2. CALON SUAMI?

1711 Words
Suasana cafe semakin ramai dan dipenuhi oleh anak-anak muda yang sedang nongkrong atau mengerjakan tugas. Beberapa ada yang duduk di pojokan sambil pegangan tangan—pasangan muda-mudi yang sedang romantis-romantisnya. Raisa baru saja masuk ke cafe kembali setelah melaksanakan sholat magrib di mushola belakang. Meskipun pergi kemana pun, Raisa tidak pernah melupakan atau melalaikan sholat. Mungkin karena sudah terbiasa sejak kecil. Ayah selalu berpesan dan mengabsen kedua anaknya tentang ibadah. Radit yang paling dikerasi soal agama, kata ayah persiapan untuk masa depan. Radit walaupun lahirnya belakangan, tapi tetap imam atau pemimpin. Itu yang selalu ayah tekankan setiap kali mereka duduk bersama di teras dan saling bertukar pikiran. Ayah juga bukan ayah yang kaku dan otoriter. Ayah adalah teman versi orang tua yang mengajari anaknya dengan memberikan contoh nyata. Kembali dengan aktivitas Raisa yang saat ini baru saja masuk kembali ke cafe. Sebenarnya Raisa tidak hanya datang untuk curhat masalahnya saja, namun ingin membahas tentang skripsi mereka. Walaupun nyatanya Raisa sedang malas sekali. Apalagi karena penelitian payung ini, semua menjadi lambat. Apalagi kedua kakak tingkatnya yang sok itu. Mereka menghambat semuanya. Raisa menatap Puput yang sedang sibuk mengetik di laptopnya, Riri juga sedang membaca beberapa jurnal berbahasa Inggris yang membuat Raisa malas untuk melihatnya. Dia memilih untuk mendekat ke arah meja pemesanan—memesan s**u kocok tidak buruk juga. "Kalian kenapa serius banget, sih? Gue lagi benar-benar enggak bisa fokus sama pekerjaan apapun. Gue selalu kepikiran tentang Ardan terus. Padahal 'kan, dia udah mutusin gue dan bilang mau nikah. Bukannya seharusnya gue cepat-cepat buat move on, ya." Lirih Raisa lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Puput melepaskan kacamatanya lalu menatap ke arah Raisa, "udah dong, jangan galau terus. Tapi, memang susah sih kalau mau move on. Lo sama dia 'kan udah lama juga, gue enggak bisa bantu apa-apa selain nemenin Lo di sini." Raisa tersenyum tipis, "gue enggak tahu kenapa rasanya bakalan sesakit dan se-aneh ini. Gue sebelumnya enggak mikirin tentang putus dan move on. Siapa sih yang bakalan nyangka kalau hubungan gue yang udah lama ternyata bakalan kandas gitu aja." Puput mengangguk, sedangkan Riri tidak banyak berkomentar karena mulutnya penuh dengan makanan. Mereka kembali terdiam karena memang bingung ingin memberi nasehat atau kata-kata mutiara seperti apa yang sering sahabat lain berikan kepada sahabatnya yang sedang patah hati. Kisah percintaan Puput dan Riri hanya berskala nol alias tidak ada pengalaman sama sekali. Puput dan Riri memang belum pernah pacaran. Mereka bukan hanya ingin fokus pada pendidikan, namun mereka juga tidak bisa bergaul dengan lawan jenis dengan baik. Puput langsung overprotektif ketika sedang pendekatan. Sedangkan Riri, sudah membuat ilfeel ketika awal pertemuan. Jadi, intinya mereka tidak akan bisa memberikan wejangan tentang percintaan. Maka dari itu, Puput maupun Riri hanya mendengarkan semua keluhan Raisa walaupun tidak bisa melakukan banyak hal. Raisa kembali menatap ponselnya, ada pesan dari Radit yang sejak tadi bilang akan berangkat dari rumah temannya namun sampai sekarang belum datang juga. Sejak awal Raisa melihat ponselnya pun, Radit masih online chat terus. Mungkin, Raisa akan mencak-mencak setelah adik laki-lakinya itu datang. "Hai," sapa seseorang yang tidak mereka kenal. Seorang laki-laki dengan seragam doreng sedang berdiri di depannya. Raisa tidak menanggapi—seperti biasanya. Jika dulu Raisa diam untuk menjaga perasaan Ardan. Berbeda lagi dengan saat ini. Raisa diam karena memang malas berinteraksi dengan makhluk manapun. Riri tampak tidak berkedip, seperti melihat harta karun mahal yang disajikan di depan matanya. Puput pun sama, matanya tidak teralihkan dari wajah tentara ganteng itu. Ada juga beberapa perempuan yang menatap kagum pada tentara itu. Bagaimana tidak mempesona? Ada seorang laki-laki yang menggunakan pakaian berbeda di kalangan mereka. Seragam doreng lengkap, dengan sepatu yang besar, cetakan otot di kedua lengannya, kulit kehitaman dan sedikit kusam, bentuk wajah yang menarik dengan senyuman manis. Katanya, model laki-laki seperti ini adalah idaman perempuan. Kata perempuan disebelah Raisa sih namanya, macho. "Ini benar-benar oppa tapi lokal punya. Aku sering nonton kejadian kaya gini di drama Korea. Aduh, aku mana kuat ngelihat yang bening dan kuat kaya gini. Kamu ibaratnya nih, Yoo Si-Jin atau Ri Jung Hyuk dalam drama Korea, tapi ini versi Indonesia. Astaga kenapa bisa begitu sih," heboh Riri menarik perhatian beberapa pengunjung yang lain. Raisa menyenggol lengan Riri agar tidak membuatnya malu. Untuk Raisa sendiri, laki-laki di depannya ini tidak sepenuhnya ganteng. Memang, untuk ukuran tentara, laki-laki di depannya ini masuk dalam golongan lumayan. Namun, tetap saja Ardan yang paling tampan di hatinya. "Apa, kamu sudah punya calon suami? Atau sudah bersuami?" Tanya tentara itu dengan to the point. Tidak ada basa-basi tentang perkenalan yang sering sekali dilakukan oleh laki-laki diluaran sana. Baru saja Raisa hendak menjawab, Puput juga menyautnya lebih dulu dengan wajah yang berbinar. "Belum! Baru juga diputusin sama pacarnya," jawab Puput dengan polosnya. Raisa menghela napas panjang lalu Riri menepuk dahinya pelan. Puput jika sudah mulai lemot, pasti semua bakalan ribet. Raisa ingin sekali marah dan mencubit sahabatnya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah begitu dari lahir, juga. "Saya ingin mengajak kamu untuk menikah. Saya jatuh cinta setelah melihat kamu baru saja. Hati saya bilang yakin, itu artinya saya bisa serius dengan perempuan." Ucap tentara itu dengan sungguh-sungguh. Raisa tertawa hambar meskipun beberapa orang sudah membuka mulutnya tidak percaya. Jangankan orang lain, Raisa saja tidak bisa percaya hal itu. "Gue enggak suka bercanda tentang hal seperti ini. Walaupun teman gue bilang kalau gue habis putus, sama sekali enggak ada artinya semua ucapan sama gombalan Lo. Atau sekarang Lo sedang melakukan semacam prank, seperti yang sedang viral di media sosial. Memangnya gue akan langsung suka, hanya karena Lo berseragam? No!" Jelas Raisa panjang kali lebar. Raisa mengambil tasnya dan segera keluar dari cafe meninggalkan Riri dan Puput tanpa pamit. Perempuan itu tidak ingin berada di cafe karena suasananya semakin rumit. Tentara itu masih mengikuti Raisa dari belakang, terus memintanya untuk mendengarkan penjelasannya. Tetapi Raisa tidak mau peduli. "Tolong, saya mau bicara." Ucapnya setelah melihat Raisa yang tengah menunggu seseorang. "Saya serius, saya bisa bertanggung jawab atas apa yang sudah saya ucapkan. Saya serius ingin menikah dengan kamu dan menjadikan kamu halal untuk saya." Ucap tentara itu yang terdengar sedikit menyeramkan. "Lo sinting? Kita baru melihat satu sama lain belum ada satu jam. Masa iya, jatuh cinta secepat itu? Dunia enggak se-indah dunia dongeng dan apapun alasan Lo, gue enggak akan baper dan merasa melambung hanya karena gue baru aja di prank atau digombalin sama tentara," ketus Raisa yang kembali mengecek pesan dari Radit. Jika sampai Radit tidak datang juga, Raisa akan nekat untuk berjalan kaki saja. Tidak peduli dengan apapun resikonya. Dia tidak suka berdekatan dengan laki-laki disampingnya ini. "Nama saya Garuda," laki-laki itu sibuk mengoceh, bahkan untuk saat ini—memperkenalkan diri sendiri kepada Raisa. "Garuda? Garuda Pancasila," sindir Raisa dengan wajah kesal. Pasalnya dia tidak mengenal laki-laki ini dan dengan percaya diri—membicarakan tentang calon suami atau suami. Ini sama sekali tidak lucu, bahkan cenderung menyebalkan. Apalagi Raisa baru saja patah hati dengan Ardan. Laki-laki bernama Garuda itu hanya tersenyum kalem, membalas semua perlakuan Raisa kepadanya. Tidak ada wajah kecewa, marah, apalagi sangar. "Orang tua saya memang terinspirasi dari Pancasila—lima dasar apabila diamalkan akan menjadikan seorang manusia yang insyaallah luar biasa." Jawab Garuda menjelaskan. Tidak lama kemudian sebuah mobil hitam memasuki halaman depan dari cafe di mana Raisa dan Garuda sedang berdiri di sana. Radit turun dari mobil, belum sempat bicara apapun, Raisa buru-buru masuk ke dalam mobil. Radit dan Garuda saling pandang, melihat sikap Raisa yang tampak sangat kesal. Garuda mendekat ke arah Radit yang menggerutu tentang sikap sang kakak yang seenaknya sendiri. Raisa mendengus kesal ketika tidak melihat Radit berjalan mendekat ke mobil mereka. Adiknya itu malah sedang berbincang dengan Garuda—tentara gila, panggilan Raisa yang ngawur. Raisa membuka kaca jendela mobilnya, "Raditttttt... Mau pulang! Lama banget sih!" Radit menghela napas panjang lalu mengangguk. Tidak lama kemudian, Radit masuk ke jok pengemudi. Dia melirik Raisa yang anteng dengan ponselnya. "Ngomong apa aja dia sama kamu?" Tanya Raisa penasaran setelah Radit mengemudikan mobilnya. Radit sedikit berpikir, "memangnya kenapa? Tuan putri kepo banget, deh." Raisa mendengus sebal, tidak jadi melanjutkan ucapannya. Matanya memanas rasanya, awalnya Raisa bisa merasa terhibur dengan adanya Riri dan Puput, namun setelah itu, semua terasa pedih. Bersama dengan orang lain memang bisa sedikit melupakan kesedihannya, tetapi tiba-tiba, sedih itu datang lagi. Radit fokus dengan jalan dan Raisa tidak mungkin bercerita masalah percintaan pada adiknya itu. Selain tidak ada manfaatnya, Radit tidak akan menenangkannya. Biasanya, Radit malah meledeknya terus dan akhirnya Raisa kesal sendiri. Untuk kali ini, Raisa akan memendam semuanya sendiri. Sesekali Raisa memainkan ponselnya, mengirim pesan meminta maaf kepada Riri dan Puput karena sudah pulang duluan. "Kok berhenti?" Tanya Raisa ketika tanpa sadar mobil mereka telah berhenti di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. "Mau beli kaos dulu, Tuan putri. Walaupun supir, harus kelihatan keren." Sindir Radit karena sejak tadi diperlakukan tidak ubahnya seorang supir pribadi. Sudah berapa kali Radit terkena amukan Raisa? Disuruh antar dan jemput seenaknya, duduk di belakang pula. Benar-benar seperti seorang supir. "Mau ikut," ucap Raisa yang ikutan turun dari mobil. Perempuan itu langsung berjalan menyamai langkah Radit. "Nanti pulangnya beli martabak di depan gang itu ya, Dit." Pinta Raisa kepada Radit yang sedang sibuk memilih kaos yang dia mau. "Hm," dehem Radit tidak terlalu mendengarkan ocehan Raisa. Padahal Radit paling tidak suka, jika belanja bersama dengan Raisa. Kakaknya itu akan banyak bertanya dan banyak maunya. Setelah semua beres, Radit membayar belanjaannya dan mengajak Raisa untuk pulang. Untunglah martabak di depan gang sedang tutup sehingga Radit tidak perlu menunggu Raisa membeli makanan. Badannya saja sudah pegal, besok ada ulangan fisika pula. Semakin lengkap penderitaan Radit seharian ini. Raisa masuk ke rumah terlebih dahulu, meninggalkan Radit yang sedang memasukkan mobil ke garasi. Ada ayah dan bunda yang masih belum tidur sedang menonton televisi di ruang keluarga. Raisa tidak bicara apa-apa, hanya langsung menaiki anak tangga. Radit menatap bingung ke arah ayah yang sedang menghitung, sedangkan bunda hanya tertawa. "Ayah..." Teriak Raisa dari lantai dua kamarnya. "Siapa yang kasih tulisan kaya begini di kamar Raisa?" Tanya Raisa menatap ayah dari atas. Ayah hanya diam saja, "banting pintu sekali potong uang bulanan seratus ribu dan berlaku untuk kelipatannya." Raisa mendengus kesal lalu masuk ke kamarnya, tentunya menutup pintu dengan wajar—tanpa membanting pintu seperti biasa. ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD