Bukan Yang Terbaik

2342 Words
"MULAI SEKARANG CAMKAN INI!! Kau tidak perlu mengurusku. Kamar ini, pakaianku, barang-barangku, kau tidak berhak mengatur semua yang ada disini sesuka hatimu. Kau juga tidak perlu menyiapkan sarapan untukku lagi, karena statusmu di rumah ini hanya menantu keluarga Mahardi. Bukan Istri Alfarizi Mahardi. KAU MENGERTI," Ucap Al dengan nada naik turun. Amara yang ketakutan menganggukkan kepala. Al menatapnya dari kedekatan. Tapi ia tidak berani menatap suaminya sendiri. "Urusanmu hanya melayani keluargaku. Aku tidak memberimu hak melayani diriku. Karena jika itu terjadi, statusmu menjadi pelayanku. Bukan istriku," sambung Al. Amara hanya diam dan berusaha menahan air matanya. Suaminya mendekatinya karena kemarahan. Tidak ada cinta yang terlihat di wajah suaminya. Hanya ada kebencian dan amarah saja. Tiba-tiba Al tersenyum. Sayangnya, senyum itu tidak mencapai mata. "Aku suka melihat ketakutan di wajahmu. Jangan menangis Amara. Simpan semua air matamu untuk penderitaanmu selanjutnya." Ucap Al lagi. Al menjatuhkan Amara diatas ranjang. Setelah mengungkapkan amarahnya, Al keluar kamar entah dia akan pergi kemana. Ceklek. Disisi lain, Amara menangisi takdirnya. Ia mencoba menjadi menantu dan istri yang baik. 24 jam ini ia telah melakukan kewajibannya. Tapi apa yang ia dapat. Suaminya justru marah dan mengatakan statusnya di rumah ini. "Lalu disini aku istri siapa? Aku menantu di rumah ini. Tapi atas dasar apa aku menjadi menantu di rumah ini. Jika suamiku sendiri tidak mengakui istrinya. Ya Tuhan kenapa kau selalu mengujiku." Rintih Amara. Penderitaan Amara belum berakhir. Ia harus berjuang melawan rasa takutnya. Jika pernikahannya berakhir sampai disini, maka perusahaan ayahnya akan terancam bangkrut. Masa depan perusahaan ayahnya tergantung kepada pernikahannya. Sedangkan dirinya di rumah ini tidak dianggap istri. Statusnya hanya menantu. ~Aku memang tak secerah sinar bulan.Aku juga tak sesejuk embun pagi.Tapi aku tidak ingin menjadi bulan yang sinarnya akan hilang saat pagi datang.Tapi aku ingin menjadi matahari.Yang bisa menyinari bumi kapanpun itu.Aku juga tak ingin menjadi embun yang datangnya di pagi buta.Dan jarang diperhatikan oleh manusia.Tapi aku ingin menjadi pelangi yang selalu terlihat indah dengan setiap warna yang dimilikinya~ Amara Mahardi ~Mimpi mungkin tak seindah kenyataan.Tak sesempurna pelangi yang melengkung di birunya langit.Mungkin sulit menerima semua ini.Tapi Inilah kehidupan.Kehidupan yang menyimpan bermilyar pelajaran.Berjuta juta rahasia dan beribu ribu misteri.Yang kadang sulit dipecahkan oleh akal manusia.Kehidupan akan terus berputar.Laksana warna jingga di ufuk barat.Yang akan cepat berganti ungu.Dan warna ungu yang akan cepat berganti jingga di pagi hari.Begitu seterusnya.Tapi apapun yang terjadi. Aku akan terus mencoretkan warna diatas kanvas kehidupan.Meski kadang sulit dan menyakitkan~ Alfarizi Mahardi *** Kumandang adzan shubuh menjadi alarm bagi Amara. Semalam, Amara tidur di bawah. Dengan meletakkan tangan dan kepalanya di pinggir ranjang. Tadi malam Amara tidak bisa tidur. Rasanya tidur atau tidak sama saja bagi Amara. Pertama kali yang Amara lihat ialah sofa putih di hadapannya. Ia begitu terkejut karena Al tidak tidur disana. Amara mendongak memeriksa ranjang. Selimut dan bantal masih tertata rapi. Itu artinya semalam Al tidak tidur di kamar ini. "Kemana perginya Al. Pasti dia masih marah padaku," ucap Amara. Ia tidak ingin mengulangi kesedihannya. Ia lantas berdiri dan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Meskipun tidak berjilbab, Amara selalu menjaga sholatnya. Ia tidak pernah menunda panggilan Allah untuk bersujud kepad-Nya. Setelah keluar dari kamar mandi, Amara mengusap wajahnya dengan handuk. Lalu ia mengenakan mukena putih suci yang merupakan salah satu mahar pernikahannya. Amara menggelar sajadah panjangnya menghadap kiblat. Kejujuran dalam setiap sujud,'Bagai menarik semua isi ikan dari samudra'.Keluarkan semuanya.Biarkan kosong tak bersisa kemudian isi kembali dengan do'a.Dalam sujud ia berdoa, agar dikuatkan hati ini dan agar dihilangkan pilu ini. Kriet.. Al membuka pintu kamarnya. Dari semalam ia tidur di kamar tamu. Ketika kemarahannya reda, Al kembali ke kamar untuk mengambil laptop dan proposal. Sebelum melanjutkan langkah masuk, Al mendapati istrinya sedang menunaikan sholat shubuh. 'Saat Amara mengenakan mukena putih dan duduk diatas sajadah, rasanya damai sekali. Seakan semua kemarahanku sirna.' Batin Al. Ia lantas mengurungkan niatnya masuk ke kamar. Al menyandarkan badannya ke dinding luar kamar. 'Maafkan aku Amara, suamimu ini belum mampu menjadi imam yang baik. Kau tidak layak disini. Kau akan mendapat banyak penderitaan di rumah ini. Pria seperti diriku tidak pantas mendapat istri yang sholehah seperti dirimu,' batin Al. Mentari pagi datang menyambut dan menyinari indah alam semesta. Daun-daun ikut melambai.Seakan ikut serta dalam menghiasi dunia ini.Burung-burung pun dilangit terbang penuh suka cita.Semilirnya angin pun datang dengan penuh kesejukkan. Saat mentari muncul semua aktivitas dimulai. Pertanda tidak baik jika menunda pekerjaan di pagi hari. Sedangkan saat mentari tenggelam di ufuk barat, kebanyakan hampir semua aktivitas berhenti. Seolah mentari menjadi patokan waktu. Beberapa jam kemudian... Al menuruni anak tangga yang menuju ruang makan. Ia sudah mengenakan jas hitamnya. Seperti biasa Al yang paling ditunggu keluarganya. "Putraku selalu membuat semua orang menunggu," sindir Lukman dengan tersenyum. "Aku juga heran. Semenjak ia menikah, ia seperti menghindari meja makan," sahut Harini. Semua orang yang ada di meja makan tidak mengerti apa yang dikatakan Harini. Sebenarnya Harini ingin menyindir Amara. Tapi sayangnya Hamida membela menantunya. "Al membutuhkan banyak waktu untuk merubah penampilannya. Dia kan sudah menikah, jadi wajar jika ia ingin tampil tampan dan cool di depan istrinya," bela Hamida. Hamida memperhatikan tatapan anak dan menantunya. Mereka saling membuang muka. Seperti ada masalah diantara mereka. Hamida tidak menanyakan langsung para mereka di depan semua anggota keluarga. Ia takut Harini memanfaat situasi untuk menjelek-jelekkan Amara. "Al..Al kau ini ada-ada saja," sahut Lukman diiringi gurat senyuman di wajahnya. Harini menggulung senyumannya. "Ehem.. Ayah ibu, bibi aku berangkat dulu," ucap Al. Bukan hanya tidak dianggap sebagai istrinya. Al juga tidak menganggap Amara sebagai anggota keluarga Mahardi. "Kenapa kau buru-buru. Hari ini tidak ada meeting kan," cetus Lukman. "Eee ada temanku yang akan pergi ke Dubai. Sebelum berangkat ke Bandara ia ingin menemuiku di kantor," elak Al Lukman menghela nafas. "Baiklah kalo begitu," sahut Lukman. Hamida menggelengkan kepala. Semuanya tidak terlihat baik-baik saja. Antara anak dan menantunya tidak saling bertatapan. Sebagai ibu mertua, kewajibannya menyatukan Al dan Amara. Ia tidak lupa tujuannya menikahkan Al dengan Amara. "Hati-hati di jalan," pesan Hamida. "Baik bu," "Eee bi, kau tidak memakai baju kantor?" Tanya Al kepada Harini. "Batukku semakin parah. Aku mau izin dulu," sahut Harini. "Astaga. Kalo begitu ayo aku antarkan ke dokter," usul Al. Lukman dan Hamida saling bertatapan. Putranya lebih menyayangi Harini. Bahkan dari dulu putranya lebih sering berbohong kepada mereka. Al lebih dekat dengan Harini. "Bukankah kau ingin menemui temanmu. Lalu kenapa kau----" cetus Lukman terpotong. "Ayah ini darurat. Bibi sakit bagaimana aku bisa meninggalkannya," sela Al "Kau tidak perlu mengkhawatirkan diriku. Aku baik-baik saja. Ayo sana berangkat. Jangan biarkan temanmu menunggu," terang Harini. "Baiklah bi. Kalo butuh sesuatu hubungi saja aku," ucap Al. Harini menganggukkan kepala. 'Ada apa dengan Al. Kenapa Al lebih menyayangi bibi Harini daripada kedua orang tuanya. Apa karena diriku, dia marah kepada orang tuanya,' batin Amara menyalahkan dirinya sendiri. Padahal dari dulu antara Al dan orang tuanya tidak sedekat hubungan Al dengan Harini. Meskipun bukan ibu kandungnya, ia sangat meyanyangi bibinya. Sejak kecil Harini menghabiskan waktunya untuk merawat Al. Ia selalu ada untuk Al. Usai mengatakan pernyataannya, Al kemudian berjalan meninggalkan meja makan. 2 hari ini ia tidak menikmati sarapannya. Al yang keras kepala tidak ingin menikmati masakan istrinya. Sungguh aneh, Al menjauhi Amara karena masalah yang sepele. "Kak aku mau istirahat dulu di kamar," ucap Harini. "Baiklah. Aku akan panggil dokter," sahut Lukman. Harini beranjak dari tempat duduknya. "Bibi, mari ku antar ke kamar," ajak Amara. Ia tidak tega melihat bibinya kesulitan berdiri. "Tidak..tidak..aku bisa sendiri," cetus Harini. Harini menolak bantuan Amara. Ia semakin memperlihatkan kalau dia tidak menyukai Amara. Alasan Harini tidak menyukai Amara adalah karena Al menikahinya dengan terpaksa. Sama seperti Al ia tidak suka jika perusahaan Mahardi membantu perusahaan Zulfikar. Harini, orang yang paling menentang keputusan kakaknya dalam menjalin hubungan dengan keluarga Zulfikar. Baginya derajat kedua keluarga ini sangat jauh. Baginya Wanita seperti Amara tidak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Ia menggunakan kedekatannya dengan Al untuk menghancurkan pernikahan Amara dan Al. Sampai kapanpun Harini tidak akan pernah menyetujui hubungan mereka. Kriet... Harini membuka pintu kamarnya. Ceklek. Setelah menutup pintu, Harini bergegas duduk dipinggir ranjang. Ia menengok ke samping dan mengambil foto putranya, John Mahardi. Sudah 4 bulan John di Dubai karena urusan pekerjaan. Sebagai seorang ibu, Harini sangat merindukan putranya. Ia merasa kesepian. "Cepatlah kembali nak. Ibu sangat merindukanmu," ucap Harini menyeka air matanya. Sebelum pergi ke Dubai, John frustasi karena wanita yang ia cintai menikah dengan pria lain. Harini sendiri tidak tau siapa wanita itu. Yang jelas wanita itu sangat berarti bagi putranya. Sejak kecil John selalu mengalah karena ibunya lebih menunjukkan kasih sayangnya kepada Al, sepupunya. Semakin dewasa John lebih di uji kesabarannya. Ia juga bekerja di perusahaan Mahardi. Walaupun numpang tidur di rumah Mahardi bukan berarti ia harus berbagi ibu dengan Al. Ia tidak ingin disebut tamu. John berusaha hidup mandiri dan membuang jauh-jauh semua dendamnya itu. John berhati mulia karena mantan kekasihnya yang tulus dan selalu meluruskan jalannya menuju kebenaran. Sayangnya sejak wanita itu menikah dengan pria lain, John berubah drastis. Hatinya dipenuhi amarah, kebencian, dan dendam. Sosok John yang baik hati sirna dari rumah Mahardi. 4 bulan yang lalu John memutuskan pergi ke Dubai menggantikan Al yang akan menikah. Mengingat kejadian 4 bulan yang lalu, Harini menangis histeris sambil memeluk foto putra kandungnya. Ia merasa bersalah karena tidak adil kepada putranya. Ia lebih menyayangi Al karena ada maksut lain. Sebenarnya Harini tinggal di rumah ini dan merawat keponakannya dengan sepenuh hati karena HARTA. Al dinobatkan menjadi pewaris harta keluarga. Harini mendekati Al dengan menjadi ibu pengasuhnya. Agar suatu saat nanti, Al mengingat jasanya dan membagi hartanya dengan Harini. Semua upaya ia lakukan. Termasuk membuat jarak antara Al dan ibu kandungnya. "Maafkan ibu nak. Ibu belum bisa membahagiakanmu. Tapi percayalah apa yang ibu lakukan sekarang hanya untuk masa depanmu. Ibu ingin kau juga merasakan harta keluarga ini. Ibu pastikan derajatmu lebih tinggi daripada Al," ucap Harini lagi. Biar bagaimanapun Harini juga menyayangi putra kandungnya. "Dan aku bersumpah! Siapapun wanita itu dia tidak akan hidup bahagia. Aku akan mencari wanita yang telah menyakiti hati putraku. Aku pastikan hidupnya akan menderita," Harini tidak tau wanita yang menjadi mantan kekasih John tidak lain adalah Amara, istri sah Alfarizi Mahardi. John tidak mengatakan nama wanita itu kepada ibunya. Lantas bagaimana saat John kembali ke rumah Mahardi dan mengetahui mantan kekasihnya menikah dengan sepupunya sendiri? "Siapapun yang dibenci Al dan John, maka aku juga akan membenci orang itu." Itulah sebabnya mengapa Harini sangat membenci Amara. Itupun atas dasar yang tidak berati. Bagaimana jika Harini tau bahwa Amara adalah mantan kekasih putranya. Apa yang akan dilakukan Harini? Amara tidak akan hidup tenang. Berbagai masalah akan mengiringi kehidupannya. Ada banyak hal yang harus ia hadapi. Itupun tanpa cinta ataupun kasih sayang dari suaminya. Tok...tok..tok.. Ketukan pintu itu mengacaukan lamunan Harini. Ia lantas menatap pintu. "Masuk," ucapnya dengan nada sedikit berteriak. Kriet. Dari balik pintu muncul sosok wanita cantik yang membawa cangkir berwarna putih. Ia tersenyum kepada Harini. Tapi Harini malah melengos, seakan tidak suka dengan kehadirannya. Wanita itu berjalan mendekatinya. Meskipun ia tau Harini tidak mau melihatnya. "Bibi! Aku buatkan wedang jahe. Silahkan di minum, agar batukmu tidak bertambah parah," ucap Amara sambil memberikan cangkir itu pada Harini. "Taruh saja di meja," sahut Harini cuek "Baiklah, jangan lupa diminum ya bi. Karena dari herbal, akan meredakan batukmu." Ucap Amara. "Kau tau dari mana tentang herbal ini?" Timpa Harini. Amara tersenyum lagi. Karena Harini menatapnya. "Keluargaku sering membuat wedang ini." Sahut Amara. Harini menganggukkan kepala sembari tersenyum miring. "Apa kau sudah memastikan herbal yang ada dalam cangkir itu higienis?" "Ee kenapa bibi bertanya seperti itu," Harini menurunkan kakinya dan berusaha berdiri meskipun kondisinya lemah. "Dengar! Apa kau sudah lupa perbedaan antara keluarga Mahardi dan keluarga Zulfikar. Kami kaum vegetarian. Makanya setiap masakan ataupun minuman dibuat dari tangan higienis. Bukan asal dibuat seperti masakan di rumahmu," ucap Harini menyinggung hati Amara. Amara berusaha menaklukkan hati semua orang di rumah ini. Tapi nyatanya bibinya Al sangat sulit untuk di taklukkan. Justru semakin lama bibinya malah menghinanya. "Satu hal lagi. Jangan bawa tradisi keluargamu yang sangat kuno itu ke dalam rumah Mertuamu." "Sebelumnya aku minta maaf bi. Menurutku tidak ada perbedaan yang mendasar antara rumahku dan rumah mertua. Bagaimana sikap dan perilakuku mungkin belum terbiasa di rumah ini. Tapi masakan, dan yang lainnya aku sudah terbiasa memberikan hidangan yang bisa aku masak. Aku berusaha mempelajari setiap hidangan yang disajikan di rumah ini. Tapi ibu mertua melarangku----" "Cukup Amara cukup! Berani sekali kau menjawabku," "Bibi! Aku bisa terima jika bibi menghina diriku. Tapi aku tidak bisa terima jika bibi menghina keluargaku," sahut Amara. "Apalagi yang keluargamu sombongkan. Hampir separuh harta milik keluargamu adalah harta Mahardi---" "Hentikan bibi. Aku menghormatimu karena kau adalah bibinya Al. Aku berusaha sebaik mungkin untuk melayani bibi dan semua anggota keluarga di rumah ini. Aku permisi," ucap Amara sambil berbalik badan. Harini memegang tangan Amara. Kukunya yang tajam menusuk tangan Amara. "Jangan lupa kau hanya menantu. Bukan istrinya Al. Jika kau berani mengadu pada ibu mertuamu tentang perbuatanku ini, maka kau akan menerima akibatnya!" Ancam Harini. Bahkan Harini lebih berbahaya daripada Al. Ia sangat kejam. "Pergilah!" Pinta Harini dengan nada lirih. Setelah lengannya dilepas, Amara bergegas keluarga dari kamar bibinya. Harini mengambil cangkir itu. Ia berjalan mendekati jendela. Harini kemudian membuang isi di cangkir itu. Ia tidak peduli seberapa usaha Amara dalam membuat minuman itu untuknya. "Harini tidak sekejam itu Amara! Aku akan membuatmu mengerti sifat asliku. Setelah itu kau akan takut padaku. Akan ku pastikan dalam kurun waktu 2 bulan, kau akan diusir dari rumah ini," ucap Harini. Sejak keluar dari kamar bibinya, Amara merasa tidak tenang. Setelah ia mengetahui alasan mengapa bibinya sangat membencinya. Nyalinya menciut lantaran Harini bisa saja berbuat nekat. 'Entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Di rumah ini, aku menghadapi banyak hal. Disisi lain ada mertuaku yang sangat menyayangiku. Dan disisi lain juga ada suami dan bibi Harini yang sangat membenciku," ucap Amara dalam hati. Akankah Amara bertahan disaat situasi tidak mendukungnya. Kebaikan Amara tidak ada artinya bagi Harini. Sedangkan kebaikan dan ketulusan Amara sebagai seorang istri juga tidak dianggap oleh suaminya. Inilah awal kisah Amara sebagai menantu di keluarga Mahardi. "Aku tidak boleh menyerah. Sebagai menantu, aku tidak boleh membiarkan harga diriku diinjak-injak." Ucap Amara dengan yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD