3. KEBOHONGAN RAISA

1705 Words
Alarm ponselnya berdering dengan nyaring. Raisa mencari ponselnya yang menyelip diantara bantal dan selimutnya, lalu mematikan tombol bertulis 'mati' pada ponselnya. Suara adzan subuh berkumandang. Raisa buru-buru mengambil wudhu jika tidak mau kena semprot ayah karena bangun terlambat. Benar saja, baru beberapa menit, suara ketukan di pintu terdengar. Raisa buru-buru membuka pintu dengan rambut yang acak-acakan namun wajah sudah bersih dari ileran. Bunda tersenyum lalu segera mengajak Raisa untuk segera sholat berjamaah. Karena masjid jauh dari rumah, ayah sengaja membuatkan tempat ibadah untuk satu keluarga agar bisa sholat berjamaah. Kata ayah, supaya berkali lipat pahalanya. Setelah selesai sholat, Raisa kembali ke kamar. Sebenarnya masih sangat mengantuk karena semalaman tidak bisa tidur. Efek putus ternyata luar biasa sekali. Sekarang hidungnya juga berair, matanya merah, dan perutnya sedikit mual. Kurang tidur ternyata berefek panjang. Raisa menatap ponselnya yang sejak tadi berdering. Ada pesan dari orang yang membuatnya gelisah selama beberapa hari ini. Ardan meminta Raisa untuk bertemu dan seharian meluangkan waktu. Raisa bimbang, dia merasa jika sudah disakiti, lalu mengapa dengan ikhlas mengiyakan ajakan Ardan. Tetapi, jika menolak, apakah tidak menyesal? Raisa menimbang-nimbang, apakah perlu dia pergi bersama dengan Ardan untuk sehari ini. Setidaknya Raisa ingin tahu alasan terbesar Ardan meninggalkan dirinya. Tetapi apakah tidak apa-apa? Setelah berpikir dan tidak ingin berlarut-larut dalam pikiran negatif, Raisa akhirnya mengiyakan ajakan Ardan. Raisa juga perlu penjelasan, walaupun sebenarnya Raisa ingin sekali bertemu dengan laki-laki itu. Mereka sudah lama tidak bertemu karena LDR, mungkin inilih waktu yang tepat untuk saling terbuka tentang masalah yang mereka hadapi. Setelah membereskan kamar, mandi, dan berdandan, Raisa menatap dulu sekeliling. Berharap jika rumahnya sepi. Radit jelas berangkat ke sekolah, bunda pasti berangkat juga ke dinas, dan ayah? Apakah ayah tidak akan pergi ke kantor? Raisa masih melihat ayah duduk di meja makan dengan meminum kopi. Tapi fokus Raisa adalah pada pakaian yang ayah kenakan, mengapa ayah hanya mengenakan pakaian santai? Bukan jas kerja yang biasanya selalu tidak absen ayah kenakan. Raisa memantapkan hatinya untuk keluar dari kamar. Menyusun alasan yang tepat agar ayah tidak curiga. Jika Raisa jujur akan pergi dengan Ardan, ayah pasti tidak akan mengijinkan. "Lho, enggak ke kantor, Yah?" Tanya Raisa basa-basi. Padahal biasanya Raisa tidak terlalu peduli, bahkan jarang menyapa orang rumah. Dulu, Raisa itu suka bercanda dan orang yang ramai, sayangnya Raisa sudah banyak berubah. Mungkin umur yang mempengaruhi sikapnya. Atau memang karena Raisa sudah merasa tidak butuh orang lain. Ah, sebenarnya Raisa terlalu lelah menjadi korban bully. Dimanfaatkan orang sana-sini dan akhirnya Raisa berubah menjadi orang yang seperti saat ini. Cuek dan masa bodo dengan orang lain. Ayah menatap Raisa dari atas sampai bawah, "mau kemana? Mau pergi ke kampus? Kok tumben dandannya menor kaya mau pergi sama cowok." Skakmat. Belum apa-apa saja, ayah sudah mencium bau-bau tidak enak alias kedoknya sudah diketahui sebelum melancarkan strategi. "Iya, mau ke kampus, Yah. Ada acara gitu," jawab Raisa berbohong. Ayah mengerutkan keningnya lalu mengangguk, "ya sudah, hati-hati. Nanti malam Ayah sama Bunda ada undangan keluar kota, kamu jagain Radit di rumah. Jangan sampai adik kamu itu kebanyakan main game, bentar lagi 'kan mau ujian. Sekalian deh, kamu ajarin fisika. Radit 'kan lemah banget dalam mata pelajaran yang itu." "Masalahnya Yah, Radit kalau diajarin, malah ngajarin balik. Sok tahu gitu lho, Yah. Gimana enggak kesal coba, Raisa." Curhatnya lalu mencium punggung tangan ayah. "Kalau gitu, Raisa berangkat ya, Yah. Jangan lupa diminum obat asam lambungnya. Assalamualaikum." Pamit Raisa dengan tersenyum tidak enak. Walaupun tidak terlalu dekat dengan ayah, Raisa tidak enak jika harus membohongi ayah. Apalagi selama ini ayah selalu mengkhawatirkan dirinya dan perhatian walaupun tidak selalu diperlihatkan. "Hati-hati, walaikumsalam." Jawab ayah yang masih menatap Raisa dari belakang. Raisa berjalan cukup jauh dari rumahnya, keluar dari kompleks dan berdiri di depan gang yang tidak jauh dari rumah mbak Lia—ART yang bekerja di rumahnya. Dengan wajah gelisah, Raisa menunggu mobil Ardan datang. Sampai sepuluh menit kemudian, mobil Ardan berhenti di depannya. Raisa buru-buru masuk ke mobil Ardan. "Kenapa enggak minta dijemput depan rumah aja? Kepanasan 'kan jadinya," ucap Ardan yang hendak mengelap keringat di dahi Raisa. Namun akhirnya Raisa mengelak. "Enggak pa-pa, takut Ayah tahu aja kalau aku mau pergi sama kamu." Jawab Raisa seadanya. Ardan mengangguk, "Ayah, masih enggak suka ya sama aku?" Raisa tersenyum samar, "masih lah. Apalagi tahu kalau anaknya udah dibuang gitu aja sama kamu. Aku heran, kenapa secepat itu kamu berubah. Padahal aku udah berusaha untuk membuat kamu dan Ayah dekat. Tapi kamu yang malah berubah. Enggak konsisten sama apa yang dulu kamu bilang." "Iya, aku minta maaf." Ucap Ardan dengan wajah kecewa. "Aku enggak bisa menolak ketika atasanku yang sudah baik sekali sama aku selama ini, meminta aku untuk menikahi putrinya. Ibu juga setuju karena aku banyak utang budi sama keluarga mereka. Jadi, aku enggak bisa untuk menolak." Sambung Ardan dengan nada tidak enak. Raisa menghela napas panjang lalu mengalihkan pandangan matanya. Sebenarnya Raisa masih sangat cinta pada Ardan. Rasanya akan sulit jika untuk sekedar move on dari Ardan dalam waktu dekat ini. "Kamu boleh marah, karena aku juga salah sama kamu. Kamu yang selama ini menemani aku dari nol, harusnya kamu yang menikmati hasilnya. Aku benar-benar terlihat seperti kacang yang lupa pada kulitnya," ucap Ardan kepada Raisa. Raisa tidak banyak bicara, bahkan menanggapi ucapan Ardan pun tidak. Perempuan itu hanya diam dan diam. Sesekali menatap area luar dari balik jendela mobil Ardan. "Kita mau pergi kemana?" Hanya itu yang Raisa tanyakan kepada Ardan. Tidak ada satupun penjelasan yang Ardan katakan, ditanggapi oleh Raisa. "Ke pantai," jawab Ardan cepat. Raisa menoleh, "kamu 'kan tahu, aku enggak suka ke pantai, laut, atau di manapun yang banyak airnya." "Iya, aku tahu. Tapi aku mau ngajak kamu jalan-jalan doang. Enggak usah dekat-dekat deh, dari jauh juga enggak pa-pa. Aku cuma mau menenangkan diri aja," jawab Ardan. Raisa tidak menyaut, wajahnya berubah kesal. Namun, untuk apa dirinya kesal. Toh, Raisa sendiri yang setuju untuk pergi dengan Ardan. Sampai bohong pada ayah pula. Jujur, Raisa sedikit menyesal, namun sudah terlanjur. Nanti, jika sampai rumah, dia akan sungkem pada ayahnya—seperti lebaran. Ardan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, lalu berhenti di depan sebuah minimarket. Raisa tidak bertanya, tidak turun, tidak melakukan apapun. Intinya, terserah apa yang Ardan lakukan. Sesekali Raisa melihat mobil atau motor yang berlalu-lalang di jalanan. Mereka juga akan pergi ke pantai, kah? Mengapa semua orang suka pantai? Menenangkan pikiran, foto shoot, foto prewedding, dan apalah itu, kenapa selalu memilih pantai? Raisa tidak suka pantai, sejak kecil dia memiliki trauma mendalam tentang tempat penuh dengan air itu. Raisa juga tidak suka lautan—makanya anti naik kapal atau apapun yang berhubungan dengan lautan lepas. Raisa hanya menyesalkan, mengapa Ardan tidak paham juga, jika Raisa takut dengan laut, takut tenggelam, takut dengan semua hal yang ada di sana. Tidak lama kemudian, Ardan kembali dengan membawa plastik berlogo minimarket itu. Ardan membeli beberapa makanan ringan dan juga air mineral dingin. Ada juga s**u kotak yang Raisa suka. "Minum, Yang." Ucap Ardan tanpa sadar. "Yang?" Ulang Raisa pada panggilan Ardan kepadanya. Ardan terdiam, merutuki kebodohan yang sudah dia lakukan. "Maksud aku, Raisa. Minum, Ra." Raisa tersenyum masam, "oh, salah ternyata. Aku kira kamu masih mau memakai sapaan itu untuk aku." "Maafin aku ya," ucap Ardan yang kali ini memegang tangan Raisa. Terasa hangat, masih sama, dan Raisa juga merasakan masih memiliki Ardan seperti dulu. Perempuan selalu begitu, mudah sekali memaafkan walaupun sudah disakiti sampai parah. Raisa sangat merasa bersalah karena pergi dengan Ardan. Padahal dia tahu, Ardan milik orang lain. Tapi, orang lain itu juga sudah membuatnya kehilangan Ardan. Tidak tahukah perempuan itu, bagaimana sulitnya menemani seseorang itu sampai sukses. Ah, giliran sukses, dirinya yang ditinggalkan begitu saja. Jika masalah utang budi, apakah Ardan tidak memiliki rasa utang budi sama sekali dengannya, misalkan. Apakah waktu yang terbuang untuk Ardan selama ini tidak penting dan bukan sebuah hal yang bisa menjadi alasan untuk tetap bertahan? Raisa menarik tangannya yang digenggam oleh Ardan. Matanya memanas, jika menangis adalah jalan satu-satunya maka akan Raisa lakukan. Ardan menatap Raisa yang sudah menunduk, siap untuk segera menangis. Namun, pandangan matanya teralihkan pada sebuah mobil hitam yang terparkir di depan mobil Ardan. Raisa membulatkan matanya ketika melihat ayah keluar dari mobil dan berdiri di depan mobil Ardan. Raisa menelan salivanya susah payah dan menggigit bibir bawahnya. Ardan belum sadar juga dengan perubahan sikap Raisa. "Ayah," lirih Raisa yang memberikan kode kepada Ardan jika ayah ada di depan mereka. Ardan mengerutkan keningnya, bingung. Raisa memilih untuk keluar dari mobil Ardan sebelum ayah akan lebih marah lagi padanya. Walaupun ayah jarang marah, apalagi padanya. Tapi dia sudah ketahuan berbohong pada ayah. Setelah Raisa membuka pintu, Ardan baru sadar jika ayah sudah berdiri di depan mobilnya. "Mau pergi kemana?" Tanya ayah menatap Raisa dengan wajah yang kecewa—Raisa tahu itu. Raisa menggigit bibir bawahnya lalu menatap ayah, "maafin Raisa udah bohong sama Ayah. Raisa enggak bermaksud, Yah." Ardan keluar dari mobilnya dan menatap ayah yang berdiri di depan mereka. Seperti sedang tertangkap basah, Ardan hanya diam lalu menunduk. "Ardan," panggil ayah dengan intonasi biasa saja. Sudah Raisa jelaskan, jika ayah tidak pernah marah apalagi menggunakan nada tinggi jika tidak ada masalah besar. Ardan mengangkat kepalanya dan menatap ayah, "iya Om, saya minta maaf karena sudah mengajak Raisa pergi tanpa pamit. Harusnya saya datang ke rumah dan meminta ijin sama Om." "Saya tidak mempermasalahkan hal itu, tapi saya hanya ingin bertanya satu hal kepada kamu." Ucap ayah yang membuat Ardan dan Raisa saling pandang, mereka penasaran. "Apa kamu bisa memberikan sebuah keputusan untuk putri saya? Sebuah keputusan tentang kepastian, mau dibawa kemana hubungan kalian? Saya tidak mau satu orang pun menyakiti putri saya, termasuk kamu." Sambung ayah dengan tegas. Ardan terdiam cukup lama, mana mungkin Ardan bisa memberikan sebuah keputusan tentang hubungan. Toh, Ardan sudah memutuskan Raisa beberapa hari lalu. "Ayah enggak pernah memaksa kamu untuk berhubungan dengan siapa saja. Ayah tidak pernah melarang anak Ayah untuk jatuh cinta, karena itu kodrat setiap manusia. Tapi Ayah selalu mengajarkan anak-anak Ayah untuk menggunakan logikanya. Jika tidak serius, tinggalkan." Tandas ayah lalu berjalan menuju mobilnya. Raisa menatap Ardan sebentar lalu berjalan mengikuti ayah yang sudah masuk ke dalam mobil. Lalu ayah melajukan mobilnya meninggalkan Ardan di sana. Raisa takut—takut ayah marah. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD