AS 02 || Pengakuan

1071 Words
Sepulang dari kantor, Anggita bergegas menuju rumah sakit. Ia sudah tak sabar untuk segera melunasi seluruh biaya rumah sakit yang menunggak. Adiknya hampir saja di usir dari rumah sakit karena tunggakan biaya pengobatannya yang belum kunjung di lunasi. Kali ini Anggita tersenyum lebar setelah melunasi seluruh tunggakan sekaligus biaya operasi adiknya. Anggita juga terlihat tenang karena sudah menyimpan deposit cukup banyak untuk biaya pengobatan adiknya nanti. Setelah menerima kuitansi, Anggita pun segera menuju kamar rawat inap adiknya, Seno. Ia berjalan menuju lift yang akan membawanya menuju lantai 5 dimana ruangan adiknya berada. Anggita masih terfokus dengan menghitung sisa uang yang masih ia miliki di tabungannya, ia tak menyadari kalau sedari tadi ia diikuti oleh seseorang yang di tugaskan oleh Edward untuk mengawasinya. Tentunya Edward tak melepaskan begitu saja seluk beluk wanita yang akan mengandung anaknya nanti. Pria itu mengikuti Anggita sampai pada sebuah kamar. Kamar 3302. Dimana terdapat seorang pria yang terbaring lemah dengan layar monitor di sisi kiri dan kanan, selang infus dan juga oksigen. Pria suruhan Edward itu mengambil beberapa foto dan video lalu ia pun pergi meninggalkan rumah sakit. Ia sempat bertanya tentang nama pasien yang berada di ruangan tersebut. Di parkiran mobil ia membuka laptopnya dan mulai meretas jaringan rumah sakit. Ia pun mengopi data tersebut ke dalam flasdisk. Kejadian sebelum perjanjian... Anggita tampak kacau setelah keluar dari ruang dokter. Tubuhnya lunglai setelah mendengar vonis dokter untuk adiknya Seno. Adiknya yang masih SMA itu di vonis gagal ginjal dan membutuhkan donor ginjal secepatnya. Tak hanya itu, Anggita juga sudah ditagih biaya pengobatan adiknya. Semua masalah bercampur jadi satu membuat kepala Anggita hampir pecah. Ia tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi untuk mengobati adiknya. Hingga pada suatu hari ia tak sengaja mendengar percakapan antara bos dan istrinya yang memperdebatkan masalah keturunan. Ia mendengar akan membayar dengan harga tinggi jika ada wanita yang ingin menyewakan rahimnya untuk mengandung keturunan Edward Sadewa. Ia pun mengajukan diri dan terjadilah kontrak tersebut. Edward membaca e-mail yang di kirim langsung oleh Hans. Ia mengelus wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Edward merasa Anggita adalah wanita baik-baik. Tak ada rekord jelek tentang wanita itu. Ia dan adiknya di tinggalkan oleh kedua orangtuanya yang bercerai. "Ayo kita pulang sayang." ucap Clara mengajak suaminya pulang. Clara menghampiri suaminya yang terlihat asik dengan pekerjaannya. "Oke kita pulang." ucap Edward lalu mematikan komputernya. Ia tak mau Clara melihat data-data pribadi milik Anggita. Clara langsung menggandeng mesra lengan suaminya dan berjalan menuju lift khusus. "Jadi kapan pegawai mu itu bertemu dokter Mike untuk diperiksa kondisi rahimnya." tanya Clara saat keduanya berada di dalam lift. "Aku belum tahu. Akan ku kabari nanti." ucap Edward dingin. "Oke baiklah. Ku harap rahimnya sehat agar bisa membantu ku mengandung anak kita." ucap Clara senang. Edward menatap istrinya garang, "Apa yang kau pikirkan tentang ini? Maksudku kenapa kau tak mau mengandung anak kita. Bukankah setiap pasangan ingin memiliki anak?" "Itu mereka bukan aku. Aku cukup memiliki mu saja, tapi untuk memiliki anak aku tak mau. Tapi jika kau bersikeras ya satu-satunya jalan yaitu menyewa rahim wanita lain yang sehat untuk menggantikan ku mengandung." Edward semakin kesal dibuatnya, "Kau egois! Demi bentuk badanmu kau tak mau mengandung." "Jangan marah sayang. Yang jelas kita akan memiliki keturunan meski bukan aku yang mengandung anak kita." ucap Clara mengecup bibir suaminya. "Jangan salahkan aku kalau nanti perasaan ku berubah." Clara tertawa, "Tak akan ku biarkan kau menyukai wanita itu. Dia hanya di bayar untuk mengandung, tidak lebih." ucap Clara tak kalah tajam. Pintu lift pun terbuka. Clara memilih pergi ke mobil meninggalkan Edward di belakang. Keduanya pulang ke rumah mereka tanpa ada pembicaraan apapun. Anggita menutup laptopnya saat melihat Seni terbangun. Ia pun segera menghampiri adiknya. "Kak... Kapan kakak datang." ucap Seno dengan suara serak. "Kakak udah datang dari tadi pas kamu tidur. Mau makan? Kakak bawa sate ayam biar bisa makan bareng kamu." Seno menganggukkan kepalanya. Anggi memencet tombol di sisi bed untuk membantu Seno duduk tegak. Ia pun menggeret meja dan mulai meletakkan menu makan Seno dan juga sebungkus sate ayam. "Humm... Ini sate ayam Mang Ujang ya. Duh udah lama aku ngga makan sate ayamnya Mang Ujang." Seno melahap sate ayam itu dan itu membuat Anggita senang. Sudah beberapa hari ini nafsu makannya jelek. Seno bahkan harus di infus karena tubuhnya lemas. Tapi hari ini nafsu makan Seno kembali berkat sate ayam kesukaannya, dan Anggita sangat bersyukur akan hal itu. "Pelan-pelan makannya. Kakak ngga akan minta." ucap Anggita sambil mengelap sudut bibir adiknya. Seno hanya tersenyum. Anggita pun melanjutkan makannya. Setelah kenyang, ia pun berbicara serius dengan adiknya. "Oiya kak aku tadi di kasih tahu perawat untuk cepet-cepet keluar dari rumah sakit." ucapnya sedih, membuat Anggita merasa lebih sedih. Ia menepuk tangan adiknya,"Kamu ngga akan kemana-mana karena kakak udah melunasi semua tunggakan dan bahkan biaya operasinya udah kakak bayar. Kamu jangan banyak pikiran apapun, cepat sehat biar bisa kembali pulang ke rumah." "Dari mana kakak dapat uang sebanyak itu?" tanya Seno tak menyangka kakaknya mendapatkan uang yang tak sedikit itu dengan kilat. Anggita tampak bingung menjelaskannya. Ia tak mungkin mengatakan kalau ia menyewakan rahimnya dengan harga yang fantastis. "Ehm... itu emm kakak dapat pinjaman dari teman, dek." Anggita salah tingkah di buatnya. Seno menatapnya tajam, kedua tangannya terlipat di d**a. "Kakak jangan bohong sama aku. Bilang yang sebenarnya atau aku ngga mau operasi." ancam Seno. Anggita makin kalang kabut, "Eh... kok gitu sih. Donor dan dananya udah siap masa kamu batal operasi sih. Jangan gitu donk, Dek." "Ya udah bilang yang sebenarnya. Kakak dapat uang dari mana?" Anggita tak berani menjawab. Ia hanya diam sambil mengucek-ucek bajunya. "Jawab Anggita Carrisa!" Anggita tersentak mendengar nada suara Seno yang mulai meninggi. Jika adiknya tengah marah, ia pasti akan menyebut nama lengkapnya, dan saat ini Seno tengah menahan marahnya. Anggita menatap takut adiknya yang menatapnya tajam. Anggita menghela nafasnya berat. Ia pun terpaksa bercerita yang sebenarnya kepada Seno. Betapa kagetnya Seno mendengar pengakuan sang kakak yang di bayar untuk mengandung anak bosnya dengan bayaran cukup tinggi. Pantas saja ia punya feeling tak enak saat Anggita mengatakan kalau seluruh biaya pengobatan sekaligus operasi sudah dilunasi. Plaaakkk Sebuah tamparan di wajah cantik Anggita membuat wanita itu terdiam. Seno menatapnya jijik, "Gue ngga pernah lihat manusia serendah loe." ucap Seno penuh penekanan. "Dek..." "Jangan panggil gue adek lagi. Gue ngga punya kakak yang korbanin harga dirinya kayak gini. Lebih baik gue mati sekarang juga dari pada lihat kakak gue menjual diri kayak gini." Anggita tak kuasa menahan tangisnya. Seno benar-benar kecewa dengan sang kakak. Keputusannya membuatnya ingin mengkahiri hidupnya. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD