AS 04 || Rumor

1294 Words
Rangga yang berada di ruang kerjanya, beranjak keluar dari sana setelah mendengar suara berisik dari arah dapur. Saat mendekat ia melihat Anggita tengah berkutat di dapur sambil berbicara dengan seseorang di telpon. Ternyata gadis itu tengah menelpon adiknya yang tengah di rawat di sebuah rumah sakit. Edward jadi teringat kunjungannya ke rumah sakit dimana Seno dirawat. Ia ingin melihat sendiri kondisi adik dari wanita yang di kontraknya. Edward berdiri di depan kamar rawat inap Seno, dan melihat seorang laki-laki muda tampak seperti sesak nafas. Ia bergegas menghampiri dan memencet tombol memanggil tim medis. Beruntunglah Seno berhasil ditangani oleh dokter dan ia pun kembali terlelap. Tapi sebelum terlelap, ia meminta dirinya untuk tidak mengatakan apapun kepada sang Kakak. "Ya ampun... Kamu tuh bisa ngga sih ngga bikin aku jantungan terus. Ngapain berdiri di tempat yanb agak gelap. Di kirain hantu." ucap Anggita yang kembali dibuat kaget. Edward berdeham. "Kenapa kamu banyak protes. Terserah aku mau berdiri dimana saja." "Ya ya ya terserah." ucap Anggita kesal. Ia memilih duduk di meja makan. Anggita sengaja pura-pura tidak melihat Edward yang sedari tadi menatapnya. "Ngga usah lihat-lihat. Entar kepincut baru tahu rasa." ucap Anggita cuek sambil terus mengunyah makanannya. "Kegeeran. Kalo sampai aku suka wanita bar-bar kayak kamu, itu artinya dunia udah kiamat." Anggita tersenyum simpul, "Ya baguslah. Inget ya jangan pernah suka sama aku apalagi sampai ikut campur urusan pribadi aku." "Never!" Anggita mengacungkan kedua jempolnya. Edward pun memilih kembali ke ruang kerjanya. "Kamu udah makan malam belum?" tanya Anggita akhirnya menanyakan pria itu sudah makan atau belum. Ia membalikkan badannya. "Kenapa tanya-tanya." "Etdah ni manusia es ngeselin beud. Ya cuma tanya doank udah makan apa belum? Kalo belum aku udah bikin nasi goreng. Tinggal ambil sendiri di atas kompor di dapur." Anggita gregetan sama makhluk yang ketus dan sedingin es ini. "Aku ngga lapar." Anggita menghela nafas. Ia pun akhirnya mengambilkan sisa nasi goreng untuk Edward lalu menarik lengan pria itu untuk duduk di meja makan bersamanya. "Aku bilang aku ngga lapar." ucap Edward kekeuh. "Ssst... Berisik banget ah. Udah makan aja ngga usah banyak cingcong. Lagian ngga ku tagih biayanya kok." Anggita kembali ke kursinya dan mulai memakan sisa nasi gorengnya. Sedangkan Edward masih menatapnya kesal. "Di makan nasi gorengnya bukan dipelototin. Ngga akan kenyang itu perut kalo cuma di pelototin doank." "Harus habis. Awas kalo ngga habis. Di luar sana banyak orang yang susah cari makan. Ada makanan harus di habisin. Itu tandanya bersyukur." ucap Anggita sebelum Edward kembali mengutarakan protesnya. Dengan dongkol Edward pun melahap nasi goreng itu. Baru suapan pertama Edward tampak terkesima. Ia menikmati nasi goreng sederhana buatan Anggita. Saking seringnya makan diluar atau makan masakan yang di buat oleh Chef di rumahnya, ini kali pertama bagi Edward memakan masakan bukan buatan Chefnya. Meski hanya masakan sederhana, tapi Edward sangat menikmati. Bahkan ia masih menginginkannya lagi. "Ehm... Git." "Hum..." Anggita menatap Edward. "Eum itu... Eum..." Anggita tersenyum lebar. "Masih ada kok. Bapak mau tambah nasi gorengnya." ucap Anggita membuat Edward malu. Ia menggaruk kepalanya. "Kalau masih ada, mau." ucapnya malu. Anggita tertawa melihat Edward seperti itu. "Makanya jangan sok cool kayak gitu lah. Ngeselin tahu. Bentar aku ambilin lagi nasi gorengnya." ucap Anggita sambil mengambil piring milik Ed. Ed hanya diam saja melihat Anggita yang mengambilkan nasi untuknya. Clara bahkan tak melakukan seperti yang Anggita lakukan kepadanya. "Thanks." ucap Edward ketika piringnya sudah terisi kembali oleh nasi goreng. Bahkan sekarang ada dua sosis goreng di atas piringnya. Keduanya makan malam dengan tenang. *** Keesokan paginya, seperti biasa Anggita berangkat ke kantor dengan menggunakan motor maticnya. Ia sudah dandan cantik dan bersiap berangkat. Tak lupa ia membawa bekal untuk makan siang. Anggita memang harus berhemat. Meski sekarang hidupnya di tanggung oleh pria yang menyewanya, tapi tetap saja ia tidak bisa seenaknya memakai uangnya foya-foya. Ia masih harus banyak menabung untuk hidupnya dan Seno dikemudian hari. Sepertinya Edward pulang semalam. Entah jam berapa si manusia es itu pulang yang pasti pagi tadi ia tak melihat pria itu. Setelah 30 menit berkendara akhirnya Anggita pun sampai di Sadewa Corp. Anggita memarkirkan motornya di parkir motor khusus karyawan. Tak selang berapa lama, mobil mewah milik sang CEO pun tiba. Anggita tak terlalu menghiraukan siapa yang datang dan pergi. Yang jelas gadis itu asik membenahi rambutnya yang terombang-ambing oleh angin saat berkendara tadi. Dari dalam mobil Edward terus memperhatikan Anggita sampai gadis itu menghilang di dalam lift. Barulah ia turun dari dalam mobil. Ia menuju lift khusus untuk CEO yang langsung terhubung ke ruang kerjanya. "Kapan jadwal gadis itu bertemu dokter Frans?" tanya Edward kepada Thomas. "Dokter Frans sedang berada di luar negeri. Menurut asistennya, beliau akan kembali ke Indonesia akhir bulan ini." jawab Thomas. "Baiklah segera jadwalkan. Aku ingin yang terbaik agar bisa mendapatkan hasil yang terbaik pula." Thomas mengangguk. Anggita kembali berkutat dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Entah sampai kapan kerjaannya itu berkurang, tapi yang pasti ia tak boleh mengeluh. Bisa mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan swasta ternama di Jakarta saja sudah membuatnya bangga. Saking banyaknya berkas yang harus ia kerjakan, Anggita sampai lupa waktu makan siang jika tak di ajak oleh rekan kerjanya. *** Anggita dan empat orang rekannya terdiam sesaat di depan pintu lift yang terbuka. Mereka beberapa kali melirik nama lift yang terbuka itu. 'LIFT KHUSUS KARYAWAN' tertera cukup jelas di atas sana. Tapi mengapa CEO mereka bisa ada di dalam lift tersebut. Mereka di buat penasaran terutama Anggita yang sedari tadi mengerutkan dahinya. "Sampai kapan kalian berdiri di sana." ucap Edward membuat Anggita dan ke empat temannya buru-buru masuk ke dalam lift. Tak ada yang mau berdiri di depan Edward karena sang bos mengeluarkan aura yang dingin dan mencekam. "Kenapa desak-desakan? Ini bukan pasar." ucap Edward lagi melihat tak ada yang mau berdiri di depannya. Thomas menundukkan kepala dan menahan tawanya setelah melihat sorot tajam Edward. Anggita dan teman-temannya itu saling sikut untuk pindah berdiri di depan Edward. Akhirnya karena Anggita yang paling dekat, ia pun terpaksa berdiri di depan Bossnya. Anggita menggerutu dalam hati karena teman-temannya sengaja mendorong dirinya. Suasana di dalam lift tampak hening. Tak ada suara apapun padahal di dalam sana terisi enam orang. ke empat temannya saling bisik-bisik, tapi tidak dengan Anggita. Tubuhnya diam membeku karena hawa dingin di belakang tubuhnya. Saat pintu lift terbuka, ia yang keluar terlebih dahulu sambil berlari menjauh. Semua itu diperhatikan oleh Edward. Ia segera berjalan keluar dari perusahaannya untuk pulang ke rumah karena Clara mengajaknya makan siang bersama di rumah. "Loe semua pada gila ya. Gue di jadiin tumbal. Kampret emang lu semua." ucap Anggita marah. "Ya maaf Nggi. Lagian lu yang paling deket masa iya nyuruh yang jauh." "Loe ngga tahu tadi rasanya kayak gimana. Berdiri di depan si manusia es. Anjiiir beku badan gue ngga bisa gerak." ucap Anggita terkesan lebay tapi memang itu yang ia rasakan tadi. "Bos kita tuh gantengnya ngga setengah-setengah tapi dinginnya itu loh yang kebanyakan. Kejam juga duh." "Iya bener banget. Coba aja kalau dia bisa ramah dikit, pasti udah di buatin fans clubnya tuh." "Eh tapi cowok yang dingin kayak gitu, kalo di ranjang pasti hwoooot deh." ucap Kiki sambil terkekeh. "Hot dari mana? Kalo emang hot, mereka pasti udah punya banyak anak. Ini mah mana boro-boro anak, kagak hot berarti." celetuk Anggita. "Duh jadi keinget gosip nih. Loe semua pada mau gosip ngga?" ucap Kiki membuat Anggita dan yang lainnya duduk semakin merapat. "Gini ya gue ngga sengaja denger perbincangan si Bos sama istrinya. Kayaknya si Bos lagi berantem deh. Pokoknya ada sangkut pautnya sama anak deh." Sandarra memotong pembicaraan, "Ah elah kirain gosip apaan. Itu mah udah ngga aneh kali lihat atau dengar mereka berantem." "Ih dengerin dulu gue belom kelar ngomongnya." ucap Kiki kesal karena Sandarra menyerobot. "Jadi Bu Clara meminta Pak Bos mencari seorang perempuan yang bakal mereka sewa rahimnya untuk mengandung anak mereka. Gila ngga tuh." ucap Kiki membuat tubuh Anggita mendadak lemas. Ya Allah... Bagaimana bisa rencana ini bocor? ucap Anggita dalam hati. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD