Setelah hari itu, Raisa tidak pernah berhubungan dengan Ardan. Apalagi ayah tidak banyak bertanya setelah memergoki Raisa dengan Ardan. Tak ada yang tahu tentang kejadian itu karena ayah memilih untuk diam. Bahkan setiap kali bunda bertanya pada ayah, mengapa Raisa sering di rumah—ayah tidak menjawab. Jika biasanya Raisa akan marah-marah atau uring-uringan sendiri, untuk beberapa hari ini rumah adem ayem.
Raisa juga tidak keluar rumah atau melakukan bimbingan, dia sudah membolos bimbingan karena sedang tidak mood. Lagipula Raisa malas jika pembahasan hanya sampai kepada dua kakak tingkatnya yang lamban itu. Lebih baik menyiksa dirinya di kamar dengan menonton drama Korea yang selalu Riri tonton. Jika biasanya Raisa anti dengan Korea, beberapa hari ini Raisa merasa jika drama Korea cocok dengan apa yang dirasakannya.
Helaan napasnya terdengar kasar, matanya menatap sebuah kotak hadiah di atas meja. Itu hadiah yang akan dibawanya untuk pernikahan Ardan. Laki-laki itu memberikannya undangan pernikahan beberapa hari lalu lewat temannya. Raisa malas datang, namun tidak sopan karena sudah diundang. Apalagi ayah selalu bilang, jika diundang seseorang harus diusahakan untuk datang.
Tetapi, datang ke pernikahan mantan itu juga bukan hal yang seharusnya dilakukan. Jika kebanyakan orang akan datang untuk memperlihatkan ketegaran kepada sang mantan atau tentang move on yang berhasil. Namun, Raisa sama sekali tidak ingin memperlihatkan apapun di depan Ardan. Dia tidak sekuat itu, dia juga tidak segampang itu untuk move on. Hubungan mereka sudah lima tahun lebih sedikit, bagaimana bisa Raisa lupa dalam waktu singkat?
Raisa menarik handuknya lalu pergi ke kamar mandi. Cukup lama Raisa membersihkan dirinya, setelah itu kembali ke dalam kamar, menatap lemari pakaiannya yang lumayan penuh. Tidak ada yang cocok dan bagus untuk dibawa ke pesta pernikahan Ardan, menurut Raisa. Semua baju yang dimilikinya juga sudah pernah digunakannya. Raisa kembali menutup pintu lemarinya lalu duduk di atas ranjang.
"Enggak ada yang bagus," gerutu Raisa dengan wajah kesal.
Ketukan pintu terdengar dari luar, suara bunda menyapa telinganya. Sebenarnya Raisa malas untuk membuka pintu, namun Raisa tidak mau ayah turun tangan untuk memintanya membuka pintu. Dengan langkah malas, Raisa membuka pintu kamarnya.
Hal pertama yang berhasil dipandang matanya adalah sebuah kebaya yang bewarna merah muda. Kebaya model terbaru yang begitu kalem. Raut wajah Raisa berubah bahagia.
"Makasih Bunda," ucap Raisa yang langsung memeluk bundanya.
Bunda hanya tersenyum, "iya sayang, sama-sama. Makasih juga sama Ayah. Ayah yang minta Bunda untuk beli kebaya baru untuk kamu. Katanya, Ayah mau ngantar ke tempat Ardan. Mau enggak?"
Raisa melirik ayah yang sedang duduk di lantai bawah sambil menyesap kopinya. Beruntungnya punya ayah yang pengertian dan sayang padanya. Raisa tersenyum, merasa tersentuh sekaligus malu dengan perlakuan ayah padanya.
"Boleh, Raisa ganti baju sebentar. Bilang sama Ayah, Raisa minta maaf dan terima kasih untuk bajunya. Raisa enggak akan bikin kecewa Ayah," ucap Raisa yang membuat kerutan di kening bunda.
"Banyak salah sih," sindir Radit yang tidak tahu apa-apa tapi ikut-ikutan menghakimi.
Raisa melepas sandal bulunya lalu melemparnya kepada Radit, namun laki-laki itu bisa menghindar dengan baik.
"Untung sudah biasa diperlakukan seperti ini. Makanya Tuan putriku yang jelek, triknya diganti dengan lebih modern," ucap Radit yang hampir saja terkena lemparan gantungan kunci yang hendak Raisa lemparkan.
Bunda hanya menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap kedua anaknya yang sudah mulai dewasa namun tidak pernah berhenti bertengkar.
Raisa masuk ke dalam kamar setelah bunda meninggalkan kamarnya. Tanpa basa-basi, Raisa langsung mengenakan kebaya barunya dan melihatnya di depan cermin. Kebaya ini memang pas sekali dengannya. Terlihat sangat cocok dan membuat kulitnya begitu bersih. Make up tipis digunakan di wajahnya dan aroma parfum yang paling Raisa suka pun menjadi pelengkap penampilannya siang ini.
Setelah siap, Raisa menuruni anak tangga untuk menghampiri ayah, bunda, dan Radit yang tengah asik memakan roti pisang yang baru saja dibuatkan oleh mbak Lia.
"Mau kondangan apa mau belajar santet sih? Baunya kaya kuburan," ketus Radit yang menutup lubang hidungnya. Pasalnya Radit tidak pernah suka aroma parfum Raisa yang satu ini.
Raisa menoyor kepala Radit dari belakang, "sembarangan! Ini aroma parfum paling enak dan mahal. Kamu aja yang enggak bisa mencium aroma yang menenangkan dan elegan seperti ini."
Radit mendorong pelan Raisa agar menjauh dari dirinya, "minggir sana! Tunggu di mobil aja, jangan ganggu napsu makanku."
Raisa mendengus kesal lalu berjalan keluar, menunggu ayah yang sedang bersiap-siap. Raisa menatap mobil baru yang kemarin datang. Katanya, ayah sudah ingin ganti mobil sejak beberapa bulan lalu. Tetapi baru kesampaian sekarang karena uang tabungan selalu terpakai untuk ini dan itu.
Tidak lama kemudian ayah keluar lalu membuka mobil dan duduk di jok pengemudi. Raisa pun ikut membuka mobil ayah dan duduk disamping ayah. Setelah siap, ayah menstater mobilnya dan siap untuk berangkat. Jalanan cukup sepi karena siang hari.
Tidak ada yang bicara sama sekali, jadi mobil terasa senyap. Raisa juga tidak berani menatap ayah karena takut jika tidak dijawab oleh Ayah. Matanya hanya fokus pada jalanan. Bahkan saking tegangnya, Raisa tidak berani untuk membuka ponselnya yang sejak tadi berdering.
"Dibuka aja, siapa tahu penting. Ayah cuma nganterin kamu, bukan mau mengekang kamu. Selama ini Ayah cuma berusaha menjaga kamu dan Radit. Kalau memang kamu merasa terganggu, bilang saja. Ayah bukan orang tua yang kolot yang selalu merasa benar. Walaupun orang tua, Ayah juga manusia." Ucap ayah tanpa menatap Raisa.
Raisa mengangguk, "kenapa Ayah enggak marah sama Raisa? Raisa udah bohongin Ayah."
Ayah menghentikan mobilnya ketika berada di lampu merah dan menatap Raisa yang juga sedang menatap ayah.
"Ayah tidak punya hak untuk marah atau merasa kecewa. Mungkin, cara Ayah mendidik kamu yang salah. Tindakan anak 'kan tergantung dari didikan orang tua. Ayah berharap menjadi orang tua yang tidak gagal dalam mendidik kalian berdua. Tetapi, Ayah tidak tahu betul apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak Ayah. Karena kalian berdua sudah beranjang dewasa," jawab ayah lalu kembali fokus dengan jalanan.
"Ah iya, satu lagi. Jika memang ada yang serius sama kamu dan bilang sama Ayah secara langsung, pasti akan Ayah pertimbangkan." Ucap ayah kepada Raisa yang hanya mengangguk.
Akhirnya setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka sampai di gedung yang digunakan Ardan dan istrinya menggelar pernikahan. Raisa memantapkan hatinya meskipun rasanya tidak karuan. Matanya bahkan sudah memerah, namun Raisa berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap tegar.
Kehadiran Raisa di sana menjadi sebuah tontonan tersendiri untuk beberapa orang yang mengenal dan menyaksikan kisah Raisa bersama dengan Ardan. Beberapa teman Ardan pun hanya tersenyum ke arah Raisa—seperti memberikan semangat dalam diam. Raisa berjalan mendekat ke buku tamu lalu menuliskan namanya di sana dan menyerahkan kado yang dibawanya.
Beberapa teman Ardan yang hendak mendekat ke arah Raisa, mengurungkan niat mereka karena melihat ayah berjalan di belakang Raisa sambil memasang wajah sangar. Ayah tidak mau ada orang yang mendekati Raisa hanya untuk memberikan kalimat menenangkan yang sebenarnya palsu.
"Yah, Raisa mau langsung naik ke pelaminan aja. Habis itu langsung pulang aja," lirih Raisa yang sudah tidak bisa menahan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya.
Bagaimana tidak? Melihat orang yang kita cintai berdiri di pelaminan, tapi tidak bersama dengan kita. Lalu, bagaimana rasanya? Sangat sakit!
Ayah tidak menjawab apa-apa, hanya mengikuti Raisa yang sudah mulai naik ke pelaminan, di mana Ardan dan istrinya sedang menyalami tamu yang berada di depannya. Tatapan Ardan terpaku pada Raisa yang saat ini sedang berjalan mendekat ke arahnya. Rasanya begitu sangat menyesakkan dan menyedihkan. Hubungan mereka yang baik-baik saja tergambar dengan jelas di dalam pikiran Raisa.
"Selamat menempuh hidup baru, Bang Ardan." Ucap Raisa dengan susah payah. Menggantikan sapaan 'sayang' menjadi 'bang' ternyata sangat sulit. Bahkan semalaman Raisa mencobanya agar tidak salah sebut.
Raisa beralih menyalami pengantin dari mantannya itu. Memeluknya cukup lama. Bahkan, perempuan yang menjadi istri Ardan bingung dengan perlakuan Raisa kepadanya. Sedangkan, ayah menyalami Ardan yang diam-diam menatap Raisa.
"Terima kasih sudah menjaga Raisa selama ini," ucap ayah lalu memberi senyuman tipis dan tepukan di bahu Ardan.
Ardan tersenyum pahit, "terima kasih sudah datang, Om."
Sebenarnya bukan itu yang ingin Ardan katakan. Tetapi kata lain yang begitu bermakna, seperti : terima kasih sudah memiliki putri secantik Raisa yang mampu menemaninya selama ini. Ah, atau mungkin permintaan maaf singkat, seperti : maafkan saya yang sudah melukai hati putri, Om.
Sayang, Ardan tidak mampu untuk mengatakan semua itu. Ibunya Ardan pun memeluk Raisa dengan berurai air mata. Merasa bersalah kepada Raisa yang telah kehilangan semua cintanya.
"Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik dari Ardan. Maafkan Ibu ya, Raisa." Ucap ibu Ardan tepat di telinganya ketika mereka sedang berpelukan.
Raisa mengangguk lalu buru-buru menghapus air matanya dan segera turun dari pelaminan dengan sedikit berlari. Ayah bertemu tatap dengan ibu Ardan, memberikan selamat lalu segera keluar dari gedung dan mencari putrinya.
Raisa sudah berada di dalam mobil dan sedang menangis. Ayah tidak masuk ke mobil—memilih duduk di salah satu tempat yang tidak jauh dari sana. Setelah Raisa lelah menangis dan ingin pulang, Raisa bisa melihat jika ayah berada tidak jauh dari sana.
"Ayah," panggil Raisa cukup keras dengan membuka jendela mobil.
Ayah berdiri lalu mendekat, "kenapa? Ayah masih bisa menunggu selama yang anak Ayah mau."
Raisa menggelengkan kepalanya lalu tersenyum tipis. Air matanya sudah tidak mengalir namun wajahnya masih memerah. Ayah berjalan memutar dan duduk di kursi pengemudi kembali.
"Kenapa duduk di luar?" Tanya Raisa sambil menghapus air matanya.
"Ayah cuma memberi waktu sama kamu. Siapa tahu anak Ayah enggak mau kalau dilihatin waktu nangis." Jawab ayah sambil mengelus kepala Raisa.
Raisa langsung memeluk ayah yang hendak memasang sabuk pengaman. Tangisnya pecah kembali, seakan ingin memberi tahu ayah jika dia benar-benar terluka.
"Katanya, anak selalu membuat orang tuanya sedih. Ternyata benar! Melihat kamu menangisi orang lain saja membuat Ayah sedih." Ucap ayah lalu mengelus kepala Raisa.
Raisa mengeratkan pelukannya pada ayah, "Raisa selalu bikin sedih 'kan, Yah? Ayah sering susah karena Raisa selalu disakiti sama orang. Sejak TK, Raisa selalu dimusuhi sama teman Raisa. Mereka selalu jahatin Raisa sampai Raisa sedih dan nangis. Raisa kira, setelah dewasa, enggak akan ada lagi tangisan kesedihan seperti dulu. Ternyata malah rasanya semakin parah. Raisa sedih banget, Yah."
Ayah diam lalu mengelus kepala Raisa sayang. Seorang ayah selalu saja menganggap putrinya seperti anak kecil yang perlu dijaga dengan baik. Terluka sedikit saja sudah membuatnya sedih.
###