"Di mana kamu, Mas?" Aleya terus berbicara sendiri. Menanyakan keberadaan suaminya saat ini. Tak tahan lagi, Aleya pun lalu mendial satu nomor yang ia rasa bisa membantunya saat ini.
Dira, teman satu tempat kerja di kelab malam yang sering menolong Aleya jika sedang dalam situasi genting. Dira adalah teman yang baik dan tulus. Meski usianya jauh lebih tua dari Aleya dan juga lebih senior, namun Dira tidak pernah menganggap jika Aleya adalah junior atau bawahannya.
"Halo Dir ...."
"Iya, kenapa, Ya?" tanya Dira.
"Kamu bisa ke rumah aku tidak? Sepertinya aku akan melahirkan. Perut aku sakit sekali, Ra ...." Aleya kian meringis karena menahan sakit yang teramat. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya, Aleya terus melangkah hingga terduduk di tepi bawah ranjang tempat tidur.
"Mas Brama ke mana, Ya?" tanya Dira dari seberang telepon.
"Aku tidak tahu, Ra. Tadi kami sempat ribut, dan dia pergi begitu saja. Aku hubungi juga ... dia tidak mengangkat panggilanku."
"Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Ya sudah, aku ke sana sekarang ya? Kamu tungguin ya?" Dira memutus komunikasi begitu saja.
Aleya meletakkan ponselnya di atas lantai dan mencoba untuk berdiri agar bisa rebahan di atas kasur. Namun, baru saja ia berdiri, Aleya melihat ada cairan yang mengalir dari s**********n kakinya.
Astaga, apa ini air ketuban? Ya Tuhan, tolong selamatkan anakku. Hanya dia penguatku saat ini. Aku mohon ....
Aleya menangis tersedu. Dengan menahan rasa sakit perut dan area sensitifnya, ditambah dengan pikiran yang kacau balau. Lengkap sudah penderitaan Aleya saat ini. Dan apakah Brama peduli? Tentu saja tidak. Justru saat ini pria bergelar suami bagi Aleya itu, sedang menikmati bibir wanita lain yang disinyalir sebagai selingkuhannya.
Tak hanya b******u, mereka bahkan melanjutkan perbuatan biadab itu, hingga tahap yang lebih gila lagi. Berhubungan badan.
"Ough ... agh ... sst ... iya Mas, euhm ...." Perempuan berambut panjang itu mulai mendesah dan menggeliat. Sedang Brama, terus memompanya tanpa jeda. Semakin wanita itu mendesah, semakin ia mempercepat gerakannya hingga mereka mencapai puncak kenikmatannya masing-masing.
Brama lemas di atas pelukan sang wanita. Namun tak lama, ia bangkit dan memberi sedikit jarak. "Apa kau puas?" tanyanya.
"Hmm ... hari ini kau menang dariku," ucap sang wanita.
Brama lantas bangkit dan mulai memakai celana dan bajunya lagi. Begitu pun dengan wanita itu. Mereka kembali ke posisi duduk masing-masing.
Brama meraih ponselnya yang sudah berdering sedari tadi namun ia abaikan karena begitu asik dengan perbuatan mesumnya. Dahinya bertaut, sepuluh panggilan tak terjawab dari Aleya membuat ia sedikit berpikir. Apa gerangan yang membuat Aleya meneleponnya sebanyak itu?
Apa dia akan melahirkan?
"Kenapa?" tanya sang wanita.
"Oh, tidak ... Bukan apa-apa," jawab Brama bohong.
"Istrimu?" tebak wanita itu lagi. "Huft ...." Dia menghela napas panjang. Sepertinya perempuan itu tidak menyukai keberadaan Aleya di hidup Brama. Sebab ia merasa jika Brama lebih menyukai dirinya ketimbang Aleya, istri sah Brama sendiri. Sebab selama ini, meski hanya menjadi selingkuhan Brama, pria dewasa itu lebih sering bersamanya ketimbang bersama Aleya.
"Sudahlah, abaikan saja." Brama meletakkan kembali ponselnya.
"Kau belum menceraikan dia?" tanya wanita itu lagi.
Brama menoleh cepat ke arah selingkuhannya. "Aleya sedang hamil sayang, aku tidak bisa menceraikannya."
"Kata siapa?"
"Ya ... kata orang-orang seperti itu."
Perempuan itu terdiam dan menghela napas kembali. Pandangannya ia hunuskan ke arah depan. Posisi tangan sudah bersedekap di d**a. Terlihat sekali jika ia sedang menahan rasa kesal.
Brama mengarah posisi duduknya lebih menghadap kepada selingkuhannya itu. Menarik sedikit sudut bibirnya sembari meraih tangan sang wanita. "Hei, jangan marah dong. Aku janji, kalau Aleya sudah melahirkan, aku akan segera mengurus surat perceraian aku dan dia. Lalu aku akan melamarmu," rayu mulut manis Brama.
"Kamu janji?" tanya wanita itu dengan raut wajah manja.
"Iya ... aku janji." Brama mengusap pucuk kepala sang wanita.
Ya, janji seorang suami kepada selingkuhannya. Lalu, bagaimana dengan janjinya dulu kepada Tuhan, saat ia menikahi Aleya? Apakah Brama lupa akan hal itu?
Kini, istrinya tengah berjuang dalam mempertahankan keselamatan buah hati mereka, namun tak sedikit pun Brama peduli. Padahal ia tahu jika Aleya menghubunginya, pasti karena ada hal penting atau urgen. Apa susahnya untuk menelepon balik.
Tidak perlu rasa cinta bukan, untuk membuat kita berempati kepada orang lain.
Tak lama, suara motor Dira sudah terdengar di depan rumahnya. Dira langsung turun dan segera mencari Aleya. Ia sempat terkejut saat melihat Aleya sudah terbaring di atas ranjang dengan wajah pucat dan rambut yang acak-acakan.
"Ya Tuhan, Aleya!" seru Dira. Ia segera mendekat dan membingkai wajah cantik temannya itu. "Kita ke rumah sakit ya?" Dira mencoba untuk membangunkan Aleya. Lalu ia papah ke luar kamar dan segera menuju ke motornya.
"Kamu bisa duduk? Atau mau aku carikan taksi?"
"Kita naik motor saja, Ra. Sudah tidak ada waktu lagi untuk memesan taksi," ucap Aleya.
"Ya sudah, kamu naik ya. Sini aku bantu." Aleya naik perlahan ke atas motor Dira dengan posisi kaki berada di kiri dan kanan penyangga, agar lebih aman. Setelah itu, Dira juga naik dan langsung menancapkan gas menuju rumah sakit terdekat.
Selama perjalanan menuju rumah sakit, air mata Aleya seperti tidak mengenal kata berhenti. Terus mengalir dan membuat matanya kian basah dan dadanya semakin sesak.
Tak terbayang oleh Aleya jika hidupnya saat ini akan berakhir seperti ini. Segala hinaan dan cemoohan telah ia dapatkan. Jangan sampai ia harus kehilangan buah hatinya lagi. Akan semakin hancur hidupnya.
Bertahan ya sayang, sebentar lagi kita akan sampai. Mama sudah tidak sabar ingin melihatmu. Nanti kamu dan mama akan hidup bersama. Kita mulai lembaran baru berdua.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di depan IGD sebuah rumah sakit. Aleya langsung turun dan di dudukkan di atas kursi roda oleh petugas yang berjaga. Setelah itu, ia di bawa keruangan bersalin.
Dira menunggu di luar dengan perasaan cemas. Berharap jika Aleya dan putrinya baik-baik saja. Sebagai seorang wanita yang juga sudah memiliki anak, Dira pasti tahu persis bagaimana perasaan Aleya saat ini.
"Aaa ...." Aleya mulai berteriak saat bayinya sudah akan keluar. Rasa sakit yang ia rasakan saat ini benar-benar campur aduk. Harusnya moment melahirkan menjadi hal yang membahagiakan. Namun bagi Aleya justru kebalikannya.
Suami yang diharapkan bisa menjadi support sistem untuk dirinya selama proses persalinan, nyatanya lebih memilih untuk bersama selingkuhannya.
Tangis bayi Aleya memecah keheningan ruangan bersalin itu. Bersamaan dengan tetes air matanya yang jatuh berderai di sudut matanya. Aleya menangis dalam bahagia. Bahagia sebab putrinya sudah lahir dengan selamat.
Terima kasih sayang, karena sudah mau bertahan dan berjuang bersama ... Anetha.