Untuk ke sekian kalinya Janu mendatangi lokasi kejadian kecelakaan yang melibatkan gadis itu, gadis amnesia yang kini tidak tahu identitas apalagi keluarganya. Janu bingung untuk memulai jejak dimana, lokasi itu hanya sebuah jalan raya dengan banyak pepohonan di kiri dan kanan tanpa ada rumah atau pemukiman warga.
"Dimana harus mencari identitasnya, bisa saja dia bukan orang asli sini, 'kan?" gumam Janu menatap titik kejadian kecelakaan dengan nanar.
Karena merasa buntu, Janu akhirnya memutuskan untuk segera kembali ke hotel. Besok adalah hari terakhirnya di Surabaya, dan sampai saat ini gadis amnesia itu belum juga sadarkan diri.
Sesampainya di hotel, Janu merebahkan tubuhnya sebentar. Menatap langit-langit kamar dengan kosong sebelum sesaat ponselnya berdering.
"Dokter Prama." Gumam Janu buru-buru mengangkat telepon dari temannya.
"Selamat malam, Dok?" sapa Janu.
"Dokter Janu, bisa anda ke rumah sakit sekarang? gadis yang menjadi korban kecelakaan kini sudah sadarkan diri."
Janu terdiam sejenak, ia segera berkata 'iya' lalu bersiap-siap untuk melihat kondisi gadis itu.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah sakit, Janu memarkirkan mobilnya di parkiran lalu segera masuk ke dalam rumah sakit. Terlihat dokter Prama sudah menunggu dirinya di depan ruangan rawat gadis tanpa nama itu.
"Bagiamana, Dok?" tanya Janu masih mengatur nafasnya.
"Dia sudah sadarkan diri, Dok. Tetapi ia masih diam dan terlihat kebingungan dengan keadaan sekitar, berkali-kali ia juga menanyakan nama dan identitasnya." Jawab Dokter Prama menjelaskan.
"Apa dia akan baik-baik saja jika kita memberitahukan semua hal yang menimpa nya?" tanya Janu memikirkan konsekuensi mengingat banyak pasien amnesia yang kesakitan jika di suruh mengingat.
"Saya rasa jangan dulu, Dok. Harus ada dokter neurologis profesional yang memeriksanya lebih dulu." Jawab Dokter Prama.
Janu terdiam, ia baru ingat kepada Andi rekan kerjanya di rumah sakit, tetapi sayangnya pria itu sudah kembali ke Jakarta kemarin karena seminar nya sudah selesai.
"Saya memiliki teman dokter ahli Neurologi, tetapi saat ini dia sudah kembali ke Jakarta." Timpal Janu mengusap keningnya pelan.
Kedua dokter itu dibuat bingung dengan keadaan, ditengah-tengah kebingungannya tiba-tiba seorang suster keluar dari ruang rawat gadis itu.
"Dok, pasien menangis histeris!" ucap suster itu membuat Janu dan dokter Prama sama-sama terkejut.
Keduanya segera masuk ke dalam untuk mengecek keadaan gadis itu, terlihat seorang gadis tengah menangis di atas bangsal sambil memeluk lututnya.
"Nona, anda baik-baik saja?" tanya Dokter Prama seraya mengambil suntikan obat penenang yang suster berikan.
"Siapa saya, dimana keluarga saya? kenapa saya tidak bisa mengingat apapun?" tanyanya dengan sedikit berteriak.
"Nona tenangkan diri anda!" ucap Janu ikut membuka suaranya.
Gadis itu mendongak mendengar suara Janu, ia menatap pria itu dengan tatapan nanar dan perasaan aneh yang menyelimuti. Janu sendiri ikut terdiam melihat tatapan gadis itu, persis seperti istrinya yang berjuang ketika melahirkan Zean dulu.
"Siapa kau?" tanya gadis itu pelan.
Dokter Prama berhasil menyuntikkan obat penenang pada gadis itu, perlahan kedua matanya terpejam lalu tak sadarkan diri dengan posisi yang oleng.
Janu yang melihat itu lantas buru-buru mendekati sang gadis hingga posisinya ia memeluk gadis yang tak sadarkan diri itu. Jantung Janu berdetak tak baik, bau tubuh gadis itu bahkan persis seperti aroma tubuh mendiang istrinya, sebenarnya ada apa ini.
"Biar saya saja Dok." Ucap sang suster lalu membantu gadis itu berbaring di bangsal.
***
Janu kembali ke hotel tempatnya menginap, besok ia harus kembali ke Jakarta dan saat ini entah mengapa hatinya berat meninggalkan gadis itu tanpa siapapun. Janu menatap dirinya di cermin. Entah halusinasi atau karena merindukan Riana, dari tempatnya ia melihat seorang wanita cantik duduk di ranjangnya, senyumnya manis dengan wajah putih bersih dan rambut hitam sebahu.
"Riana." Lirih Janu, ia membalik badan dan buru-buru mendekati sosok itu.
Janu berlutut di hadapan sosok yang Janu lihat sebagai Riana. Pelan tangan wanita itu membingkai wajahnya.
"Bagaimana denganmu Mas, Zean putra kita?" Tanyanya dalam halusinasi Janu. suara halus yang ia rindukan selama bertahun-tahun.
"Riana kenapa kamu pergi meninggalkan kami secepat ini, kembalilah Sayang!" pinta Janu memohon.
Wanita itu tersenyum hangat. "Berbahagialah selalu Mas, lihat di luar sana sudah banyak kebahagiaan menantimu." Ucap bayangan Riana berakhir mencium kening Janu dalam.
Janu membuka matanya kembali, ia kini sendirian. Entah kemana bayangan istrinya pergi, Janu kembali terdiam dengan perasaan memuncah, mengapa takdir begitu kejam padanya, memisahkan dirinya dan juga wanita yang dicintainya selamanya.
"Riana." Panggil Janu lirih, kepalanya jatuh menghadap selimut.
Bahu Janu bergetar, inilah sosok Janu jika sendiri, jika orang lain melihatnya dingin dan tegas, itu hanya di tampilkan oleh publik. Janu yang sebenarnya adalah seperti ini, kosong, rapuh dan sendirian. Andai saja ia tidak memiliki Zean dalam hidupnya, ia yakin saat ini ia memilih untuk mengakhiri hidupnya.
"Aku butuh kamu Riana, aku butuh seorang teman untuk bercerita dan melepaskan penatku." Lirih Janu lagi berkahir meremat selimut dengan kencang.
Meski selama ini banyak gadis yang mendamba dirinya, ia tidak pernah merasa aman dan nyaman. Kenyamanan bagi Janu bukan sekedar memiliki wanita cantik, tetapi nyaman baginya adalah memiliki pasangan yang bisa mengerti dirinya, masa lalu nya dan selalu ada bersamanya tanpa mengenal keadaan. Tetapi Janu tak menemukan sosok seperti mendiang sang istri, gadis yang selalu mengejarnya selama ini hanya mendamba ketampanan dan kekayaannya, bukan ibu sambung bagi anaknya.