, Ramie melanjutkan. “Bagaimana kamu bisa mempekerjakan gadis semacam dia? Dingin dan tidak berperasaan...” “Tapi sikapnya sama sekali tidak menahan dirimu untuk menceritakan segalanya padanya, kan? Aku sudah pernah mendengar dari temanku yang juga membuka kafe. Katanya kitchen adalah tempat yang penuh dengan sihir. Kamu bisa mengatakan segalanya di sana.” Ramiel tidak bisa mengartikan arti dari tatapan abangnya sekarang. “Lagipula kita butuh sedikit sentuhan wanita dan Cassie adalah gadis yang tangguh untuk ditempatkan di tengah-tengah predator macam kalian...” Jadi di sinilah Ramiel, berusaha membantu timnya yang berjumlah terbatas. Saat ini Cassie tengah membantu Aska menyusun kembali kue-kue mereka dalam rak. Semua tampak menikmati makanan dan minuman mereka yang saat ini dikenai potongan diskon 60% . Ini adalah ide Cassie yang disetujui oleh abangnya. Baristanya berkata mereka mendapatkan respon positif untuk semua menu yang mereka sajikan. Cassie bergerak lebih lincah darinya. Para tim sepertinya lebih nyaman bertanya pada gadis itu, alih-alih dirinya. Jadi saat ini tugasnya lebih ke arah menyambut tamu, membersihkan meja, dan mengantar makanan dan minuman pesanan. Ia bahkan baru pandai memegang talam dengan satu tangan kemarin. “Konsep yang menarik, Pak Manajer,” komentar salah satu pelanggan ketika ia mengantar minuman pesanan mereka. Ramiel mengucap terimakasih lalu berlalu pergi. Ketika ia mengembalikan talam kembali ke bar station, Cassie sedang berada di sana dengan satu tangan memegang gelas berisi air putih dan es dan sekarang tengah memandanginya tajam. “Apa?” Tiba-tiba Cassie tersenyum lebar hingga matanya menyipit. ““Terimakasih, Mbak. Lalu apa pesananya sudah semua? Ada lagi yang bisa saya bantu? Kalau begitu selamat menikmati.”” Salah satu baristanya berdeham di belakang Cassie dan langsung berhenti begitu ia melihat ekspresi yang Ramiel tunjukkan padanya. “Maaf, aku lupa. Tapi paling tidak aku berterimakasih.” Cassie memutar bola matanya, menaruh gelasnya di bak cuci, lalu berbalik badan dan pergi. Aksa dengan loyang kosong berhenti di depan pintu masuk bar station, menyaksikan keduanya dengan raut geli sebelum Ramiel mengedikkan dagu ke arah kepergian Cassie. Aksa menghela napas panjang sebelum menjawab: “Dalam ilmu hospitality apa yang Bapak lakukan tadi itu sangat terlarang.” Ramiel memutar bola matanya. “Maafkan aku yang anak Teknik ini.” “Tapi paling tidak Bapak bisa lebih sedikit responsif dari itu.” Ramiel mungkin baru beberapa waktu berkenalan dengan Aksa. Tapi sepertinya dibalik wajah jujur itu, ada sedikit ideologis yang terkandung di dalamnya. Ramiel melihat Aksa memberinya senyum, namun senyum itu tidak sampai ke matanya. Pria itu lalu mengangguk kemudian berbalik meninggalkan Ramiel saat itu juga.  Ramiel tidak sempat untuk mengutarakan keberatannya ketika ia mendengar seseorang berseru memanggil namanya. Ia tidak butuh waktu lama untuk mengenali siapa itu. Ia memang telah mengundang banyak temannya untuk menghadiri grand-opening Long Dock dan sekarang salah satunya tengah tersenyum lebar menyambutnya. “Aku kira kau betah bekerja di offshore!” Ramiel melakukan “bro-fist” dengan pria itu dari balik bar station setelah temannya itu mengucapkan pesanannya kepada salah satu barista. “Apa bekerja sebagai manajer menyenangkan? Aneh rasanya tidak membaca IG’s story punyamu yang penuh dengan kata-kata mutiara itu akhir-akhir ini.” Ramiel tertawa rikuh. “Tidak sempat. Grand-opening ini sudah sangat banyak memakan waktu.” Temannya yang wajahnya penuh dengan bakal janggut itu mengangguk-angguk sambil mengusap leher. “Paling tidak kamu masih bisa dikategorikan sebagai seorang yang sukses.” Ramiel mengedikkan dagu ke arah cincin kawin yang ada di jari temannya itu. “Untuk sebagian orang, seseorang baru bisa dibilang sukses  setelah memakai apa yang melingkar di jari manismu sekarang ini.” Temannya itu mengerjap, melirik ke arah tangannya sebelum terkekeh. “Kamu benar. Dan terkadang setelah itu kamu menginginkan lebih banyak sukses. Tentu saja berkat rentetan pertanyaan susulan dari orang lain.” Keduanya tertawa sopan bersamaan dengan selesainya pesanan yang dibuat oleh barista. Ramiel mengawasi temannya itu menyesap minumannya. “Wah, ini lebih enak daripada yang aku bayangkan.” Kemudian pamit menuju sebuah meja yang kosong. Ramiel kemudian mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kafe. Seluruh meja terisi dan semua wajah tampak bahagia sambil saling mencicip makanan. Ada yang sibuk berfoto-foto dengan makanan mereka juga. Sebuah iklan di ** juga sudah terpasang untuk menenangkan beberapa lembar voucher. Semua itu juga adalah ide Cassie dan Aksa. Dengan bantuan aplikasi desain gratis dari internet dan kata-kata mutiara dari para cook-nya yang secara mengejutkan sangat menggelikan, tapi berhasil. Ramiel sangat baru dengan dunia ini. Berbeda dengan yang biasa ia lihat yang biasanya hanya laut lepas dan sekali-sekali lumba-lumba yang lewat. Di dunia ini nyaris semuanya adalah sesuatu yang dipoles dengan keindahan dan hiburan. Tidak ada ilmu pasti yang terlibat. Tidak ada bandingannya dengan kata-kata mutiara yang biasa ia tulis sebagai bentuk dari pencitraannya... Pencitraan. Ramiel terkekeh sendiri akibat pikirannya itu.  Ketika ia menyadari kedua waitres-nya kewalahan menghadapi begitu banyaknya pelanggan, akhirnya Ramiel kembali turun tangan. Ia memaksakan senyum dan menyapa lebih banyak seperti yang dikatakan oleh Cassie dan Aksa tadi. Namun tidak semudah yang dikatakan. Baru kali ini ia merasa tidak bisa menatap seseorang tepat di mata. Setelah akhirnya ia bisa sedikit menarik napas dan bersembunyi sejenak dibalik bar station. Tidak sengaja ia melihat bagaimana Cassie dan seorang ibu berinteraksi di dekat rak display kue ketika gadis itu sedang menyusun kembali piring-piring kue yang kosong. Cassie dengan sabar menjelaskan sesuatu pada seorang ibu dengan sangat antusias sambil terus tersenyum. Setelah si ibu tampak puas dengan jawabannya, si ibu mengucapkan terimakasih, berlalu sambil mengelus lengan Cassie. Secara mencengangkan begitu si ibu berbalik badan saat itu juga senyum Cassie menghilang.  Ramiel dan Cassie akhirnya bertemu mata. Sudut bibir gadis itu terangkat untuk suatu hal yang ia tidak ketahui sebelum seorang pelanggan lain meminta perhatian Cassie. Membiarkan Ramiel dengan pikirannya sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD