6. BUKAN TIDAK BAIK

1596 Words
Beberapa ART di rumahnya sedang sibuk membersihkan rumah secara besar-besaran. Semua sudut rumah, bahkan gudang dibongkar untuk disusun kembali barangnya. Kamar samping yang merupakan kamar untuk tamu pun sudah dibersihkan. Raisa bingung, mengapa semua orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak mau ambil pusing, Raisa pamit kepada bunda untuk keluar ke perpustakaan. Rencananya Raisa ingin meminjam beberapa buku untuk menjadi referensi. Namun, tidak akan lama di perpustakaan seperti biasanya karena ada janji dengan Riri dan Puput. Ya, setelah beberapa hari melakukan kegiatan secara mandiri, Raisa rindu juga dengan kedua temannya itu dan mereka merencana untuk bertemu di cafe biasa. Setelah berpamitan pada bunda yang sedang asik di dapur, Raisa langsung berangkat ke perpustakaan dengan menggunakan ojek online—sebuah kendaraan wajib yang selalu Raisa pesan setiap kali keluar rumah jika tidak suka dengan basa-basi. Radit juga sedang sekolah, jadi tidak ada supir gratis yang biasanya Raisa manfaatkan sesukanya. Perpustakaan pagi ini cukup ramai dan beberapa buku yang Raisa mau, sudah habis dipinjam. Jadi, terpaksa hanya mengambil seadanya saja. Setelah itu, dia berjalan ke tempat janjian mereka yang ada tepat di depan kampusnya. Matanya tiba-tiba menangkap orang yang dikenalnya—kakak tingkat cerewet itu sedang berjalan bersama dengan seorang laki-laki berseragam polisi. Padahal, Raisa berusaha untuk menghindar dari kakak tingkatnya itu. Malas berdebat apalagi ketika suasana hatinya sedang tidak baik. Biasanya, jika orang sedang marah, yang keluar bukan omongan yang baik tapi menyakitkan. Dan Raisa tidak mau itu terjadi. Namun, ketenangan yang diharapkan ini ternyata hanya sekedar khayalan. Kakak tingkatnya—yang entah siapa namanya—sudah menghadangnya di pintu masuk cafe. Raisa menghela napasnya kesal, namun berusaha untuk tetap tenang. "Ngapain Lo enggak berangkat buat bimbingan kemarin? Gara-gara Lo, kita semua yang dimarahin," kesal kakak tingkatnya itu dengan melipat tangan di d**a. Raisa tidak menjawab, perempuan itu berusaha untuk masuk dengan mendorong kakak tingkatnya ke samping. Perlakuan Raisa itu membuat kakak tingkatnya semakin kesal dan marah. "Lo budek?" Ketus si kakak tingkat yang sudah menarik pergelangan tangan Raisa sebelum benar-benar masuk ke dalam cafe. Karena tidak mau menghalangi pengunjung lain untuk masuk atau keluar cafe, Raisa menarik tangan kakak tingkatnya untuk keluar dari area cafe. Mengajaknya ke tempat yang berada di ujung jalan. Laki-laki yang merupakan pacar si kakak tingkat ini pun kebingungan dengan interaksi keduanya. Raisa melipat tangannya di d**a dengan kesal, "gue malas ya harus berdebat sama Lo. Gue mau hidup tenang sehari aja! Tapi Lo bikin semuanya ribet dan mancing emosi gue." Kakak tingkatnya hanya tersenyum sinis, "gue enggak suka aja lihat Lo yang sok kecakepan dan sok terlihat sempurna di mata orang lain. Tampang pas-pasan doang aja belagu banget." "Itu pandangan Lo doang, ya! Gue enggak merasa tuh," ucap Raisa dengan santainya. Kakak tingkat itu hendak mendorong Raisa, namun laki-laki berseragam polisi yang merupakan pacar kakak tingkat itu langsung menariknya. "Apaan sih?" Kesal kakak tingkat itu kepada pacarnya. "Aku enggak suka kekerasan, ya. Lagi pula, semua masalah enggak harus diselesaikan dengan kekerasan. Aku enggak suka ya, kalau pacar aku kasar sama orang lain." Tandas laki-laki itu yang membuat senyum mengejek terlihat di wajah Raisa. Raisa berjalan, menepuk pelan bahu kakak tingkatnya dengan wajah yang menyebalkan. Untunglah pacar si kakak tingkat ini tidak suka dengan sikap kakak tingkatnya itu. "Gue jalan dulu ya, Kak. Jangan suka bully orang lain. Kerjain dulu skripsinya yang benar baru ngatain orang," sindir Raisa lalu masuk ke dalam cafe. Riri melambaikan tangannya ketika Raisa baru saja masuk ke cafe dan lonceng terdengar ketika Raisa masuk langsung disambut oleh suara ramah pegawai cafe. Raisa mendekat ke meja pemesanan dan memesan minuman yang selalu dia pesan. "Puput mana?" Tanya Raisa kepada Riri karena tidak melihat keberadaan Puput di sini. Riri belum menjawab karena mulutnya dipenuhi dengan nasi goreng yang baru saja dilahapnya. Setelah selesai mengunyah makanan di dalam mulutnya, Riri buru-buru minum karena hampir saja tersedak. "Pelan-pelan Ri, gue enggak bakalan minta makanan Lo." Ucap Raisa yang menyodorkan air mineral miliknya kepada Riri yang terbatuk-batuk. "Iya, tahu, cuma aku lapar banget, Ra. Sejak kemarin aku cuma makan nasi merah dikit banget, enggak pakai lauk pula. Makannya cuma sayur sama buah. Kata Mama harus diet," ucap Riri cemberut. Raisa menggelengkan kepalanya heran, "di rumah doang dietnya berarti. Kalau di luar makannya kaya gini, sama aja bohong, Ri." "Aku enggak mau diet sebenarnya. Mama bilang aku masih muda dan harus punya badan proporsional. Katanya malu sama anak tetangga yang badannya tinggi dan langsing. Maklum aja 'kan karena dia model jadi badannya juga bagus. Aku suka sedih kalau Mama sering bandingin aku sama anak tetangga," curhat Riri dengan wajah sedih. Raisa mengelus pundak Riri, sedikit merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki ayah dan bunda yang tidak pernah membandingkan dirinya dengan siapapun. Ayah dan bunda selalu bilang, setiap individu itu unik dan selalu membebaskan apapun yang anak-anaknya pilih—asalkan berani bertanggungjawab dengan pilihannya. Tidak lama kemudian Puput datang dan berjalan ke arah meja mereka dengan wajah kusut. "Kalau dilihat dari kusutnya muka Lo, pasti habis bimbingan. Benar enggak, gue?" Tebak Raisa sambil mengaduk minumannya. Puput mendongakkan kepalanya setelah meletakkan kepalanya diantara lipatan tangannya. "Sumpah, dosen pembimbing gue enggak ada akhlak. Padahal bilang sama gue buat selesaikan dulu bab dua baru konsultasi. Ternyata apa? Dia enggak terima, harus bertahap katanya. Bab satu di ACC baru deh lanjut ke bab dua. Lihat kertas gue, dicoret-coret kaya lagi ngelukis di kanvas," curhat Puput dengan mata yang berapi-api. Raisa menarik kertas milik Puput yang memang sudah dicoret-coret dengan tinta merah pula. Beberapa tulisan juga digaris bawahi dan ada juga yang satu paragraf dicoret langsung. "Ini sih dosennya memang jeli dan teliti. Gue aja yang sama-sama mahasiswa kaya Lo, merasa sakit mata sama tulisan Lo." Jujur Raisa yang sedang membaca beberapa koreksi dari dosen pembimbing Puput. Puput mencebikkan bibirnya, "gue kan bilang masalah dia nyuruh selesaikan sampai bab dua tapi mintanya bertahap. Bukan masalah tulisan gue bikin sakit mata." Raisa mengambil pensilnya, "yang bagian ini memang enggak perlu, Put. Pembahasan Elo muter-muter, jadi tujuan Lo kenapa bikin skripsi ini enggak tersampaikan sama pembaca. Ini juga yang digaris, kutipan yang Lo ambil banyak yang salah. Kutipan langsung sama tidak langsung kenapa enggak ada bedanya gini? Terus ada beberapa kutipan dari para ahli enggak Lo cantumkan bukunya dan halaman berapa." Puput mendengarkan penjelasan Raisa yang membantu mengoreksi kembali apa yang sudah dosen pembimbing Puput tandai. Puput tampak mengangguk paham. "Gitu..." Ucap Raisa setelah selesai dan mengembalikan kertas milik Puput yang sudah penuh dengan coretan dari pensil milik Raisa. "Gila, gue malah paham kesalahan gue kalau Elo yang jelasin. Yang gue lihat dari dosbim gue tadi cuma celotehan marah-marah doang. Enggak ada bilang apa yang salah, terus digaris, habis itu dicoret-coret seenaknya." Ucap Puput menatap kertasnya yang penuh dengan coretan. Raisa mengangguk saja, sedangkan Riri masih sibuk dengan makanan miliknya. Berusaha untuk sebanyak mungkin makan, sebelum pulang ke rumah dan dipaksa untuk diet lagi. "Gimana acara nikahannya Ardan, Ra?" Tanya Riri disela makannya. Raisa yang baru saja menyeruput minumannya hanya menggeleng pelan. Teringat kembali pada satu titik yang membuatnya ingin segera lupa namun tidak segampang yang dipikirkan. Mencintai sendirian ternyata tidak enak. "Istrinya cantik banget, berjilbab pula. Gue mah apa, remukan peyek di kaleng Khoung Guan." Ucap Raisa yang menghela napas panjang. "Tapi gue tetap merasa kehilangan banget. Masalahnya, gue sama dia udah lama pacaran dan enggak ada jaminan gitu, gue bisa move on kapan. Ardan itu 'kan mantan terindah gue dan susah aja buat berpindah hati sama orang baru," jujur Raisa yang membayangkan semua kenangan yang terjadi antara dirinya dan Ardan. Riri mengelap mulutnya dengan tisu setelah selesai makan lalu kembali bertanya kepada Raisa. "Eh, ada oppa tentara yang kemarin deketin kamu 'kan, Ra. Sepertinya dia calon suami yang baik lho. Aku aja lihatnya baper." Ucap Riri sambil membayangkan wajah artis Korea Song Joong Ki. Raisa menoyor kepala Riri pelan, membuat perempuan bertubuh tambun itu cemberut. "Kebanyakan nonton drama Korea, Lo. Udah gue bilang cowok itu gila! Beberapa hari gue ketemu lagi sama dia, dan pembahasan dia malahan lebih parah. Mau datang ke rumah dan ngelamar gue, katanya." Kesal Raisa dengan wajah ngeri. "Jangan-jangan kalian jodoh? Astaga, so sweet banget, 'kan. Aku juga mau dapat cowok ganteng begitu," ucap Riri dengan wajah yang memerah. Puput menghela napas panjang lalu memilih menatap Raisa, "tapi kalau gitu bukannya jadi serem ya, Ra? Kesannya kaya penguntit, gitu." Raisa mengangguk, "akhirnya ada teman yang memahami perasaan gue selama ini." Riri cemberut, "tapi kalau menurut feeling seorang Riri, oppa tentara itu serius sama Raisa. Buktinya selalu bilang menikah, enggak pernah 'kan bilang sama Raisa soal pacaran? Lagian, sekarang baru trend nikah tanpa pacaran, lho." "Menikah tanpa pacaran? Terus kita tahu diri masing-masing dari mana? Gue enggak setuju dengan hal itu, kenapa harus menikah buru-buru kalau kita masih ada waktu untuk saling mengenal lewat pacaran." Sewot Raisa yang kembali meminum minumannya. "Banyak kok yang enggak pacaran tapi langsung menikah. Pacaran juga enggak menjamin lho, bisa selangkah lebih maju. Maksudnya, enggak semua berakhir di pelaminan." Ucap Riri yang sebenarnya dibenarkan oleh Raisa. Puput memilih diam, percintaan bukanlah ranahnya. Sehingga Puput tidak akan ikut berdebat masalah pacaran sebelum menikah itu penting atau tidak. "Gue mau pulang duluan ya, enggak tahu kenapa si kutu kupret Radit kirim pesan sejak tadi dan minta gue buat pulang." Pamit Raisa sambil melihat ponselnya yang dipenuhi dengan pesan Radit untuknya. "Kok cepat banget?" Tanya Riri yang seperti tidak ikhlas jika Raisa pulang sekarang. "Maaf deh, gue enggak tahu kenapa harus pulang sekarang. Radit juga udah otw dari rumah mau jemput gue. Katanya sih ada yang penting dan membutuhkan gue di sana." Ucap Raisa menjelaskan. Sesekali Raisa menatap area luar untuk melihat apakah mobil Radit sudah sampai apa belum. Tidak lama kemudian mobil Radit terparkir di depan cafe dan Raisa buru-buru keluar setelah berpamitan kepada kedua temannya. Raisa penasaran, apa yang sebenarnya begitu penting sampai dirinya pun harus segera pulang. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD