Janu telah mengambil keputusan, ia akan membawa gadis itu kembali ke Jakarta bersamanya untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik, ia juga berjanji akan membantu mencari identitas gadis itu setelah keadaan nya pulih.
Janu tahu ada keraguan di benak gadis itu ketika dirinya mengajak nya pergi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, setelah ia sadar dan menanyakan identitas nya waktu itu, sampai sekarang gadis itu tak menanyakannya lagi dan memilih untuk diam.
"Katakan pada saya jika anda membutuhkan sesuatu." Ucap Janu tanpa menatap gadis itu.
"Iya." Balasnya lemah, suaranya lembut sekali ketika menyapa indera pendengaran Janu.
Butuh waktu dua jam perjalanan di udara, Janu melirik ke sebelahnya ketika pengumuman pesawat telah terdengar, dilihat gadis itu tertidur dengan posisi yang tidak nyaman.
"Nona." Panggil Janu membangunkan.
"Nona, kita akan sampai sebentar lagi." Ucap Janu lagi namun gadis itu tetap diam.
Janu menghela nafas, ia memberanikan diri untuk menyentuh bahu wanita itu lalu menepuk nya pelan.
"Nona, kita akan sampai. Bangunlah," ucap Janu dan kali ini ia berhasil membangun gadis itu.
Netra hitam sang gadis bertabrakan dengan mata elang Janu, sesaat keduanya terpaku namun buru-buru Janu mengalihkan pandangannya sekaligus menjauhkan tangannya dari gadis itu.
"Maaf, Dok. Saya lelah jadi ketiduran," ucap sang gadis dengan kepala tertunduk.
"Tidak apa." Balas Janu tanpa menatap gadis itu.
Kini Janu dan gadis itu telah sampai di Jakarta, ia juga sudah menghubungi Andi agar bisa secepatnya melakukan pemeriksaan pada gadis di sebelahnya yang terlihat kebingungan.
"Anda mau sesuatu?" tanya Janu menawarkan.
"Saya haus." Jawab sang gadis pelan.
Janu mengangguk kecil, ia menyuruh gadis itu duduk menunggu dirinya yang akan membeli minum. Gadis itu menurut, ia duduk dengan kepala menoleh ke kanan kiri karena suasana asing yang dirasakannya.
"Siapa aku?" lirih sang gadis dengan kepala tertunduk.
Tak lama Janu datang dengan sebotol air mineral, ia segera memberikannya pada gadis itu.
"Terima kasih." Ucapnya setelah menenggak minuman yang Janu berikan.
Tak selang berapa lama, terdengar panggilan dari seseorang di belakang Janu, siapa lagi jika bukan Andi.
"Maaf aku telat, jalanan sangat padat kendaraan." Ucap Andi hanya dibalas anggukan kecil oleh Janu.
"Jadi dimana gadis itu?" tanya Andi.
Janu sedikit bergeser agar Andi dapat melihat gadis yang datang bersamanya, seketika mata Andi membulat melihat gadis yang kini tengah duduk menatapnya canggung.
"Riana." Gumam Andi pelan.
"Bukan." Timpal Janu yang mendengar suara kecil Andi barusan.
Andi menarik tangan Janu menjauh dari gadis itu, kening Janu mengerut tetapi tetap mengikuti kemana pria itu menariknya.
"Kau yakin dia bukan Riana, atau mungkin keluarga mendiang Riana." Ucap Andi pelan hampir seperti berbisik.
"Aku kenal bertahun-tahun keluarga Riana, dia tidak punya saudara karena kedua orangtuanya adalah anak tunggal." Balas Janu dengan nada biasa.
"Apa, jadi dia ini siapa?" tanya Andi semakin dibuat bingung.
"Hentikan pertanyaan mu, tugasmu hanya memeriksa dan merawatnya." Jawab Janu dingin.
Andi menghela nafas, ia memang sulit jika berdebat dengan Dokter duda di depannya ini.
"Baiklah." Ujar Andi mengalah.
***
Setelah dua hari, Andi melakukan tugasnya untuk memeriksa keadaan gadis yang di tolong Janu itu, ia juga membaca diagnosa dokter Prama di Surabaya.
"Saya akan melakukan rangkaian tes komprehensif untuk mengetahui kemungkinan penyebab hilang ingatan anda. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter Prama, anda mengalami kecelakaan." Ucap Andi pada gadis yang sejak tadi diam.
Andi melirik Janu. "Aku akan melakukan Tes diagnostik. Tes ini meliputi magnetic resonance imaging (MRI) dan computerized tomography (CT) untuk mendeteksi adanya kerusakan atau kelainan pada otak. Kau harus ada untuknya," ucap Andi namun tak dihiraukan oleh Janu.
Pria itu diam menatap gadis yang sedang berbaring pasrah, entah mendapat dorongan darimana ia mendekat lalu menggenggam tangan gadis itu.
"Kau pasti akan sembuh." Ucap Janu membuat si gadis terhenyak.
"Siapa aku?" tanya gadis itu pelan.
"Erika, namamu Erika." Jawab Janu celos, entah bagaimana kata itu bisa lolos dari mulutnya.
Andi melirik Janu penuh tanya, ia merasa aneh sekaligus bingung mendengar ucapan temannya barusan, bagaimana Janu bisa memberikan sembarang identitas pada pasiennya.
"Benarkah? lalu kau siapa, kenapa aku ada bersamamu?" tanya gadis yang dinamai Erika itu.
"Apa yang kau lakukan?" bisik Andi mendapat lirikan dari Janu.
Sesaat Janu kembali menatap gadis yang sedang bertanya padanya, ia berdehem. "Aku tidak terlalu mengenalmu, salah satu rekan dokter di Surabaya memperkenalkan ku padamu untuk menjadi asistenku." Jawab Janu lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Andi semakin terhenyak, darimana ide gila Janu itu muncul. Dirinya saja belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut, tetapi Janu sudah mengkalim nama dan identitas palsu pasiennya.
"Janu, kau akan melakukan kesalahan jika begini." Bisik Andi lagi namun tak dibalas oleh Janu.
Janu menarik tangan Andi keluar dari ruangan, sementara gadis bernama Erika itu menatap kepergian keduanya dengan penuh tanya.
"Erika, apa benar itu namaku?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri.
Seketika itu kepalanya terasa sakit ketika mencoba mengingat, ia memegangi kepalanya lalu memejamkan mata berusaha menghalau rasa sakit yang tengah dirasakan.
Sementara Janu dan Andi di depan ruangan, terlihat kedua dokter itu sedang berbincang, tidak lebih tepatnya berdebat.
"Janu kenapa kau memberi identitas palsu padanya?" tanya Andi tak habis pikir.
"Berhenti bertanya, aku melakukan itu agar kondisinya cepat pulih." Jawab Janu datar.
"Tapi bukan dengan ini, dengan melakukan ini kau akan semakin membuat dirinya tidak akan mengingat apapun." Pungkas Andi memijat pelipisnya.
"Kau ahlinya, Ndi. Aku membawa gadis itu kemari agar dia mendapat perawatan yang baik, dan aku percaya kau bisa melakukan nya. Soal identitas palsu, sebenarnya aku juga tidak mengerti bagaimana bisa mengatakan itu." Jelas Janu membuat kening Andi mengerut.
"Kau peduli padanya?" tanya Andi menerka.
"Omong kosong!" bantah Janu tak habis pikir dengan jalan pikiran temannya itu.
"Bisa saja kau peduli karena dia mirip dengan mendiang istrimu, Riana. Dan aku rasa kau menolongnya dari kecelakaan waktu itu juga karena kau sadar dia mirip dengan mendiang Riana kan?" tebak Andi membaca raut wajah Janu yang tampak diam.
"Aku peduli padanya karena aku seorang Dokter, jadi berhenti berpikir dan menebak hal yang aneh." Jawab Janu lalu pergi meninggalkan Andi yang hanya menghela nafas.
"Gadis itu seakan hadir untuk mengisi kekosongan dalam hidup Janu." Gumam Andi lalu mengangkat bahunya acuh.
Ia kembali masuk ke dalam ruangan rawat Erika, di lihat pasiennya itu sedang tertidur hingga membuat Andi memutuskan untuk pergi dan memeriksa pasien lainnya.