Ketahuan Vano

1186 Words
Keysa    Saat gue mengangkat air panas yang akan di pindahkan ke dalam termos, tiba tiba saja Fahri berlari kearah kaki gue sehingga air panas yang ada di tangan gue tumpah. Untuk menghindari agar tidak mengenai Fahri gue sedikit mendorong Fahri untuk menjauh dari tumpahan air panas. Dan akhirnya air panas menyirami lengan bawah gue. Sumpah sakit banget.     Merasa sangat perih dan sakit, dengan cepat gue menyiraminya dengan air dingin. Tiba tiba saja Fahri menangis dengan kencang, hingga mama gue datang dan langsung menggendong Fahri. Dia menatap gue dengan tatapan membunuhnya, sebelum itu dia membawa Fahri kedalam kamarnya.    Saat hendak mengambil p3k tiba tiba mama datang dengan menarik rambut gue dan mendorong gue hingga jatuh kelantai. Bahkan siku gue juga terpentok ke lantai, gue yakin besok siku gue akan membiru. "Kamu ngapain aja sih, kerja aja ngak becus. Mau celakain Fahri? Iya?. Dasar anak ngak tau diuntung." Ujarnya sambil memukul gue dengan anger yang dia ambil sebelumnya. "Ampun ma ampun, Key ngak sengaja." Ujar gue dengan menahan tangis yang akan keluar. "Kamu pikir ampun bisa ngilangin sakit Fahri?, kamu kalau ngak diberi pelajaran ngak akan jera." Ucapnya dan juga menampar wajah gue beberapa kali dan juga menendang gue. Gue merasa darah segar sekarang sudah keluar dari sudut bibir gue. Tenaga dia sangat kuat, apa dia ngak ada rasa belas kasih sedikit pun?. "Ampun ma, iya Key salah." Ucap gue meminta ampun padanya yang tak henti henti memukul dan menampar gue dengan keras. Sakit benget. "Jangan banyak omong kamu, malam ini ngak ada makan buat kamu, masuk sana kekamar." Perintahnya. Langsung saja gue berlari masuk kedalam kamar sambil menangis menahan sakit di beberapa anggota tubuh gue.     Untung saja ada kotak p3k di dalam kamar gue. Sebelum mengobatinya gue mengompres beberapa luka lebam di tubuh gue terlebih dahulu. Setelah itu baru gue mengolesi saleb di tangan kiri yang terkena tumpahan air panas. Merasa sangat lelah, akhirnya gue tidur dengan keadaan lapar.      Keesokan paginya, gue memperban tangan gue, memakai jaket, masker dan juga kaus kaki panjang hingga atas lutut untuk menyembunyikan luka lebam di tubuh gue. Sebelum sampai di sekolah, gue meminta tukang angkot untuk berhenti di simpang yang masih jauh dari sekolah.      Hari gue berniat untuk bolos, hanya untuk hari ini saja. Gue berjalan agak jauh dari sekolah dan juga jauh dari rumah gue, agar mama ngak tau jika gue tidak masuk sekolah. Kalau dia tau, mungkin gue ngak ada lagi di dunia ini untuk esoknya.     Panjangnya perjalanan, akhirnya gue masuk kesebuah mini market dan mengambil pop mie dan juga minuman. Untung disana disediakan air panasnya langsung. Sebelum mengisi air panas, gue dikejutkan dengan seorang cowok yang tiba tiba memanggil gue. "Keysa?." Panggilnya. "Iya? Lo temannya Dava?, Siapa?." Tanya gue tak tahu namanya. "Ntar aja kenalannya, lo siapin dulu makanannya, gue lagi lapernih." Jawabnya. "Ah iya." Ucap gue dan mempercepat gerak gue.    Setelah memberi air panas dan membeli beberapa makanan lainnya, gue dan cowok yang tidak diketahui namanya ini duduk ditempat duduk yang berada di luar yang juga sudah disediakan di mini market ini. Saat menunggu mienya masak, gue hanya menunduk. Karena dia selalu natap gue tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun. Itu membuat gue sangat risih. "Gue ngak percaya anak baik baik kayak lo bolos." Ucapnya tiba tiba. "Eh?.. Emang ngak boleh?." Tanya gue. "Ya boleh boleh aja sih. Tapi inikan bukan gayanya anak kayak lo." Ucapnya sambil memakan mienya. Gue hanya diam melihat kearahnya sambil berpikir bagaimana cara gue makan dengan keadaan wajah gue yang masih lebam. Gue ngak mau memberitahu tau siapapun tentang ini. Tiba tiba saja dia natap gue, dan langsung saja gue mengalihkan pandangan gue darinya. "Kenapa ngak makan?." Tanyanya heran. "Ya bentar lagi." Jawab gue. "Dan dari tadi gue heran deh, kenapa lo berpenampilan kayak stalker gini sih?. Lagi ngebuntutuin siapa?." Tanyanya. "Eh.. Nama lo siapa?." Tanya gue mencoba mengalihkan pembicaraan. "Oh iya gue lupa. Gue Vano." Jawabnya sambil mengulurkan tangannya. "Gue Keysa. Lo udah tau kan." Ucap gue sambil membalas uluran tangannya. "Sekarang buka masker lo, gimana mau makan kalau masih pakai masker." Ucapnya. "Lo tau nama gue dari siapa?." Tanya gue mencoba mengalihkan pembicaraan lagi. "Mmm.. Gue cari tahu sendiri." Ucapnya. Seketika gue mengerutkan kening tanda heran. "Kenapa ?." Tanya gue penasaran. "Ya karna gue tertarik sama lo." Ujarnya yang membuat gue terkejut. "O..Oh.. "ucap gue tak tahu membalasnya seperti apa. Gue sekarang terlihat sangat kikuk. Bahkan dia melihat kearah gue dengan sedikit tertawa. "Masih belum mau buka masker lo?." Tanyanya lagi. "Eh lo temannya Dava kan ya?." Gue malah balik bertanya. Gue akan makan setelah dia pergi, tapi kenapa dia juga berhenti makan?. Bahkan gue sangat sulit untuk menyembunyikan perban di telapak tangan gue ini. "Iya,. " Jawabnya jutek. Kenapa dah ni anak tiba tiba jutek. "Masih belum mau buka?." Tanyanya lagi dan lagi. "Ke.. kenapa lo ngak masuk sekolah?." Dan gue malah nanya lagi. "Jawab pertanyaan gue dulu, baru gue jawab pertanyaan lo." Ujarnya. Mampus deh gue. "Lo makan dulu aja, gue ngak suka kalau makan diliatin orang." Dusta gue. "Gue ngak percaya." Ujarnya. "Coba lo pegang ini." Ucapnya memberikan gelas berisi kopi yang ia beli tadi pada gue. Gue memegangnya dengan tangan kanan gue sambil terheran heran. "Tangkap." Teriaknya tiba tiba sambil melemparkan ponselnya pada gue. Reflek tangan kiri gue menangkapnya. "Aduh." Pekik gue dan meletakkan kopi dan juga ponselnya di atas meja. Sumpah ini perih banget. Tiba tiba dia terlihat panik dan pindah duduk di sebelah kiri gue. Langsung saja dia menarik tangan gue pelan pelan. "Maaf, gue ngak tau." Ucapnya sambil meniup niup tangan gue. "Ini kenapa?." Tanyanya. "Cuma ketumpahan air panas." Jawab gue jujur. "Coba buka jaket lo." Ucap nya. Langsung saja gue menggelengkan kepala tak menyetujuinya. "Buka aja, gue Cuma mau liat." Ucapnya dengan nada suara yang lembut dan tenang. Gue merasa tenang aman di deka, padahal ini baru pertama kali gue ngobrol dengannya. "Gue ngak bisa." Ucap gue. "Kenapa?." Tanyanya. "Ya pokonya ngak bisa." Jawab gue sambil mengalihkan pandangan gue. "Buka Keysa, gue ngak akan bilang siapa siapa kok." Ucap nya.  "Tapi... " Ucap gue yang langsung di potong olehnya. "Buka atau gue yang bukain?." Ancamnya. "Tapi lo janji ngak bilang siap siapa kan?." Tanya gue sebelum gue membukannya. "Iya janji." Jawabnya.      Akhirnya gue membukanya dengan sangat pelan dan hati hati. Dia terkejut saat melihat perban yang terbalut sampai bawah siku gue. Gue berusaha menurunkan lengan baju gue agar dia tidak melihat luka lebam di sana. Tapi akhirnya usaha gue sia sia. Dia sangat mudah curigaan dengan gerak gerik gue. "Ini kenapa?." Tanyanya khawatir. Kenapa dia harus khawatir, ntar gue salah paham lagi dengan sikapnya yang terlalu perhatian sama gue dan akhir nya gue yang tersakiti. "I..ini.. kebentur meja." Jawab gue gugup. Dan tiba tiba dia juga menarik tangan kanan gue dan juga menarik jaket gue yang awalnya masih menutupi lengan kanan gue. Awalnya gue terkejut, tapi gue ngak bisa menahannya, karena tangan kiri gue masih di tahannya.     Dan gue ngak tau harus bilang apa dengan luka lebam sebanyak ini. Dia sempat terdiam menatap gue serius. Gue hanya bisa menghindari tatapan matanya, hingga tiba tiba dia membuka masker gue. Terpaksa gue melihat kearahnya, dan terlihatlah wajah keterkejutannya. Apa gue harus jujur atau malah harus membohonginya?.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD