Keterpaksaan

2633 Words
Di dapur, Hamida Mahardi tengah menyiapkan sarapan dibantu para pelayan. Sudah menjadi kebiasaannya setiap hari memasak makanan untuk keluarga. Padahal ada banyak pelayan yang siap ia perintah. Tapi nampaknya Hamida lebih menyayangi hobinya daripada memerintah para pelayan. "Cuci berasnya dengan benar," pinta Hamida kepada salah satu pelayan yang sibuk menghadap wastafel. "Baik nyonya besar," sahut pelayan itu dengan ramah. Hamida kemudian berjalan mengambil bumbu-bumbu yang diperlukan. Uhuk..uhuk..uhuk.. Mendengar suara batuk, Hamida menoleh ke ambang pintu. Adik iparnya, Harini Mahardi memegang dadanya. Batuknya kali ini lumayan parah sehingga menyita perhatian. "Harini, kau baik-baik saja," Hamida berjalan menghampiri adik iparnya. Ia kemudian memegang punggung Harini. "Aku baik-baik saja, uhuk..uhuk..uhukk," ucap Harini terbata. "Pelayan ambilkan air hangat," pinta Hamida. "Ayo duduk dulu," Hamida membawa Harini duduk diatas kursi dekat meja makan. Tak lama kemudian pelayan membawa gelas yang berisi air hangat untuk Harini. Setelah meletakkan gelas itu diatas meja, pelayan itu membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaannya. "Minumlah perlahan," pinta Hamida. Gluk..gluk..gluk.. Setelah merasa lebih baik, Harini meletakkan gelas itu diatas meja. "Istirahatlah di kamarmu. Aku akan panggil dokter," "Tidak kakak ipar. Aku sudah merasa lebih baik," "Kau yakin?" "Iya tentu saja," Hamida sangat menyayangi semua anggota keluarganya. Ia selalu memperhatikan makanan yang ia masak agar keluarganya mendapat gizi yang maksimal. Selama ini Hamida mengurus keluarga Mahardi dengan segala kasih sayang dan ketulusan hatinya. Ia selalu memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Setelah memastikan adik iparnya baik-baik saja, Hamida lantas berdiri dan melalanjutkan pekerjaannya. Ia kembali ke stan, memegang pisau untuk memotong sayuran. Karena sibuk, ia tidak melihat kehadiran menantunya. Siapa lagi kalau bukan Amara. Wanita itu mendekati stand ibu mertuanya. "Selamat pagi ibu," sapa Amara sambil tersenyum. Hamida menoleh ke kanan. Di hadapannya ada wanita cantik berambut panjang sedang tersenyum padanya. "Selamat pagi menantu," sahutnya dengan tersenyum. "Aku senang kau memanggilku ibu. Aku merasa mempunyai seorang putri. Terus panggil aku ibu yaaa," sambung Hamida. Gurat bahagia terpancar dari wajahnya yang mulai kriput karena usia. "Baiklah ibu," sahut Amara. Amara memperhatikan ibu mertuanya yang sibuk memotong sayur. "Ibu. Hari ini bolehkan aku membantu ibu memasak?" Tanya Amara ragu. "Kenapa tidak boleh. Tentu saja nak. Aku sangat senang karena untuk pertama kalinya aku memasak bersama menantuku," sahut Hamida. "Baiklah kalo begitu---" "Haiyaa, untuk pertama kalinya aku memerintahkan menantuku memasak nasi goreng untuk putraku Al," pinta Hamida antusias. Seketika gurat senyuman di wajah Amara sirna. Ia ragu melaksanakan perintah ibu mertuanya. Tapi sekali lagi ia berpikir, untuk pertama kalinya ibu mertuanya menyuruhnya. Lalu mengapa ia menolak? Bukankah ibu mertuanya hanya meminta hal kecil. Amara menganggukkan kepala. Sekali lagi ia dipuji ibu mertuanya. "Aku yakin masakanmu akan disukai Al," ujar Hamida lagi. Amara membalas senyuman kepada ibu mertuanya. Meskipun hatinya sendiri tidak yakin masakannya akan disukai Al. Amara sadar suaminya tidak mudah kagum pada dirinya. Ia harus bekerja keras membuat nasi goreng yang lezat. Harini memiringkan senyumnya. Dari tadi yang ia saksikan hanyalah pujian untuk Amara. Ia tidak habis pikir mengapa kakak iparnya sangat menyayangi menantunya. 'Pagi-pagi begini dia mendapat pujian. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana malam pertamanya dengan Al. Aku yakin wanita lugu itu menderita karena suaminya tidak mencintainya. Amara...Amara...,'batin Harini sambil menggelengkan kepala. Pekerjaan di dapur lebih cepat selesai. Karena bantuan Amara semua makanan matang tepat pada waktunya. Kini saatnya menyajikan sarapan diatas meja. Bersama ibu mertuanya, Amara membawa makanan ke ruang makan. Semua makanan telah tertata rapi diatas meja makan. Untuk pertama kalinya sarapan pagi ini ada beberapa macam hidangan. Sebelumnya hanya ada nasi goreng dan roti. "Berkat menantuku pekerjaan di dapur lebih cepat selesai. Aku sangat puas karena pagi-pagi begini ada banyak hidangan yang lezat. Amara dari mana kau belajar memasak hidangan selezat ini," ucap Hamida memuji masakan menantunya. Sebelum dihidangkan di atas piring, Hamida mencicipi satu persatu hidangan. "Di rumah aku biasa memasak bersama ibu dan kakak ipar. Mereka mengajariku resep-resep makanan yang sering dihidangkan dikeluargaku," terang Amara. "Waw Amara----" ucap Hamida terpotong. "Ada perbedaan antara keluargamu dan keluarga suamimu. Maafkan aku kakak ipar tapi dia harus tau cita rasa dan lidah semua orang berbeda. Masakanmu memang terlihat lezat tapi apa keluarga Mahardi menyukai makanan ini?" Sela Harini. Dari kata-katanya sudah jelas, Harini tidak menyukai apa yang dilakukan Amara. "Amara menantu di rumah ini. Perlahan ia akan beradaptasi. Menurutku apa yang dilakukan Amara sudah benar. Setidaknya ia mempunyai keinginan untuk membantu ibu mertuanya," sindir Hamida. Harini diam karena merasa tersinggung. Selama ini, Harini tidak pernah membantu kakak iparnya mengerjakam tugas rumah tangga. Ia sangat gengsi. Di rumah ini ada banyak pelayan. Untuk apa majikan bekerja di rumahnya sendiri. Harini berpikir demikian lantaran ia sendiri adalah wanita karir. Ia bekerja di perusahaan Mahardi. Jabatannya di kantor membuatnya semakin angkuh. "Lupakan saja kata-kata ku. Kau tau sendiri kan aku sangatttt bahagiaa mendapat menantu. Makanya aku tidak berhenti memujinya," timpal Hamida. "Iya kak aku mengerti," sahut Harini. Kepala keluarga sekaligus direktur perusahaan Mahardi menemui istri dan adik iparnya di meja makan. Begitu ia sampai, ia menggelengkan kepala lantaran ada banyak hidangan diatas meja. "Wah wah wah. Godaan pagi hari. Kalau aku mencicipinya satu persatu pasti aku akan terlambat meeting," ucap Lukman sambil menarik kursi ke belakang. "Kau tidak perlu khawatir, aku sudah menyiapkan bekal makan siangmu," sahut Hamida. "Baiklah istriku," "Hari ini menantu kita yang memasak semua hidangan ini," "Oh ya. Amara yang memasak semua ini?" "Tentu saja. Hari ini aku sangat senang karena memasak bersama menantuku,"sahut Hamida "Oh ya ampun sepertinya menantumu itu lebih pandai memasak," sindir Lukman. "Lihat saja. Sebagai ibu mertuanya, aku akan mengajarkan resep keluarga kepada Amara," sahut Hamida. "Terserah kau saja.Apa Al belum bangun?" "Sepertinya dia masih siap-siap di kamarnya," "Oh begitu," Lukman tidak sabar mencicipi masakan menantunya. Kebiasaan di rumah Mahardi, sebelum semua orang berkumpul maka tidak ada yang boleh mengambil hidangan. "Biar aku yang memanggil Al," usul Harini. "Iya cepat panggil Al," sahut Lukman antusias. Harini beranjak dari tempat duduknya. Sebelum melanjutkan langkahnya tiba-tiba Al terlihat menuruni anak tangga dan bergegas ke meja makan. Harini pun berhenti. "Panjang umur. Lihat kak, Al sudah datang," ucap Harini. Semua orang yang ada di ruang makan, memusatkan perhatiannya kepada Al. Pria yang mengenakan jas hitam, bawahan celana hitam rapi itu terlihat sangat berwibawa. Padahal ada Amara di sana. Rupanya Al tidak melirik istrinya sedikitpun. "Kau lama sekali. Kami sudah menunggu. Ayo kita sarapan bersama," ajak Lukman. "Maaf ayah. Aku sudah terlambat hari ini ada meeting bersama kliyen." Elak Al "Nak, ayahmu saja belum berangkat. Kenapa kau buru-buru. Cicipi dulu masakan istrimu," bujuk Hamida. Ia tidak membiarkan masakan menantunya sia-sia. "Aku harus sampai disana sebelum ayah. Paling tidak ada salah satu perwakilan di kantor untuk menyambut kliyen. Ibu tau sendiri kan perusahaan ayah selalu mementingkan keramah tamahan,"terang Al. "Al benar. Lagi pula Amara setiap hari ada di rumah kan. Dia bisa memasak untuk suaminya setiap waktu. Tapi berbeda dengan kliyen. Jika mereka telah menentukan waktu, maka tidak baik jika kita menundanya," sela Harini. Hamida sedikit kecewa dengan pernyataan putranya. Dan yang lebih parahnya lagi Harini justru membela Al. Sebenarnya hanya masalah sepele, Hamida melakukan sesuatu agar putranya mencicipi masakan menantunya. 'Aku tidak kecewa ataupun marah. Tapi entahlah kenapa aku merasa Al menghindari masakanku. Sadarlah Amara kau tau sendiri kan siapa pria yang kau nikahi.'ucap Amara dalam hati. "Baiklah kalo begitu aku permisi," ucap Al "Hati-hati dijalan nak," sahut Lukman. "Ee ibu akan mengantarmu sampai teras," pinta Hamida. Sebelum melangkah ke depan, Hamida memberikan isyarat kepada salah satu pelayan. Seakan paham pelayan itu menganggukkan kepala. Hamida tidak akan membiarkan usaha dan kerja keras menantunya sia-sia. Hamida mengisi kotak makan siang Al dengan nasi goreng buatan Amara. Ia menyuruh pelayannya membawa keluar kotak makan siang itu dari pintu samping rumah. Tujuannya agar adik iparnya tidak mengetahui aksinya. Ia tau adik iparnya tidak menyukai menantunya. Ia takut jika di kantor nanti Al tidak mencicipi masakan istrinya karena dihasut oleh Harini. Sebelum berangkat, Al menerima kotak makan dari ibunya. Ia tersenyum dan mengira bekal itu masakan ibunya. Beberapa menit kemudian, Lukman dan Harini berangkat ke kantor. Mereka berangkat dengan menaiki mobil yang dikemudikan sopir. Sementara itu Hamida kembali ke dapur untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya yaitu mrncuci piring. Ada banyak tempat makanan yang kotor. Biasanya setiap bekerja di dapur, ia dibantu para pelayannya. Baginya tidak ada derajat yang membedakan antara majikan dan pelayan. Hal inilah yang membuatnya lebih dekat dengan para pelayan di rumah ini. Hamida terkejut melihat meja makan yang sudah bersih dari piring maupun peralatan lainnya. Padahal ia hanya ke depan sebentar untuk mengantar suaminya. Tak lama kemudian ia mendapati menantunya keluar dari dapur. "Amara," panggil Hamida. "Iya ibu," sahutnya dengan ramah. "Apa yang kau lakukan di dapur?" Tanya ibu mertuanya. "Tadi aku mencuci semua peralatan makan. Aku tidak sendiri, para pelayan j--juga membantu," terang Amara gugup karena ibu mertuanya menatapnya dengan tegang. "Seharusnya kau tidak perlu melakukan pekerjaan ini. Kau tidak perlu meniru apa yang aku lakukan." "Tapi ibu, aku menantu di rumah ini. Aku punya kewajiban untuk mengurus keluarga ini," bantah Amara. Hamida akhirnya tersenyum. Ia merasa tidak salah memilih menantu. Jika wanita lain di posisi Amara, maka dia akan mencari alasan untuk menghindari pekerjaan rumah tangga. "Kau wanita berpendidikan. Tapi kau tidak gengsi melakukan tugas sebagai menantu," puji Hamida. "Tidak ada bedanya antara wanita berpendidikan dan wanita rumahan. Kodrat wanita melayani suami dan juga keluarganya. Aku sudah menganggap semua orang di rumah ini seperti keluargaku sendiri. Dan selamanya akan seperti itu bu," sahut Amara. "Semoga kau selalu bahagia. Ibu sangat bangga mempunyai menantu sepertimu," sambung Hamida. Hamida tidak habisnya memuji menantunya. Baru beberapa jam ia bersama menantunya. Tapi Amara berhasil menaklukkan hati ibu mertuanya. Hubungan ibu mertua dan menantu ini seperti hubungan seorang ibu dengan putri kandungnya. *** Setelah berbincang sejenak dengan ibu mertuanya, Amara pergi ke kamar Al. Atau kamar suaminya. Bisa dibilang kamarnya juga. Setiap kali mengingat jalan menuju kamarnya, bayangan malam pertamanya selalu muncul dalam benaknya. Malam pertama yang dihabiskan dengan perdebatan. Kali ini Amara sedikit lega karena Al sedang bekerja di kantor. Tapi bukan berarti ia bebas masuk ke kamar Al. Ia hanya ingin menata baju-bajunya di almari. Karena semalam ia belum sempat memasukkan semua pakaiannya dari koper ke dalam Almari. Ceklek. Betapa terkejutnya Amara mendapati kamar Al yang sangat berantakan. Padahal seingatnya tadi pagi masih rapi. Selimut yang suaminya gunakan tadi malam, justru berada di lantai. Almari terbuka. Ada banyak kemeja berserakan diatas kasur. Tak hanya itu puluhan dasi berjatuhan di lantai. Entah apa yang dilakukan Al sehingga kamarnya berantakan. Amara hanya geleng-geleng kepala sembari melihat sekeliling. Amara tiba-tiba ingat kata-kata Al ketika di ruang makan tadi. 《Maaf ayah. Aku sudah terlambat hari ini ada meeting bersama klayen.》 "Itu artinya Al terlambat bangun pagi. Lalu dia mencari pakaian dan dasi yang tepat. Tapi sayangnya ia kesulitan dalam menemukan pakaiannya. Dan terciptalah kapal pecah ini," ucap Amara. Sebagai seorang wanita, Amara paling risih melihat sekelilingnya berantakan. Ia kemudian mengambil kemeja dan mengembalikannya ke Almari. Tak hanya itu Amara juga menata semua dasi Al yang berserakan di lantai. Tak butuh waktu lama, kamar yang tadinya berantakan kini semua baju telah rapi di almari. Amara berpikir untuk mengubah tatanan di almari Al agar suaminya itu tidak kesulitan dalam mencari sesuatu. "Aku yakin jika semua karyawannya tau kondisi kamarnya yang sangat berantakan, tidak ada lagi yang akan menghormati pria angkuh itu," gerutu Amara. Lipatan baju yang rapi rusak karena tangan Al. Hingga Amara harus melipat ulang semua baju-baju Al. Ketika ia menarik salah satu baju Al, tiba-tiba secara tak sengaja buku bersampul coklat jatuh di atas lantai. Perhatian Amara tertuju pada buku itu. Ia mengambil buku itu. "Buku agenda Al?" Ucap Amara sembari meraba buku itu. Amara begitu penasaran dengan tulisan di buku agenda Al. Amara duduk diatas ranjang dan membaca buku itu. Al sengaja menyembunyikan buku agendanya. Di halaman pertama ada puisi yang ditulis Al. Kata-katanya begitu menyentuh hati. Selain tampan, sosok Al juga pandai membuat puisi. Di halaman kedua dan seterusnya, Al menceritakan suatu hubungannya dengan wanita lain. Dari awal bertemu hingga mereka berpisah. Dari kata-katanya saja sudah jelas Al sangat sedih berpisah dengan wanita yang ia cintai. Amara mengira Al berpisah dengan wanita itu karena Al telah dijodohkan dengannya. Tapi ternyata tidak, wanita itu yang meninggalkan Al. "Aku tidak menyangka ada yang tega menyakiti pria angkuh itu." Ucap Amara sambil membalikkan halaman selanjutnya. Tiba-tiba sebuah foto berukuran 4×4 jatuh di lantai. Amara mengambil foto itu. Dari tadi Al tidak menyebutkan nama wanita itu di dalam buku agendanya. Tapi foto yang ia pegang sudah menjelaskan nama wanita itu. "Jadi ini yang namanya Anita. Dia yang Al maksut dalam buku agenda ini," ucap Amara lagi. Entah mengapa setelah membaca buku agenda Al, ada setitik rasa cemburu di benak Amara. Apalagi kata-kata Al dalam buku agendanya sudah jelas menunjukkan bahwa ia masih mencintai wanita itu. Amara menghela nafas panjang. Baru sehari menikah tapi pernikahnnya di uji. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan Amara mengembalikan buku itu ke tempat semula agar Al tidak curiga. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak bertanya mengenai wanita itu. Ia takut Al akan marah. Amara memilih meskipun dalam hatinya bertanya-tanya. Semua pertanyaan itu berujung kecemasan dan kekhawatiran. Ketika matahari mulai menjamah senja.Satu persatu burung camar pergi.Karena langit mulai merah.Hari mulai gelap.Pemandangan ini membuat pikiran terasa segar kembali. Mobil Al terdengar berhenti di parkiran. Ia kembali pulang tepat waktu setelah seharian bekerja di kantor. Brugh... Suara pintu mobil yang ditutup dengan kasar. Al pun bergegas masuk ke dalam rumah mewahnya karena hari mulai gelap.Di setiap langkahnya ia berucap syukur bisa menikmati kehidupan yang indah.Meskipun kesibukan selalu mendesak jiwa dan raganya. Ceklek. "Selamat malam putraku," sapa Hamida yang berdiri di ruang tamu. Al tersenyum menghampiri ibunya. "Selamat malam bu," sahutnya ramah. "Bagaimana pekerjaanmu?" "Hari ini aku sangat sibuk. Aku hampir kehilangan satu proyek. Tapi semuanya sudah ku atasi," "Ibu selalu percaya, kau mampu menyelesaikan semua masalah di kantor," Al tersenyum lagi. "Oh ya bu, nasi goreng ibu sangat lezat. Biasanya ibu tidak pernah memasak selezat hari ini. Semua masakan ibu sangat lezat. Tapi hari ini aku tidak akan berhenti memuji masakan ibu," ucap Al Hamida memandang putranya sengan sayu. Ia sangat bahagia karena Al menyukai masakan istrinya. Kini waktunya Hamida mengatakan siapa yang memasak nasi goreng itu. "Putraku, bukan aku yang memasak nasi goreng itu," ucap Hamida. "Jangan berbohong bu. Aku tau---" "Amara yang memasak nasi goreng itu spesial untuk suaminya," sela Hamida. Tiba-tiba senyuman di wajah Al sirna. Begitu mendengar nama Amara, Al sepertinya tidak suka. Hamida memahami semua itu. Ia mencoba meyakinkan putranya. "Dengar! Istrimu----" "CUKUP ibu cukup! Tolong jangan puji menantumu itu. Aku tidak ingin mendengar pujian tentang Amara." potong Al sembari membalikkan badan. "Al dengarkan ibu dulu nak.. Al.." pinta Hamida. Al menaiki anak tangga yang monoton berjajar yang menghubungkan lantai satu dan dua. Kekesalan Al tidak bisa ditahan lagi. Rasanya ia muak mendengar nama istri barunya disebut. Tak terasa karena marah, ia telah sampai di depan pintu kamarnya. Ceklek.. Suara pintu dibuka begitu mengejutkan Amara yang sedang melipat sajadahnya. Amara baru saja menunaikan sholat maghrib. Tanpa menyapa, jangankan menyapa Al saja tidak melirik Amara sedikit pun. Al meletakkan tas kerjanya diatas sofa. Lalu ia berjalan kearah almari. Seketika ia membuka almari, tatanannya berubah drastis. Raut wajahnya hitam padam karena tidak menemukan barang yang ia cari. "Dimana proposalku," gerutunya. Tangannya terus membuka setiap lorong di almarinya. Amara menghampiri Al. "Semua dokumen penting ada diatas meja kerjamu. Aku sengaja memindahkan dokumen itu agar kau mudah menemukan dokumen yang kau cari. Kau tidak perlu mencari di almari lag----" Belum selesai menjelaskan pada Al, Amara berhenti bicara karena Al mendekati dirinya. Hati Amara bergetar ketakutan karena suaminya menatapnya dengan kesal. "Siapa yang menyuruhmu menata kamar ini?" Tanya Al lirih. Ia terus berjalan maju. Amara pun mundur menghindari Al. "JAWAB AMARA!" Bentak Al "T--tidak ada yang menyuruh. Ak--aku sendiri yang ingin menata kamar ini," ucap Amara terbata. Al menarik tangan Amara hingga badan Amara jatuh ke pelukannya. Amara semakin takut. Dalam keadaan marah, apa yang akan dilakukan Al. "Lepaskan aku." Pinta Amara. Al terus menatapnya. Ia semakin dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD