1. PUTUS, ITU SAKIT!

1680 Words
Raisa turun dari ojek online dengan wajah memerah. Matanya berembun dan napasnya ngos-ngosan. Sapaan Radit—adik laki-lakinya pun sengaja Raisa abaikan. Perempuan itu terus berjalan, melewati ayah dan bunda yang sedang duduk santai di sofa ruang tamu sambil membaca koran. Dipanggil pun Raisa tidak menoleh sama sekali. Bahkan budhe Arum—yang mengurus Raisa dari kecil pun ikutan diabaikan. Biasanya Raisa memang seperti itu, tidak pernah punya wajah yang menyenangkan mungkin. Tetapi, dengan budhe Arum, biasanya Raisa lebih terbuka dan kadang sering bercerita. Pintu bertuliskan namanya menjadi objek untuk dibanting. Semua orang yang berada di rumah kaget. Ayah pun hendak mencak-mencak karena mendengar pintu kamar Raisa yang ditutup kasar. Tapi untunglah bunda yang baik hati memberi tahu ayah untuk tidak marah-marah. Karena bisa-bisa perasaan Raisa semakin kesal dan membuat perempuan itu semakin badmood. "Pintu dibanting-banting. Kalau rusak, siapa yang mau ganti? Ayah baru aja mau beli mobil baru, jadi enggak ada anggaran buat benerin pintu. Besok-besok kalau ada yang buka asuransi pintu, kayanya Ayah harus daftar." Gerutu ayah dengan wajah kesal namun masih sempat bercanda. Bunda mengelus pundak ayah lalu tersenyum, "mana ada asuransi buat pintu, Yah? Kalau ada sih, bunda mau asuransi anak." "Bunda sama Ayah, enggak jelas banget deh!" Ucap Radit yang baru saja masuk ke dalam rumah. Ayah hanya bergumam lalu kembali membaca korannya. Sedangkan bunda sudah kembali menyeruput teh manisnya yang sudah mulai dingin. "Raditttttt..." Teriak Raisa dari atas—lantai dua. Perempuan itu menatap Radit dari atas sambil membuang mainan tikus dari lantai atas ke lantai bawah. Kebetulan mainan itu tepat mengenai salah satu ART, namanya mbak Lia yang sedang memasak. Sontak mbak Lia teriak histeris—mungkin dikira tikus beneran. Suasana rumah yang tadinya tenang berubah ramai. Raisa yang merasa membuat gaduh pun tidak merasa bersalah sama sekali. Perempuan itu merengut kesal lalu kembali masuk ke dalam kamarnya. Sekali lagi, membanting pintu kamarnya. Ayah menghela napas panjang lalu menatap bunda yang tersenyum, meminta ayah untuk sabar. Radit menatap ayah yang sudah memberi tatapan horor. "Bercanda doang, Ayah. Lagian Kak Raisa galak banget deh, baru haid kali ya? Heran, setiap hari kerjaannya marah-marah terus." Gerutu Radit yang mengambil duduk di depan ayah. "Siapa yang enggak marah-marah kalau kamu kerjain begitu? Mbak Lia jadi kehambat masaknya juga, semua gara-gara kamu." Ucap bunda yang malah membela Raisa. Radit merengut kesal, "Bunda selalu gitu. Radit terus yang salah, enggak masalah tikus dan lainnya, semua salah Radit." "Eh, mau apa kamu?" Ketus ayah ketika Radit ingin mengambil satu roti pisang yang masih panas karena baru saja keluar dari oven. "Makan roti, masa minta satu aja enggak boleh, Yah. Sebenarnya aku ini anak kandung bukan, sih?" Ucap Radit kesal lalu menarik tangannya kembali. "Belum cuci tangan, kamu habis ngoprek motor! Jorok, mandi dulu sana." Tegas bunda kepada Radit. "Lho, 'kan tangannya doang Bunda yang buat ngoprek motor. Enggak sebadan juga yang kotor. Nanti aja mandinya, ya? Radit malas mandi kalau jam segini," rengek Radit sambil memasang wajah melas. Mereka kembali menatap Raisa yang baru saja menuruni anak tangga dan sudah mengganti pakaiannya. Ayah melepas kacamatanya ketika anak pertamanya itu berdiri di depan mereka. "Mau kemana Tuan putri? Suka banget kelayapan kalau udah sore gini." Sindir Radit yang mendapatkan cubitan gratis dari Raisa. "Sakit Kak, ngawur banget deh. Lihat nih kuku Kakak kena kulit aku," cemberut Radit yang memperlihatkan tangannya yang sedikit terkena kuku Raisa. "Yah, Bun, mau ijin keluar bentar. Mau ketemu sama Riri dan Puput di cafe yang ada di dekat kampus. Boleh 'kan, Yah, Bun?" Tanya Raisa dengan wajah memelas. Berbeda sekali dengan wajah ketika pulang tadi—sambil membanting pintu pula. Ayah dan bunda saling pandang lalu mengangkat bahu. Seperti sedang kode-kodean tapi tidak dipahami oleh anggota keluarga yang lainnya. Radit menghela napas panjang, mencuri roti pisang yang berada di atas meja lalu memakannya bulat-bulat. Lalu sedikit membuka mulut karena kepanasan. "Biar diantar sama Radit," perintah ayah yang membuat Radit tersedak rotinya. Ayah menggeleng pelan, "kualat itu, nyolong makanan orang tua!" Radit meminum teh milik ayah sampai tandas, "cuma kecelakaan kecil, Yah. Satu doang lagian, tuh masih ada empat." "Aku bisa kok berangkat sendiri, Yah. Nanti naik ojek online kaya biasanya. Enggak usah lah diantar segala sama Radit. Bukannya membantu malah nyusahin," kesal Raisa. Radit mencebikkan bibirnya, lalu ide bagus melintas di kepalanya. Radit senyam-senyum sendiri karena ini adalah kesempatan untuk keluar ke tempat temannya dan mengambil VCD game yang baru. "Enggak pa-pa, Yah. Biar Radit yang mengantarkan Tuan putri ke cafe." Ucap Radit sumringah. Raisa merengut kesal, "ya udah, iya. Tapi awas ya kamu Dit, panggil aku Tuan putri lagi di sana. Aku sambit kamu pakai sepatuku." "Iya, Tuan putri eh Kakakku yang cantik tapi enggak pakai banget." Ucap Radit yang sudah disambut dengan sepatu Raisa. "Tunggu ya, Radit harus mandi dulu supaya bersih." Sambungnya. Raisa menggerutu kesal, sedangkan ayah dan bunda hanya saling tatap. Mereka tidak banyak bertanya dan lebih memilih untuk kembali dengan aktivitas sebelum Raisa duduk di depan mereka. "Budhe Arum, tolong saya dibikinin teh lagi. Ini bocah punya Ayahnya dihabisin," gerutu ayah ketika melihat cangkirnya kosong karena sudah diminum Radit. Raisa menatap bunda, "Bunda, Raisa putus sama Ardan." Ayah dan bunda sontak langsung menatap Raisa kaget. Mereka kenal Ardan sejak pertama kali Raisa mengajak laki-laki itu ke rumah. Tepatnya sebulan sebelum Ardan berangkat pendidikan. "Ada masalah apa memangnya? Kok sampai putus segala?" Tanya bunda penasaran. "Mau nikah katanya," lirih Raisa menahan kekesalan. Ayah melipat korannya, "ini yang Ayah takutkan dari dulu. Pacaran lama-lama, ternyata cuma berakhir sia-sia. Ayah sejak awal enggak suka sama dia, udah kelihatan bibit kere munggah bale." Tiba-tiba ungkapan ayah dengan bahasa Jawa keluar juga. Kere munggah bale jika diartikan adalah orang miskin menjadi kaya. "Raisa, Ayah sejak awal itu enggak suka bukan karena dia miskin. Kamu itu salah terka! Ayah enggak yakin aja dia bisa jagain anak Ayah. Kalau gini 'kan terbukti." Gerutu ayah yang berjalan menaiki anak tangga meninggalkan Raisa dan bunda. "Aku siap..." Teriak Radit yang tidak lama kemudian diam karena melihat ayahnya sudah tidak ada di ruang tamu. "Berangkat ya, Bunda. Assalamualaikum," pamit Raisa lalu mencium punggung tangan bunda. Raisa menunggu Radit di depan rumah, tepatnya di dekat mobil warna hitam yang akan mereka gunakan. Tidak lama kemudian Radit keluar dengan mengenakan jaket warna hitam. "Muka lecek amat deh, Kak. Katanya mau pergi." Ucap Radit yang membuka pintu mobil. Raisa tidak menanggapi, perempuan itu langsung naik ke jok belakang. Radit menoleh ke belakang dan menatap kakaknya yang duduk tanpa dosa. "Dikira aku sopir apa? Maju!" Kesal Radit kepada Raisa yang terus mengabaikannya. Radit menghela napas panjang lalu menghela napas panjang, "Bunda dulu ngidam apaan sih, punya anak kaya gini amat. Masyaallah, susah banget dikasih tahu juga." Radit mengalah, menstater mobilnya lalu melaju pelan membelah jalanan yang cukup padat karena bertepatan dengan orang-orang pulang kerja. Raisa hanya duduk anteng di belakang sambil memasang earphone dan menghidupkan lagu tanpa peduli pada Radit yang sedang konsentrasi dengan jalanan. Tidak lama kemudian Radit berhenti di depan cafe. Raisa sama sekali tidak sadar jika sudah sampai sehingga perempuan itu hanya diam. "Tuan putri, udah sampai nih!" Sindir Radit yang menarik earphone milik kakaknya. Raisa merengut kesal, "iya-iya, baru sebentar doang udah marah-marah." Radit menghela napas panjang, "idih, dari tadi yang marah-marah siapa, yang salah siapa. Udah sana turun, aku mau pergi ke rumah temanku bentar. Nanti kalau mau pulang, kirim pesan." "Hm," dehem Raisa lalu keluar dari mobil. Tidak lama kemudian Radit putar balik dan meninggalkannya sendiri. Raisa masuk ke cafe yang lumayan padat sore ini. Puput melambaikan tangan ke arahnya. Raisa langsung berjalan mendekat setelah sempat memesan minuman. "Lama banget kamu," gerutu Riri yang sudah memakan dua nasi box dan satu burger yang saat ini masih berada di tangannya. Raisa menggelengkan kepalanya, dia tidak heran—karena memang seperti ini porsi makan Riri. Raisa hanya penasaran, seberapa besar lambung Riri sampai muat menampung makanan sebanyak itu. "Iya, tadi dianter sama Radit. Terus macet deh karena barengan sama orang kantoran," gerutu Raisa. "Gue minta minum Lo dikit boleh enggak, Put? Habisnya Mas-nya belum selesai bikinin." Pinta Raisa. "Ambil aja punya gue, tinggal dikit ini." Ucap Puput. "Tadi aku minta enggak boleh," kesal Riri kepada Puput. "Masalahnya Lo enggak minta, tapi habisin." Tandas Puput. Tidak lama kemudian minumannya datang, Raisa meminum minuman yang ada di gelasnya. "Lo mau cerita apa?" Tanya Puput ketika mereka sudah cukup lama duduk di sana. Raisa sedikit bingung, "jadi, gue mau cerita. Gue diputusin Ardan, terus dia bilangnya mau nikah gitu. Padahal, gue udah nemenin dia dari nol. Apa dia lupa sama semua janji yang udah dia bilang? Apa dia enggak sadar ya, kalau selama ini gue yang selalu ada di waktu susah dan senangnya dia. Ayah sampai bilang, kalau sejak awal enggak setuju gue pacaran." Riri meletakkan burgernya lalu mendekat pada Raisa dan memeluk perempuan itu. Raisa hanya memberi senyum tipis, walaupun rasanya berbeda dan terus kepikiran. "Kamu pasti dapat yang lebih baik. Siapa tahu ada cowok yang tiba-tiba datang ke rumah dan ngelamar kamu gitu. Kaya yang di TV-TV itu. Pasti romantis banget, sampai aku suka baper. Uh, jadi pengen nikah deh cepat-cepat." Ucap Riri sambil membayangkan sesuatu. Puput menoyor kepala Riri, "halu aja terus, Ri. Ingat, laki sama makanan, lebih pentingan makanan. Iya 'kan?" "Hehe, iya." Jawab Riri dengan polosnya. "Kalau gitu Lo harus cepat-cepat move on dong dari Ardan. Tapi pasti susah banget ya, apalagi kamu pacaran lama banget. Semoga aja Ardan enggak totalan deh berapa duit yang udah dikelurin buat biaya pacaran. Itu pasti banyak banget, mungkin bisa buat beli tanah." Ucap Puput. Raisa menghela napas panjang lalu kembali fokus dengan minumannya. Mana mungkin mereka akan totalan begitu? Jika selama ini, yang sering keluar uang adalah Raisa. Dulu, saat jamannya susah berapa uang yang Raisa keluarkan dari tabungannya? Tentu saja banyak sekali. Dari uang untuk makan dan jalan. Walaupun Raisa tidak akan mungkin mengungkit masalah itu. "Roda selalu berputar, tapi nyatanya enggak sama dengan roda hidup gue yang ternyata berhenti sejak lama. Gue masih suka terus sama Ardan dan dia bisa mencari yang lebih dari gue. Itu rodanya Ardan..." ###
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD