Siang itu Janu baru selesai memeriksa pasiennya, jam menunjukkan waktu makan siang dan ia hendak pergi ke kantin. Tetapi baru saja kakinya melangkah tatapannya jatuh pada seorang wanita yang duduk di kursi roda, wajahnya pucat tetapi tetap terlihat cantik, mengingatkan dirinya pada seseorang.
"Nu, kau mau ke kantin kan? ayo aku ikut!" ajak Andi tanpa menatap Janu dan bermain ponsel.
Janu tak menjawab, ia masih terpaku pada Erika yang baru saja keluar dari ruangan perawatannya, senyuman ramah yang dilemparkan nya seakan membuat duplikat mendiang istrinya, membuka luka yang telah lama tertutup.
"Nu!" panggil Andi kini mengalihkan pandangannya ke arah sang teman.
Janu masih tak bergeming, melihat Janu yang memandang ke arah lain dengan tatapan dalam membuat Andi akhirnya mengikuti arah pandang pria itu. Seulas senyum tipis terbit di wajah Andi ketika menyadari kemana tatapan Janu.
"Aku tahu, kau terpukau dengannya." Celetuk Andi menyenggol tubuh Janu pelan.
Janu tersadar, ia mengalihkan tatapannya lalu mengusap ujung matanya yang hendak mengeluarkan air mata, setelahnya Janu menatap temannya itu dengan tatapan datar.
"Ada apa?" tanya Janu dingin.
"Ck, siang hari begini bisakah jangan bersikap dingin!" gerutu Andi menghela nafas nya pelan.
Janu menggelengkan kepalanya pelan lalu pergi meninggalkan Andi begitu saja, ia meraih ponselnya di dalam kantung untuk menghubungi Zean putranya.
Andi yang melihat Janu pergi lantas segera menyusul, ia mensejajarkan langkahnya dengan Janu untuk sekedar mengganggu temannya.
"Aku perhatikan kau semakin terpukau dengan pasienku." Sindir Andi seraya tetap memainkan ponselnya.
Janu melirik ke arah Andi, ia memutar bola matanya jengah tanpa berniat untuk membalas ucapan temannya yang sungguh membuatnya malas.
Andi akhirnya terkikik tanpa melanjutkan godaannya, ia sudah cukup mengerti suasana hati Janu, jika sudah diam dengan tatapan tajam berarti pria itu tengah menahan kekesalannya, meksipun sebenarnya itu menyenangkan.
Sesampainya di kantin, Janu memesan makanan begitu juga dengan Andi, keduanya menyantap makanan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata. Ingat kata mamah 'tidak boleh bicara jika sedang makan'.
Ditengah-tengah ketenangan mereka makan siang, ponsel milik Janu berdering di saku jas dokternya, ia segera meraihnya lalu menjawab telepon dari Zean, putranya.
"Iya, kamu sudah makan?" tanya Janu dengan penuh perhatian.
"Anak pintar, ya sudah baik-baik di rumah ya. Papa masih ada pekerjaan," ucap Janu sebelum menutup teleponnya.
"Bagaimana dengan Zean?" tanya Andi setelah memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya.
"Baik, meski terkadang sikapnya kembali lagi." Jawab Janu kembali melanjutkan makan siangnya.
"Bagiku itu wajar Nu, dia pasti merindukan sosok ibunya." Tukas Andi pelan.
Setelah makan siang, Janu kembali melanjutkan pekerjaannya, ia memeriksa beberapa pasien lain dari beberapa lantai, ketika akan memeriksa pasien selanjutnya, melewati koridor yang memperlihatkan keramaian teman rumah sakit membuat Janu dapat melihat Erika dari atas.
Janu menghentikan langkahnya menciptakan bunyi sepatu yang terhenti, ia meletakkan sebelah tangannya di atas besi pembatas, tatapannya telah jatuh pada sosok gadis di bawah pohon yang tengah tersenyum ke arah anak-anak disana.
"Riana…." Lirih Janu memejamkan matanya.
Sementara dari bawah saja Erika melihat Janu dengan tatapan bingung, dokter itu memejamkan mata nya membuat Erika berpikir bahwa Janu tengah kelelahan, tetapi disamping kebingungannya ia juga di penuhi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar masa lalu nya, siapa dirinya? keraguan menderanya ketika dokter Janu mengatakan namanya Erika, tetapi ia seakan aneh dengan nama tersebut.
"Nona, hari semakin panas dan ini tidak baik untuk anda. Mari kita masuk," ajak Suster yang menemani Erika.
"Iya Sus, ayo!" balas Erika mengangguk setuju.
Di tengah perjalanan, Erika bertemu dengan dokter nya yaitu dokter Andi yang baru saja keluar dari ruangannya.
"Selamat siang Dokter." Sapa Erika ramah.
Andi menoleh ke asal suara, ia membalas senyuman ramah Erika. "Siang juga Nona Erika, bagiamana kondisi anda?" tanya Andi.
"Sudah jauh lebih baik Dok, terima kasih sudah merawat saya." Jawab Erika dibalas kekehan oleh Andi.
"Saya masih ada pekerjaan, istirahatlah Nona." Ucap Andi lalu pergi dari hadapan Erika.
Erika kembali ke kamar perawatannya, ia mendudukkan tubuhnya di bangsal dengan dibantu oleh suster, luka di kepala masih sedikit terasa meski tak sesakit dulu.
"Nona, saat nya minum obat." Ucap seorang Suster yang baru saja masuk.
Erika hanya mengangguk menanggapinya, ia menerima obat dari suster lalu menelannya dengan bantuan segelas air putih yang juga diberikan padanya.
"Terima kasih Sus." Ucap Erika pada kedua Suster yang turut membantunya.
Erika membaringkan tubuhnya, ia menarik selimut sampai batas parut, tatapan matanya menatap langit-langit kamar, tanpa sadar ia mengeluarkan air mata ketika sadar bahwa saat ini dirinya tidak bisa mengingat apapun, ia tidak tahu apakah yang ia ketahui sekarang adalah kenyataanya atau bukan.
Erika memejamkan matanya, ia ingin sekali mengingat, tetapi apalah daya nya yang baru saja hendak mengingat tetapi rasa sakit di kepala menyerangnya hingga ia harus menerima suntikan di tangannya untuk mengurangi rasa sakit.
"Erika, ayolah coba untuk mengingat!" gumam Erika berusaha keras.
Erika tiba-tiba kembali merasakan sakit, ia bangun dari tidurnya lalu duduk dengan kedua tangan yang memegangi kepalanya, mengatupkan kedua belah bibirnya guna menahan ringisan yang hendak keluar.
"Hiks … hiks … sakit…" lirih Erika mengeratkan cengkraman di rambutnya.
Tangan Erika tiba-tiba di pegang oleh seseorang, ia membuka mata dan terkejut melihat siapa yang ada di hadapannya. Tatapan tajam dan mengintimidasi membuatnya takut sekaligus khawatir.
"D-Dokter Janu?" tanya Erika pelan.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Janu masih belum melepaskan tangan Erika.
"Saya hanya berusaha untuk mengingat, tetapi ternyata hanya sakit yang saya dapatkan." Jawab Erika lemah.
"Apa yang ingin kau ingat, saat ini kau sedang masa pemulihan, jangan membuat kesalahan yang akan berakibat fatal!" pungkas Janu dingin.
Erika terdiam mendengar ucapan dan suara dingin Janu, pria itu seakan menunjukkan hal tidak suka ketika melihatnya yang berusaha mengingat sementara hal itu telah di larang oleh Dokter dalam waktu dekat ini.
"Istirahatlah dan jangan mengulanginya!" tutur Janu melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Erika.
"Maafkan saya Dokter, saya pasti menyusahkan anda." Ujar Erika pelan sebelum sesaat kemudian ia kembali berbaring tak sadarkan diri karena pusing yang menyerang nya.
Janu membuka matanya lebar, ia mendekati Erika lalu menepuk pelan pipi Erika pelan tetapi tak mendapat respon.
"Nona Erika bangun, apa yang terjadi?!" tanya Janu tampak khawatir.
Janu buru-buru menekan tombol untuk memanggil Dokter, hanya dalam beberapa menit Andi datang, terlihat raut wajah terkejut di wajah Andi ketika melihat temannya ada disana, meskipun bingung Andi buru-buru memeriksa kondisi Erika.