AS 03 || Pindahan

1011 Words
Seno reflek menampar wajah kakaknya setelah mendengar pengakuan kakaknya. Tangannya bergetar hebat. Ini pertama kalinya ia bersikap kasar kepada sang kakak yang selama ini membiayainya. Ia benar-benar merasa bersalah. "Batalkan perjanjian itu. Lebih baik Seno mati aja Kak. Lebih baik Seno mati dari pada mengorbankan masa depan Kakak. Seno ikhlas kak, Seno ikhlas." Anggita menatapnya tajam, "Kamu ingin mati? Kenapa harus sekarang? Kenapa ngga dari dulu kamu mati. Kenapa setelah kakak berjuang agar kamu tetap bertahan hidup kamu seenaknya ingin mati!!" ucapnya emosi. Seno memeluk kakaknya. Ia menangis sambil memeluk kakaknya. "Maaf Kak. Maafin Seno. Seno cuma ngga mau kakak berbuat bodoh. Seno tahu kakak sayang Seno. Maafin Seno kak. Maaf..." Anggita membalas pelukan adiknya. "Jangan pernah bilang kamu mau mati lagi. Kalau kamu mau mati lebih baik kita mati bersama. Lebih baik kakak ikut mati dari pada di tinggal sama kamu." Seno mengangguk. "Terus perjanjiannya sampai kapan kak?" "Cuma setahun. Kakak cuma mengandung benih mereka tanpa berhubungan intim. Setelah melahirkan perjanjian kontrak berakhir." Seno mengerutkan dahinya, "Kenapa mereka butuh kakak untuk mengandung? Bukannya mereka pasangan suami istri? Harusnya istrinya lah yang mengandung." Anggita mengangkat bahunya. "Kakak ngga peduli alasan mereka berbuat seperti itu apa, yang jelas Kakak punya biaya untuk pengobatan kamu. Kakak masih ingin lihat kamu kuliah, wisuda, bekerja di perusahaan besar lalu mendampingi kamu saat kamu menikah kelak. Makanya kamu harus mau di operasi biar cepat sembuh, oke." Seno mengacungkan kedua jempolnya. "Seno sayang kakak." "Kakak jauh lebih sayang sama kamu." *** Hari ini Anggita mengambil cuti karena harus pindahan ke Apartemen yang di beri oleh Edward. Seperti permintaan bosnya, ia hanya membawa satu koper besar dan tas sedang yang berisi pakaian miliknya. Anggita menggeret sendiri barang-barangnya menuju Apartemen. Sebuah taksi online sudah menunggu di depan pagar rumahnya. Setelah semua barang di bawa, Anggita pun segera meluncur. Setibanya disana, ia bertemu dengan Thomas tangan kanan Edward yang lainnya. Thomas membantu membawakan barang-barang milik Anggi. Anggita masih belum percaya kini ia tinggal di salah satu Apartemen termewah yang ada di Kota Jakarta, yang biasanya hanya ia lihat di layar televisi dan kini ia menjadi salah satu penghuni disana. Bahkan namanya sudah tercatat sebagai pemilik salah satu Penthouse mewah di salah satu gedung Apartemen tersebut. "Heol... Daebak." ucapnya kagum dalam bahasa Korea. Kaki Anggita terasa semakin lemas saat tiba di lantai paling atas unit Apartemennya. Ia sangat berharap ia tidak pingsan saat masuk ke dalam. Lagi-lagi Anggita tak bisa menyembunyikan rasa kagum dan senangnya saat masuk ke dalam unit miliknya. Semuanya sangat ekslusif, mulai dari interiornya hingga ke hal yang paling kecil pun terlihat sangat ekslusif dan mewah. Unit yang ia tinggali itu bahkan memiliki kolam renang pribadi. Anggita tak bisa berkomentar banyak selain menggumamkan kata daebak. "Permisi Mba Anggita. Semua barang-barang sudah di simpan di kamar Mba di lantai 2." ucap Thomas setelah menyelesaikan pekerjaannya. "Oh gitu. Makasih ya." "Untuk bahan makanan di dapur, semuanya sudah tersedia di dalam kulkas." Anggita mengacungkan kedua jempolnya. "Oh iya Mba saya hampir lupa. Mungkin nanti malam Pak Edward akan datang kemari untuk mengecek keadaan Mba disini." "Oke." jawabnya singkat. "Kalau butuh sesuatu, Mba bisa tekan tombol 5 dari telepon, dan kami akan segera datang." Anggita kembali mengucapkan oke. Thomas pun pamit meninggalkan Anggita yang masih terpana. *** Anggita berada di dalam kamarnya. Sebuah kamar yang luas dengan jendela besar tepat di samping ranjang. Mulai hari ini dirinya akan menempati kamar ini dan Edward di kamar sebelah. Meski nanti mereka menikah, mereka sepakat untuk tidur terpisah. Anggita penasaran dengan kamar Edward. Apakah kamar pria itu akan lebih besar dari kamarnya atau tidak. Tak terasa waktu berjalan sangat cepat. Setelah menelpon Seno hampir satu jam untuk mengabari kepindahannya, Anggita memutuskan untuk mandi. Tubuhnya terasa gerah dan ia sudah tak sabar untuk berendam di dalam bathtube dengan busa yang melimpah. Tanpa banyak bicara, ia pun segera melucuti pakaiannya termasuk pakaian dalam. Semuanya berserakan di lantai. Ia pun menikmati sore harinya dengan berendam sambil menikmati view kota Jakarta menjelang matahari terbenam. Setelah puas berendam, Anggita pun turun dari kamarnya dengan masih mengenakan bathrobe putih yang menutupi tubuh mulusnya. Saat hampir sampai di bawah, Anggita nyaris terjatuh karena kaget melihat kemunculan Edward di sana. Kakinya tergelincir karena lantainya basah. Untungnya Edward segera menangkap tubuhnya. Tubuh keduanya sangat rapat, bahkan masing-masing bisa merasakan deru nafas. Edward segera melepaskan diri. Ia mundur selangkah dan menatap tajam ke arah Anggita yang tertunduk malu. "Kalau jalan pake mata. Dasar ceroboh." ucap Edward ketus. Anggita meremas handuknya. Ia mengangkat wajahnya, mencoba melawan tatapan Edward yang selalu tajam. "Ye... Nyalahin gue lagi. Bapak kalo nongol tuh bilang-bilang. Jangan kek setan tiba-tiba muncul. Siapa juga yang ngga kaget." gerutu Anggita. Edward semakin menatapnya tajam. "Kamu..." "Apa?! Mau marah? Silahkan. Lagian emang bener kok Bapak tiba-tiba muncul bikin saya kaget." Anggita tak gentar mendapat tatapan tajam dari bosnya itu. "Kalau kamu pikir saya tertarik sama tubuh krempeng kamu itu, kamu salah besar. Cepat ganti baju. Malas saya lihatnya." Edward memilih masuk ke sebuah ruangan. Anggita menghentakkan kakinya kesal. Ia pun pergi ke kamar dan segera mengganti pakaiannya. "Jiir... b******k. Ngehina badan gue lagi. Dia kagak tahu aja aslinya badan gue semok. Ngga kalah seksi sama badannya Hyorin Sistar. Dasar manusia es!!" gerutu Anggita sambil memakai baju tidurnya. Ia pun kembali turun dan segera menuju dapur. Perutnya sudah keroncongan. Ia jadi teringat dengan Seno. Sambil mempersiapkan makan malam, Anggita melakukan panggilan telepon dengan sang adik. "Jadi menu makan malam hari ini apa dek?" tanya Anggita sambil mengiris bahan-bahan yang akan di masak. Sebuah airpod terpasang di kedua telinganya. "Biasalah Kak. Nasi tim ayam lagi. Soalnya tadi siang makan nasi perutku jadi sakit lagi." keluh Seno. "Nah kan udah Kakak bilang juga apa. Kamu harus mau makan nasi tim atau yang lembek-lembek dari sekarang. Perutmu sensitif banget. Makanan keras dikit diare, ck dasar anak bayi." ucap Anggita sambil tertawa. "Iya deh iya... Btw Kakak udah makan malam belum?" "Ini lagi masak. Besok malam kakak temenin ya. Hari ini di temenin dulu Bima, oke." "Oke Kak. Santai aja. Kakak jangan khawatir." "Justru Kakak khawatir kalau kamu udah ngomong gitu. Pokoknya kamu harus bilang apapun yang kamu rasakan ke Kakak." "Iya siap bosque..." Kakak beradik itu asik mengobrol tanpa tahu seseorang tengah mengawasinya dari balik tembok dapur. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD