Merenung, duduk sendirian di salah satu sudut ruangan perpustakaan di kampusnya, adalah kebiasaan baru Raisa. Semenjak ditinggal menikah oleh Ardan, Raisa jarang pergi dari rumah. Bahkan keluar dari kamar pun jarang. Kata Radit, Raisa masih dalam fase berusaha untuk move on. Padahal, Radit tidak pernah punya pacar—teman perempuan saja tidak punya. Memang begitu 'kan, kadang orang yang tidak berpengalaman pun suka ikut sok tahu jika berhubungan dengan percintaan.
Patah hati ternyata membuat Raisa semakin rajin membaca. Terbukti dengan banyaknya buku-buku fisika di atas mejanya. Raisa berusaha memecahkan semua rumus yang berada di buku itu, mengaplikasikan pada selembar kertas dan memulai memusingkan dirinya dengan cara mengerjakan soal olimpiadenya waktu itu.
Raisa pernah mengikuti olimpiade ketika jaman kuliah sekitar semester dua kemarin, dia sempat masuk peserta terbaik namun gagal ketika naik tingkatan yang lebih tinggi karena selisih nilai yang sangat tipis. Setelah itu Raisa jarang ikutan acara olimpiade atau cerdas cermat lagi, katanya terlalu membuang waktunya.
Selain itu, Raisa suka menari dan menyanyi. Tetapi lebih mencolok ketika Raisa mulai menari dengan menggunakan pakaian adat Jawa. Aura dan kecantikannya langsung terbuka—katanya.
Sekarang, Raisa malas melakukan apapun. Dia hanya ingin melamun sambil menikmati waktu sendirian tanpa ada gangguan Radit si jahil, bunda yang selalu menyuruhnya untuk belajar masak, dan ayah yang mengajaknya untuk olahraga. Semua kegiatan itu sangat membosankan untuk Raisa.
Untuk beberapa hari ini pun, Raisa sedang malas berkumpul dengan Puput dan Riri. Sehingga, Raisa selalu membuat alasan agar mereka tidak bertemu terlebih dahulu. Semua agenda nongkrong atau sekedar jalan bareng pun sudah Raisa cancel dan menggantinya dengan duduk di perpustakaan selama berjam-jam untuk mengerjakan soal-soal.
Beberapa kali Raisa menguap dan kembali meletakkan bulpoinnya di atas meja. Sesekali perempuan itu mengucek matanya yang pedih dan meregangkan tangannya yang pegal karena dipaksa untuk menulis terus. Setelah bosan dan pusing, Raisa menyusun buku pinjamannya lalu menandai pada layar komputer, jika buku yang dipinjamnya sudah dia kembalikan pada tempatnya.
Masih pukul dua siang, Raisa ingin menikmati waktunya di luar rumah terlebih dahulu. Sebelum akhirnya pulang dan masuk ke dalam kamar untuk menyelesaikan nonton film kembali. Mungkin, kegiatan baru Raisa adalah menonton film atau melamun di pinggir jendela kamar yang paling besar.
Raisa mampir ke sebuah minimarket untuk membeli minum. Lupa jika dia belum minum obat asam lambung. Penyakit ayah ternyata menurun padanya, asam lambung yang selalu mengganggu aktivitas. Telat makan sedikit kambuh, makan pedas juga kambuh, intinya gampang sekali kambuhnya. Raisa memang mirip sekali dengan ayah, sampai semua makanan yang tidak ayah suka, Raisa juga tidak akan suka.
Ruangan ber-AC menerpa wajahnya. Rasanya dingin sekali, berbanding terbalik dengan udara di luar yang panasnya jangan ditanya lagi. Raisa berdiri di depan deretan lemari pendingin, mencari air mineral dan minuman dingin lain yang Raisa sukai.
Baru saja tanganya hendak meraih sebuah botol air mineral, sebuah tangan tiba-tiba ikut terjulur. Raisa menarik kembali tangannya dan begitu pula dengan orang itu. Raisa berbalik, menatap siapakah orang yang hendak ikut mengambil minumannya.
"Ketemu lagi," seru laki-laki yang mengenakan atasan kaos dan celana doreng itu dengan senyuman.
Raisa menghela napasnya kasar lalu membuang muka. Padahal sudah senang hatinya karena tidak pernah bertemu lagi dengan Garuda, tapi mengapa sekarang takdir kembali mempertemukan mereka di sebuah minimarket?
Karena malas berdebat dan tidak punya kekuatan untuk meladeni laki-laki yang tidak lain dan tidak bukan adalah Garuda itu, Raisa memilih berlalu setelah menarik sebuah botol air mineral yang tidak dingin dari rak yang ada di depannya.
Raisa meletakkan botol air mineral yang sudah diambilnya di meja kasir untuk membayar. Namun, ketika waktunya Raisa menyerahkan uangnya, Garuda yang berdiri di belakangnya sudah memberikan satu lembar uang bewarna biru di atas meja kasir dan meletakkan sebuah s**u kaleng juga di sana.
"Saya yang traktir," ucap Garuda dengan senyuman yang terlihat jelas di wajahnya.
Raisa menarik botol air mineralnya lalu keluar dari minimarket tanpa berterima kasih. Sebenarnya apa yang Garuda inginkan dari seorang Raisa? Apa yang Garuda rencanakan sehingga memilih Raisa sebagai seseorang yang membuat fokusnya teralihkan.
Garuda berjalan mendekati Raisa—dia sangat yakin jika Raisa sedang menunggunya. Bukan bermaksud untuk percaya diri. Namun, Raisa benar-benar sedang menunggunya dengan melipat tangan di d**a.
"Gue enggak akan sopan-sopan atau basa-basi sama orang kaya Lo! Gue enggak peduli motivasi Lo apa, tapi tolong menjauh dari gue. Pura-pura aja kita enggak kenal, atau kalau bisa, pura-pura enggak lihat." Ketus Raisa karena kesal.
Menurutnya, kehadiran Garuda sudah mengganggu ketenangannya. Apalagi suasana hati Raisa sedang tidak baik. Garuda tersenyum tipis, sadar jika dirinya telah datang pada waktu yang tidak tepat. Namun, dia berusaha untuk memperlihatkan kepada Raisa, jika dirinya serius.
"Apa saya boleh datang ke rumah?" Tanya Garuda mengabaikan semua kekesalan Raisa kepadanya.
"Mau ngapain sih?" Ketus Raisa dengan wajah malas.
"Mau melamar kamu," jawab Garuda dengan wajah serius.
Raisa menghela napas panjang lalu memejamkan matanya sejenak. Dia sudah berusaha sabar, namun apa yang Garuda katakan sudah sangat keterlaluan menurut Raisa.
"Ayo menikah. Teman kamu kemarin bilang, kamu baru saja putus. Tidak ada alasan untuk menolak, bukan? Saya sangat serius, bahkan ini hal yang paling serius dari hal serius yang saya katakan," ucap Garuda yang berdiri tepat di depan Raisa.
"Gila!" Umpat Raisa lalu berjalan menjauh dari Garuda yang masih berdiri di sana.
"Saya insyaallah bisa menjadi imam yang baik untuk kamu. Saya sudah minta sama Allah untuk memberi jodoh yang terbaik, dan doa saya terjawab setelah beberapa hari lalu saya melihat kamu. Saya jatuh cinta sama kamu dan saya mau membawa kamu dalam hubungan yang lebih serius." Jelas Garuda yang sama sekali tidak digubris oleh Raisa.
Perempuan itu tetap berjalan dengan cepat, meninggalkan Garuda yang terdiam di sana. Lagi-lagi usahanya menemukan jalan buntu. Padahal sejak pertama kali Garuda melihat wajah Raisa—Garuda yakin sekali jika Raisa adalah jodohnya. Perempuan yang datang untuk menjawab semua doa yang telah dipanjatkannya kepada Tuhan.
Raisa membuka tutup botol air mineralnya, lalu meminumnya. Dia kembali menatap ke belakang, tetapi Garuda sudah tidak ada di sana lagi. Pertemuan mereka sangat aneh dan tidak masuk akal. Jika ada laki-laki seperti Garuda—yang langsung mengajak menikah—menurut Raisa tidak akan ada selain di dunia khayalan.
Tidak lama kemudian ojek online yang Raisa pesan telah datang. Raisa langsung naik ke motor pengemudi itu setelah memastikan bahwa kedua aplikasi memiliki kesamaan nama yang tertera. Sepanjang perjalanan, Raisa diam saja. Sudah biasa Raisa tidak mengajak bicara siapapun orang yang mengantarkan dirinya pulang. Mungkin itulah yang membuat Raisa suka pergi dengan menggunakan ojek online, karena dirinya tidak perlu berbasa-basi.
Radit baru saja pulang dari sekolah dengan menggunakan motornya dan kebetulan bersamaan dengan Raisa yang baru saja masuk ke halaman rumah mereka.
"Eh, Tuan putri sudah pulang. Dari mana aja?" Goda Radit yang belum masuk ke dalam rumah karena menunggu Raisa di depan pintu.
Pak satpam yang berada di pos pun hanya geleng-geleng kepala karena sudah dapat menerka jika terjadi semacam peperangan jika keduanya berada di rumah secara bersamaan.
Raisa menghela napas panjang lalu berusaha untuk masuk ke dalam rumah, namun Radit menghalangi jalannya. Raisa tampak sangat kesal dan hal itu semakin membuat Radit semakin bersemangat untuk menggoda kakaknya.
"Awas! Kalau enggak mau minggir, aku tendang masa depan kamu, ya. Aku enggak main-main, Dit. Kalau mau masa depan kamu aman, mendingan minggir!" Ketus Raisa yang menatap Radit tajam.
Sontak Radit menutup kakinya rapat-rapat—tidak mau jika Raisa sampai menendang 'masa depannya'. Jika dengan menggunakan kata yang kasar, bisa diartikan sebagai s**********n. Raisa hanya sedikit memperhalusnya, namun tetap saja seram.
"Sadis banget sih, Kak. Kalau tega, benar-benar psikopat." Ucap Radit yang sedikit menyingkir dari pintu.
"Bodo!" Ketus Raisa lalu mendorong Radit dengan kasar.
Radit masih mengomel tidak jelas ketika berjalan di belakang Raisa. Sedangkan Raisa sendiri hanya diam—tidak terlalu peduli dengan adik laki-lakinya itu.
"Kak?" Panggil Radit ketika Raisa hendak masuk ke kamar yang berada tepat disamping kamarnya.
Raisa menoleh, "apa? Mau minta duit lagi? Duit bulananku juga dipotong gara-gara peraturan yang Ayah tulis."
Raisa menunjuk peraturan yang ada di depan pintunya. Entah mengapa ayah sampai kepikiran membuat peraturan seperti ini. Mungkin, ayah sudah lelah menasehati Raisa untuk tidak membanting pintu seenaknya jika sedang kesal.
"Bukan, enggak mau minta duit. Sebenarnya aku mau tanya tentang tentara yang ketemu waktu di cafe waktu it—"
"Jangan aneh-aneh deh," ketus Raisa ketika Radit membahas Garuda. Padahal Radit belum selesai bicara, tetapi sudah langsung dipotong begitu saja.
Radit mencebikkan bibirnya, "baru juga mau ngomong, main dipotong aja sih, Kak. Ya udah deh, enggak jadi."
Radit masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Raisa yang menatap bingung sikap adiknya itu.
"Kenapa jadi dia yang marah? 'Kan harusnya gue yang kesel," ucap Raisa yang hendak menendang pintu kamar Radit namun diurungkannya.
"Sabar Raisa, jangan sampai ulah Lo di rumah bikin uang bulanan Lo terancam punah! Mulai sekarang, perlakukan pintu seperti anak sendiri." Ucap Raisa lalu masuk ke kamarnya setelah mengelus pintunya.
Raisa meletakkan tasnya di atas meja lalu beralih membuka pintu balkon kamarnya. Dirinya membutuhkan refreshing, kalau perlu ke luar kota. Namun, Raisa tidak mungkin lepas tangan dengan penelitiannya atau dengan keadaan yang dia tinggalkan di sini.
Walaupun di luar senyam-senyum, Raisa tetap merasa sangat sedih karena baru saja kehilangan. Apalagi ketika melihat sosial media Ardan, sudah ada beberapa foto pernikahan Ardan dengan istrinya. Raisa sangat iri, namun tidak bisa melakukan apa-apa.
Yang bisa Raisa lakukan adalah melepaskan semua kenangan yang ada di kamarnya. Menanggalkan semua bingkai foto yang harusnya sudah dia buang ketika Ardan memutuskannya waktu itu. Langkah move on akan dimulai saat ini. Karena bagi Raisa, tidak ada yang bisa dikenang dan disimpan.
"Dulu, gue bucin banget sama Ardan. Sampai-sampai, gue selalu menjaga jarak dengan cowok yang mencoba dekati gue. Sekarang? Ardan bahkan membuat semua orang menghilang dari sisi gue. Enggak ada yang dekat dan mencoba untuk pedekate kaya dulu. Padahal, disaat seperti ini gue butuh cowok yang bisa memberikan hiburan dikala patah hati." Gerutu Raisa lalu melepaskan beberapa foto dan memasukkannya ke dalam kotak.
"Tapi, kenapa jadi kepikiran sama Garuda itu sih! Mikir apaan sih gue? Mungkin karena tadi gue baru aja ketemu sama dia," sangkal Raisa terhadap perasaannya sendiri.
Lalu, apa yang bisa Raisa lakukan sekarang? Menunggu jodoh? Mungkin itu yang terbaik untuknya saat ini.
###