Rasa Penasaran

1182 Words
    Seusai Zul bercerita pada Indah tentang apa yang terjadi pagi itu, dia segera menyelesaikan makannya. “Gue udahan deh makannya, lo mau ikut ke kelas atau masih mau jajan di kantin?” Tanya Zul pada Indah.       “Lo duluan aja, gue mau ke toilet dulu,” Jawab Indah.       Zul beranjak dari tempat duduknya. Saat membalikkan badan dan ingin kembali ke kelas, Zul tiba-tiba menabrak seorang cewek yang sedang berjalan ke arahnya. “Aduh, sorry-sorry,” Reflek Zul dengan muka kaget dan setengah panik.       “Duuh, mundur liat-liat dong!” Ujar cewe berambut panjang itu dengan ekspresi galak.       “Eh, maaf, Sof, gak sengaja. Hehehe..” Ujar Zul sambil sedikit membungkukkan badan meminta maaf kepada teman sekelasnya itu.       Cewek itu adalah Sofia. Cewek dengan wajah imut seperti anggota girl band yang memiliki sifat jutek dan paling galak di kelas. Walaupun wajahnya cantik, sifat jutek dan galak Sofia selalu membuat cowok-cowok berfikir dua kali saat ingin mendekatinya. Selain itu, cewek berambut panjang ini juga merupakan salah satu anggota pencak silat di ekskul sekolah.       “Iya, yaudah awas gue mau lewat,” Ujar Sofia sambil menyingkirkan badan Zul dari hadapannya.       Sementara itu, Indah menahan tawa di belakang Zul sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Setelah Sofia pergi, Indah tak kuasa menahan tawanya sambil menunjuk muka Zul yang masih terlihat syok setelah dibentak oleh Sofia. Zul hanya terdiam sambil melihat Indah menertawainya. Baru kali ini dia melihat cewek se galak itu di depannya. Zul juga baru  tahu kalau Sofia ternyata sangat galak, beda dari rata-rata teman cewek yang sering dia temui.       Zul kembali duduk di sebelah Indah. “Buset, kaget gue sumpah. Itu si Sofia yang di kelas kita kan?” Tanya Zul pada Indah yang belum berhenti mentertawai Zul.       “Hahaha, lo harus liat ekspresi muka lo barusan, Tak. Kaget ya lo pertama kali dibentak cewek begitu?” Ujar Indah sambil menunjuk muka Zul yang masih terlihat kaget. “Iya itu Sofia. Dulu gak sekelas sama kita, tapi karena pas kelas 2 ini kelasnya diacak lagi, jadinya dia masuk kelas kita. Duduk di depan meja guru kan dia.”       Zul mendengarkan penjelasan Indah sambil tetap melihat ke arah perginya Sofia. Ada perasaan kaget dan aneh di dalam diri Zul. Tidak biasanya respon teman-teman cewek Zul galak dan jutek seperti itu di hadapan Zul. Karena masih merasa tidak enak, Zul mengikuti Sofia ke dalam kelas.                 Sebelum duduk di kursinya, Sofia yang merasa diikuti itu membalikkan badan dan melihat Zul yang sedang mencoba menepuk pundaknya. “Lah, ngapain lo ngikutin gue?” Tanya Sofia dengan nada jutek.       Zul menarik kembali tangannya, salah tingkah dan tiba-tiba gugup. “Eh, bukan.. Eee maksudnya bukan ngikutin,” Ujar Zul sambil menggaruk kepala dan menoleh ke arah lain. “Kan gue di kelas ini juga,” Tambahnya.       Sofia langsung melihat sekeliling kelas untuk melihat dimana tempat duduk Zul. Dia memang cuek dan dari tadi pagi hanya asik dengan kedua sahabatnya di kelas, yaitu Astuti dan Andri.       “Hmm.. Lo masih marah ya, Sof?” Tanya Zul pelan pada Sofia.       “Hah? Marah? Gak, biasa aja kali,” Jawab Sofia singkat sambil duduk di kursinya.       Zul kebingungan dengan respon datar Sofia. Perkataannya seperti tidak terjadi apa-apa, tapi respon tubuhnya berkata lain dan sangat cuek. “Oh,, Oke kalo gitu.” Ujar Zul yang masih kebingungan akan respon Sofia.       Masih dengan ekspresi kebingungan, Zul kembali ke tempat duduknya. Dia memperhatikan Sofia dari tempat duduknya dan masih memikirkan apa yang baru saja terjadi. Bagus melihat Zul yang sedang memandang ke arah depan kelas tanpa berkedip. Dia melambaikan tengannya di depan muka Zul. “Hoy, hallo. Kesurupan kah anda?” Ujar Bagus sambil melihat mata Zul yang tampak kosong.       “Oh, gapapa Gus gak ada apa-apa kok,” Ujar Zul pada Bagus.       “Kaget lo ya sama juteknya Sofia? Sampe heran segitunya, haha,” Ujar Bagus dengan nada bercanda.       “Lo ngeliat ya tadi? Iya nih, dia emang jutek gitu ya?” Tanya Zul dengan rasa penasaran.       “Kata si Andri sama Astuti sih emang dia anaknya begitu, mereka bertiga emang tahun lalu di kelas 1 juga sekelas jadi udah akrab lama. Kenapa emangnya, Zul?” Ujar Bagus menanya balik.       “Tadi di kantin gue gak sengaja nabrak dia, habislah diomelin. Kaget gue kan galak banget ternyata,” Ujar Zul sambil menggelengkan kepalanya.       Bagus tertawa mendengar cerita Zul. “Oh pantesan muka lo tegang gitu dari tadi,” Lanjut Bagus.       “Eh iya, Gus. Buku catatan kimia gue mana yang hari Kamis kemarin lu bawa pulang? Udah beres lu salin?” Tanya Zul untuk mengalihkan topik.       “Catatan? Oh iya!” Jawab Bagus dengan kaget sambil memegang dahinya. “Gue lupa, Zul. Lupa kalo minjem buku lo waktu itu, jadi belum gue salin. Nih bukunya masih di dalem tas,” Jawab Bagus sambil mengeluarkan buku catatan kimia milik Zul dari dalam tasnya.       “Hadeeehh…” Ujar Bagus dan Zul bersamaan sambil saling memegang dahi masing-masing.                 “Yaudah, mendingan lo salin sekarang deh biar gak lupa, Gus. Abis jam istirahat ini kan pelajaran Kimia,” Ujar Zul.       “Iya juga ya. Yaudah gue salin sekarang deh nanti tinggal gue kasih langsung ke lo kalo udah selesai.” Ujar Bagus pad Zul.       Baru saja ingin memulai menyalin catatan milik Zul, Andri yang menjabat sebagai ketua kelas tiba-tiba berdiri di atas bangkunya dan memberikan sebuah pengumuman untuk teman-teman di kelas. “Teman-teman, tolong perhatiannya sebentar. Gue baru dapat kabar dari Pak Ismail, guru Kimia kelas kita. Beliau berhalangan hadir hari ini,”       Bagus terdiam. Dia menoleh perlahan ke arah Zul. Begitu pula dengan Zul, dia ikut menoleh ke arah Bagus dengan ekspresi bengong tanpa kata. Pandangan keduanya beralih pada buku catatan milik Zul dan halaman kosong di buku milik Bagus.       “Tapi Pak Ismail gak ngasih tugas, beliau cuma bilang hari ini pelajari bab awal di buku paket buat materi besok pagi. Udah segitu aja, makasih teman-teman,” Ujar Andri menyelesaikan pengumuman.       Mendengar itu, Bagus tersenyum. Dia menaruh pena dan menutup buku catatan milik Zul. Kemudian buku itu ditaruhnya kembali ke dalam tas miliknya, lalu berbicara ke arah Zul. “Zulfikrii.. Saya pinjam lagi ya bukunya untuk saya salin nanti di rumah. Sekarang saya mau tidur dulu karena kenyang habis makan tadi,”       “Ya ampun, Gus Bagus. Nanti lo lupa lagi paling di rumah,” Ujar Zul keheranan.       “Gak kok, tenang. Kan biar sambil belajar buat besok, Zul,” Bagus merespon dengan senyuman.       “Halah, gak yakin gue. Gak sekalian aja nanti lo fotocopy nih buku catatan gue biar lo gak lupa lagi buat nyalin?” Ujar Zul.       “Nah! Ide cemerlang, Zul. Kenapa juga ya gue capek-capek nulis ulang. Kan bisa gue fotocopy aja buku lo. Makasih loh sarannya, Zul,” Balas Bagus.       Ya, begitulah Bagus. Kepintarannya seakan merupakan sebuah pemberian mutlak dari Tuhan. Walaupun terlihat malas, sekali Bagus menyimak penjelasan dari guru di depan kelas maka semua materi bisa dia serap secara sempurna dan hanya perlu dia jelaskan ulang pada Zul. Zul juga kadang merasa heran, karena dia yang sudah rajin mencatat pun terkadang sulit untuk menyerap pelajaran di sekolah. Orang seperti Bagus memang terkadang membuat iri hati karena kepintarannya yang sudah bawaan lahir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD