1

2191 Words
(Tiga bulan sebelumnya) Ghaniy Cakradana terlonjak sedikit dari kursinya ketika seseorang tiba-tiba menaruh sesuatu tepat di atas makalah yang tengah ia periksa. Kemudian ia mendongak. Ia membutuhkan dua detik penuh untuk mengenali siapa yang tengah berdiri dihadapannya saat ini. Ghaniy menelan ludah sambil memperbaiki letak kacamatanya di pangkal hidung. “Kamu...” Ia tentu saja ia bisa ingat gadis ini. “Saya sudah mengetuk pintu tadi. Beberapa kali. Jika itu alasan Bapak memelototi saya,” ucap gadis itu dengan senyum setipis kertas. “Masih tidak berubah.” Ghaniy menyeringai. Kemudian menyadari apa yang gadis itu taruh dihadapannya. Dua kotak kue di dalam sebuah kantong plastik bening. Satu kotak Ghaniy kenali sebagai kue bolu talas khas oleh-oleh dari ibukota dan satu lagi adalah kotak yang tidak ia kenali desain dan namnaya, tapi sudah pasti berisi makanan. “Kamu habis jalan-jalan dari ibukota?” tanya Ghaniy sambil mengeluarkan kedua kotak dari dalam kantung plastik. “Tidak. Saya baru pulang dari sana.” Ghaniy mengangkat pandangannya dari isi kotak kedua yang adalah tiga potong cupcake yang dihiasi fondant berbentuk jangkar merah, helm kerja, dan kapal. “Apa?” Ia mengerjap. “Pak Ghaniy bahkan tidak tahu kalau saya menghilang, kan?” Ghaniy membalas tatapan dingin yang ditujukan padanya itu dengan bingung. Ia berteman melalui ** dan f******k dengan semua mantan mahasiswanya. Dan seingat Ghaniy gadis ini  - Cassie Ardana, adalah salah satu mahasiswi yang termasuk di dalam daftar friend dan followers-nya. Walau begitu Ghaniy tidak pernah melihat berita gadis ini lewat di beranda kedua sosial medianya. Padahal Ghaniy mengecek kedua sosial medianya nyaris setiap hari.  Dan juga Ghaniy ingat. Gadis ini tidak pernah menghadiri reuni tahunan yang dilaksanakan oleh teman seangkatanya. Entah kenapa Ghaniy yakin bahkan teman seangkatannya tidak tahu kalau mereka telah kehilangan satu anggota. “Kamu telah berubah banyak. Lihatlah dirimu sekarang. Sangat anak ibukota.” Ghaniy berusaha bergurau. Ghaniy menyadari ada berbagai perubahan signifikan yang terjadi pada Cassie. Rambutnya lebih panjang, nyaris sebahu. Ia memakai anting-anting perak panjang di salah satu telinganya. Ia tampak jauh lebih modis walau hanya dengan jaket hoodie berkancing depan. “Well, saya datang ke sini hanya ingin mengabarkan jika saya telah kembali. Walau tadi saya berharap sebaliknya, ternyata Pak Ghaniy memang telah melupakan saya.” Gadis itu mengedikkan bahu. “Kafe tempat saya bekerja di ibukota membuka cabang di kota ini. Saya diminta untuk mengisi kitchen mereka. Jadi kenapa tidak? Tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk seseorang berubah pikiran, kan?” Tiga tahun. Tapi kenapa ekspresi Ghaniy menunjukkan sebaliknya? Gadis itu mundur selangkah dari mejanya. Dengan kedua tangan bertaut di depan tubuh, gadis itu membungkuk. “Saya harap Pak Ghaniy juga mau mampir pada grand opening kami pada akhir pekan ini.” Gadis itu akhirnya tersenyum ketika ia menambahkan, “Jangan lupa bawa istri dan anak Bapak.” “Tunggu!” Ghaniy menahan gadis yang tangannya sekarang berada di gerendel pintu. “Kamu tidak ingin... menceritakannya apapun pada saya? Bagaimana kalau kita mengobrol dulu? Kamu datang dari jauh dan tentu saja punya banyak cerita...” Ghaniy mengikuti pandangan mata Cassie ke arah kursi di depan mejanya sebelum akhirnya kembali kepada wajahnya. Kedua alis mata gadis itu terangkat. “Saya rasa Pak Ghaniy punya banyak pekerjaan lain yang harus segera diselesaikan.” Ghaniy menunduk dan menyadari dua tumpukan makalah yang menggunung dihadapannya. “Dan saya ingat kalau Bapak benci sekali seseorang yang memilih berleha-leha, alih-alih mengerjakan pekerjaan yang sudah menumpuk.” Ada nada geli dalam suara Cassie yang tidak mungkin tidak disadari oleh Ghaniy. “Ah, ternyata kamu masih ingat.” Ghaniy menggaruk belakang kepalaya yang tidak gatal. “Tapi kamu adalah tamu sekarang...” Cassie menggeleng. “Ini masa ujian tengah semester tengah berlangsung dan saya tahu Bapak sibuk.”  Kemudian gadis itu berlalu begitu saja setelah memberinya salam dengan membungkuk. Meninggalkan Ghaniy termangu dan masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. *** Cassie Ardana meninggalkan tempat ia menuntut ilmu selama kurang dari empat tahun itu dengan perasaan nostalgia, namun menyakitkan di saat yang bersamaan. Ia tidak pernah menyukai kehidupan kampus. Well, tidak seluruhnya. Ada Ghaniy yang menyelamatkan kehidupannya dari nyaris menyedihkan ke level biasa-biasa saja. Well, untuk saat ini ia harus mendorong kenangan tentang Ghaniy atau Ghaniy yang baru saja ia temui tadi jauh-jauh di belakang pikirannya. Walau orang pertama yang ia ingat ketika membuat cupcake tadi adalah Ghaniy... Dengan motor Vario 150cc bewarna hitam, Cassie kembali ke Long Dock Caffe yang letaknya cukup jauh dari kampusnya. Motor ini dibeli begitu ia kembali di kota kelahirannya ini. Ia seharusnya memakai motor untuk menyelip-nyelip diantara macetnya jalanan ibukota. Tapi takdir berkata lain. Ia harus kembali. Bukan hanya karena ia diminta oleh pihak kafenya, tapi juga karena ibunya yang tidak habis-habis menyuruhnya pulang. “Abangmu sudah punya kehidupannya sendiri. Sekarang Mama tinggal sendiri. Pulanglah, nak...” Begitu setiap hari, tanpa henti. Ia mengira ia bisa lolos dengan alasan bahwa ia belum tentu bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji sama besarnya di kota ini... Cassie hanya bisa menghela napas. Sepertinya ia memang bernasib menjadi anak berbakti hingga akhir hayat. Ibunya pernah berkata jika ketika Cassie menikah-pun ia harus berakhir dengan pria setempat agar ia tidak perlu jauh-jauh pindah lagi. Cassie menghela napas. Bukannya tadi ia bilang ia tidak ingin membebani pikirannya lebih banyak dari lagi? Dengan mengebut tidak butuh lama ia sudah menemukan kafe tempatnya akan bekerja. Long Dock Cafe adalah kafe yang cukup terkenal di ibukota karena mengusung tema offshore, yaitu pekerjaan lepas pantai karena pemiliknya memiliki latar belakang pekerjaan tersebut. Kafenya didesain dengan helm-helm pekerja berbagai warna, jaket keselamatan, dan pelampung keselamatan berwarna jingga. Para barista yang berdiri dibalik open bar memakai seragam coverall bewarna jingga, biru, atau merah yang biasanya dipakai setengah dengan bagian lengannya diikat di pinggang. Kursi-kursi besi yang menempel dengan mejanya. Jam dinding yang berbentuk jangkar. Lengkap lukisan peta kilang minyak yang ada di Indonesia. Tidak lupa ada perlengkapan mini live music di sudut kafe. Biasanya akan ada band indie yang mengajukan diri untuk mengisi setiap akhir pekan setelah mereka membuat iklan melalui sosial media. Dan konsep yang sama akan diterapkan pada cabang baru ini. Lampu neon penunjuknya yang masih terbungkus dengan kain putih terlihat ketika Cassie memarkirkan motornya di halaman depan kafe. Hanya ada delapan kru dan sudah termasuk dirinya untuk mengisi dua shift setiap harinya. Karena menu yang disuguhkan yang tidak lebih dari cake, roti, dan beberapa main course mudah seperti beberapa varian nasi goreng dan mie, Cassie butuh satu asisten utama dan dua orang cook yang membantunya. Sisanya akan menjadi waiters yang merangkap kasir dan barista. Dan sekarang sang manajer, Ramiel Yusmar terlihat sedang mewawancarai seorang pemuda di salah satu meja di tengah-tengah kafe. Sedangkan barista yang Cassie ingat baru direkrut seminggu oleh Ramiel yang lalu tengah mengajari barista yang baru direkrut dua hari lalu tentang kalibrasi. Gelas-gelas one shot espresso terlihat berjejer di atas konter di hadapan keduanya. “Dari mana saja kamu? Ini sudah lebih dari dua jam dari yang kamu janjikan.” Ramiel ambil mendongak dari kertas CV yang tengah ia pegang. Sang kandidat tampak makin menciut di hadapan Ramiel, tidak berani bergerak. Cassie melirik sekilas arlojinya. “Mas Ramiel, saya bahkan datang dua puluh menit lebih awal.” Gadis itu lalu melepas jaket hoodie-nya. Walau kafe ini masih baru, Cassie masih memakai seragam koki dari cabang sebelumnya. Baju koki berwarna putih itu nampak lusuh dan menguning. Toh, Cassie berpikir ia akan sangat jarang keluar dari ruang bakery. “Kamu baru sampai tiga hari lalu dan sudah mulai mencoba kabur, ya?” “Saya sudah memberi instruksi pada Aksa untuk mengajari para cook. Resepnya sudah saya tuliskan, lengkap dengan instruksinya. Tidak akan ada yang salah selama mereka mengikuti resep. Aksa membuktikan kalau dia juga sudah jago.” Ramiel menyipitkan mata. “Bagaimana kalau rasanya jadi tidak sama?” Cassie mengedikkan bahu. “Berarti ada takaran yang tidak pas.” Cassie melirik sekilas ke arah kandidat pria itu. Seperti yang telah didengar Cassie, Ramiel sengaja mengundang para kandidat waitres terakhir karena pekerjaan mereka tergolong lebih mudah dan tidak memerlukan banyak waktu untuk belajar sistem kasir dan EDC. Di Long Dock Caffe, Cassie sendiri bertugas diposisi baker. Tapi saat ini Cassie berbelok ke hot kitchen. Di sana ada Aksa Bakti, asisten utama baru Cassie berwajah kekanakan, namun memliki tubuh tinggi menjulang sedang mengawasi kedua cook baru membuat varian nasi goreng. Cassie sendiri yang memilih Aksa dari lautan CV yang masuk pada perekrutan waktu itu ketika ia masih berada di ibukota dan Ramiel sudah berada di kafe baru mereka. Ada sesuatu dalam wajah Aksa yang membuatnya layak dipercaya. Ramiel juga merasakan demikian. Sebenarnya basic Aksa hanya bakery dan pastry sama dengan Cassie, namun ia menunjukkan ia juga mampu mengusai hot kitchen dengan baik. Itu dibuktikan hanya dengan dua hari training. Ia bahkan jauh lebih baik dari Cassie untuk itu. Aksa mengingatkannya pada tahun-tahun awal ia bekerja di bawah naungan Long Dock Cafe. “Mbak Cassie datang lebih cepat dari perkiraan saya.” Aksa setelah menganggukkan kepala sekali lalu tersenyum lebar.   Cassie kemudian berdiri di samping Aksa. Tinggi Cassie tepat di bawah telinga pria itu. “Jadi bagaimana mereka? Kalau buruk, mereka itu pilihan Mas Ramiel.” Cassie berbisik sambil berjinjit. Aksa tertawa kecil. “Mereka oke, kok Mbak. Basic mereka memang di hot kitchen. Jadi tidak butuh waktu lama untuk mengajari.” Cassie mengangguk-angguk. Kelihatan dari cepatnya mereka bekerja, Aksa sepertinya memang benar. “Kalau begitu Mas Ramiel yang akan mencoba semua masakan mereka nanti. Lagipula dia bosnya. Kita akan istirahat sebentar sebelum kamu kembali bantu aku di ruang bakery. Kita akan membuat list cake dan roti apa yang akan kita disuguhkan di grand opening.” Setelah Aksa menggumam mengiyakan, Cassie berpindah ke ruang seberang. Ruangannya. Perlengkapan roti, freezer, dan ovennya adalah keluaran terbaru. Pemilik kafe berbaik hati memberinya keleluasaan untuk memilih model apa yang ia inginkan. Tentu saja sesuai dengan budget yang diberikan padanya. Cassie sekarang tengah mengedarkan pandangan ke arah alat-alatnya yang masih berkilauan.  Tidak ada yang lebih membahagiakan dari seorang tukang masak dari perlengkapan yang luar biasa.         Ia melihat sisa cupcake yang diletakkan di atas meja stainless. Di dalam refrigerator terdapat kotak bening berisi fondant yang telah digambar dan dibentuk oleh Aksa dengan berbagai bentuk barang-barang kapal seperti jangkar, pelampung, helm berbagai warna, dan kompas. Cassie iri dengan betapa piawainya Aksa mengurusi hal sekecil itu, sedangkan ia hanya mampu membuat kue atau roti yang tidak begitu membutuhkan banyak detail. Cupcake tadi adalah ide Aksa dan Cassie senang karena Ramiel tidak begitu banyak bicara karenanya.  “Kamu dapat partner yang sesuai,” komentar Ramiel begitu melihat bentuk-bentuk lucu fondant itu pertama kali. Cassie tahu Ramiel mengatakannya untuk membuatnya jengkel. Tapi ia mampu menahan diri untuk tidak balas berkomentar. Jadi Cassie mengambil beberapa cupcake yang tersisa dan menghiasinya dengan whiped cream sebelum menaruh fondant-fondant yang dibentuk Aksa. Dengan bantuan loyang besi ia membawa cupcakes itu ke ruangan tempat yang lain berada sekarang. “Hey! Kamu membuang-buang art!” tegur Ramiel ketika Cassie memanggil semua krunya untuk mengambil satu cupcake. Ia bahkan tidak lupa memperingatkan mereka untuk itu. Aksa menahan tawanya ketika ia mendatangi untk mengambil bagiannya. “Aksa masih ada di sini untuk membuatnya lagi.” Cassie lalu menyodorkan potongan terakhir pada kandidat yang masih menciut di kursinya itu. “Lagipula ini masih masuk budget test food. Jangan pelit.” Cassie menyeringai sambil mengamati Ramiel memutar bola matanya sebelum melirik ke arah loyang besi yang kosong. “Bagianku mana?” “Mas Ramiel nanti harus mencoba masakan cook yang baru. Jadi tidak dapat.”  Cassie kembali ke ruang bakery untuk menaruh loyangnya sebelum ia ikut bergabung kembali. Kedua cook barunya sedang berkeliling melihat-lihat dengan cupcake sudah digigit di tangan. Perabot kafe belum datang semuanya, begitu juga dengan perlengkapan live music. Jadi sebenarnya masih tidak begitu banyak yang bisa dilihat. Kedua barista kembali ke pos mereka. Ramiel masih mewawancarai si kandidat yang sekarang tampak lebih rileks. Cassie duduk di depan Aksa yang sedang mengupas kertas roti dari cupcake-nya ketika ia berkata dengan suara lirih, “Saya tidak pernah melihat ada anak buah yang berani berkata seperti itu pada bosnya.” Cassie yang duduk sambil bertopang dagu di seberang Aksa, mendengus. “Ceritanya panjang. Nanti saja.” Cassie lalu menyadari arah pandang Aksa, kemudian melalui bahunya ia mengamati Ramiel sudah berdiri dan menjabat tangan sang kandidat dengan sikap resmi. Sang kandidat mengangguk sekali ke arah Cassie sebelum berlalu meninggalkan kafe. Ramiel mendekati meja Cassie dan Aksa tidak berlama kemudian. Pria itu tampak lelah, pandangannya menerawang ke arah pintu masuk. “Jadi?” tanya Cassie akhirnya. Ia harus mendongak agar bisa melihat wajah Ramiel dengan baik. Mata Ramiel masih menerawang ketika ia bertanya, “Ternyata berat juga, ya?” “Berat dalam hal apa dulu? Dalam hal menemukan kecocokan atau kenyamanan?” Cassie mendengar Aksa tersedak, tapi tidak ia indahkan. Ramiel langsung menunduk ke arah Cassie. Lesung pipinya terlihat ketika ia berdecak. “Watch your mouth, young lady. Aku tahu apa yang kamu maksud.”   Cassie dan Ramiel saling tatap cukup lama sebelum akhirnya Cassie yang membuang muka. Pandangan matanya malah bertemu dengan Aksa yang sedang mengelap mulut dengan punggung tangan, memberinya pandangan penuh arti... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD