Part 6

967 Words
Alvi menatap seisi kamarnya, namun anehnya ia tidak menemukan keberadaan matenya sama sekali. "Mungkin dia lagi bersama Dila." gumam Alvi. Berjalan ke arah kamar Dilon. Namun diperjalanan, ia bertemu dengan Dila. "Raisya mana?" tanyanya langsung. "Aku tidak tahu." Dila menjawab dengan sopan. Kenapa? Karena mulai sekarang ia akan menghormati Alvi yang berkedudukan sebagai pangeran Vampir. Rahang Alvi mengeras. Raisyanya pasti kabur. "Tadi dia sempat bersamamu?" Dila menjawab dengan kaku karena merasa takut dengan ekspresi menyeramkan Alvi. "Iya. Tapi tadi, sebelum dia kembali ke kamarmu." "Dia memang ke kamarku tadi tapi ia tidak lagi dikamar saat aku selesai mandi. Apakah setelah itu kamu tidak melihatnya?" "Tidak." Apa Raisya kabur ya seperti yang dia katakan tadi? Tapi masa sih? Dia kabur lewat mana? Gue kok nggak melihatnya. Dasar Raisya! Pikir Dila. Alvi yang mengetahui apa yang dipikirkan Dila menggeram marah. Salah satu kemampuan Alvi sebagai Vampir adalah membaca pikiran namun kekuatannya sepertinya tidak berlaku untuk Raisya. Ia mencengkram lengan Dila dengan kasar. "Katakan kepadaku! Apa dia memang mengatakan akan kabur dari sini? Kemana dia kabur?" geramnya. Dila meringis kesakitan. "Ya. Dia memang mengatakan itu kepadaku tadi. Tapi aku benar-benar tidak tau dia kabur kemana." ringisnya. Selain kesakitan ia juga ketakutan melihat ekspresi Alvi yang terlihat sangat menyeramkan. Alvi melepaskan cengkramannya sambil mendengus marah. "Dasar gadis nakal! Lihat saja, aku akan menghukumnya karena telah berani membangkangku." Alvi tersenyum devil. Dila khawatir akan apa yang dilakukan Alvi kepada Raisya hingga gadis itu berucap dengan sangat hati-hati. "Jangan hukum Raisya, Al. Raisya memang gadis yang keras kepala." "Bukan urusanmu!" Alvi menghilang dari hadapan Dila dalam sekejap mata. Dila menunduk seraya menghela nafas panjang. Ia takut sahabatnya kenapa-napa karena melihat ekspresi Alvi tadi. "Kamu kenapa, sayang?" Dila mendongak, menatap Dilon serta tersenyum tipis. "Gak papa." "Masa?" "Iya." "Aku pikir kamu kenapa-napa." "Dilon?" "Ya?" "Alvi gak akan menyakiti Raisya, kan?" "Kenapa menanyakan hal itu? Tentu saja dia tidak akan menyakiti Raisya. Raisya kan matenya." "Syukurlah. Setidaknya aku bisa sedikit tenang." lega rasanya setelah mengetahui hal itu. "Memangnya kenapa?" "Raisya kabur." Dilon terkejut mendengarnya. "Hah? Raisya kabur lewat mana? Penjagaan di tempat ini sangat ketat, sayang." "Aku gak tau." Dilon memeluk tubuh Dila secara tiba-tiba hingga Dila terkaget-kaget. "Kenapa kamu memelukku?" Dila terdiam kaku di dalam pelukan Dilon. Dilon menghela nafas panjang. "Aku takut." Dila mengernyit heran. "Takut? Takut kenapa?" "Takut kamu juga pergi. Seperti Raisya." Dilon mengeratkan pelukannya serta membenamkan wajahnya di lekukan leher Dila. Dila tersenyum tipis. Ia balas memeluk Dilon. "Kamu tenang saja. Aku tidak akan pergi meninggalkanmu." "Benarkah?" Dilon bertanya dengan bahagianya. Melepaskan pelukannya. Lalu menatap mata coklat Dila yang indah. "Iya." "I love you, Dila Paramitha." Dilon mencium bibir Dila dengan sangat lembut. Dilon mengusap bibir Dila yang baru saja diciumnya. Ia tersenyum melihat pipi Dila yang memerah. "Lucunya..." Dicubitnya pipi matenya dengan gemas. "Ish..." "Pasti first kiss kamu, kan?" Dilon menaik turunkan alisnya menggoda Dila. "Iya." jawab Dila malu-malu. "Aku senang karena menjadi yang pertama dan tentunya juga akan menjadi yang terakhir." Dilon memeluk Dila erat sambil menciumi puncak kepala gadis itu dengan sayang. "Dan asal kamu tau, ini juga first kissku." bisiknya yang membuat Dila bahagia. Dila tersenyum lebar dalam pelukan Dilon. Ia rasa. Ia telah jatuh hati kepada Dilon. Entah lah! **** "Kamu sebenarnya adalah percampuran gen antara Witch dengan Vampir, honey. Tapi kamu lebih mendominan ke Witch karena kamu mewarisi gen mama." "Mama seorang Witch sedangkan papa kamu seorang Vampir." Mama Raisya menjelaskan dengan perlahan-lahan agar anaknya mengerti. "Jadi aku termasuk makhluk mitos?" tanya Raisya tak percaya. "Begitu lah." "Hmm, lalu apa kekuatan yang mama punya?" tanya Raisya lagi. "Mama punya kekuatan mengendalikan angin, cahaya, menghapus ingatan, melihat masa lalu seseorang, dan memanipulasi keadaan." "Oh. Kemampuanku belum sampai ke yang semua mama sebutkan. Bisa kah mama mengajariku cara menghapus ingatan, melihat masa lalu seseorang, dan memanipulasi keadaan?" "Kamu sudah punya kekuatan, honey?" heran sang mama. "Sudah tapi hanya bisa merasakan aura, mengendalikan angin, cahaya, air, dan teleportasi." "Wow!! Kamu hebat sekali honey karena bisa mengendalikan air." kagum mamanya. "Ajari aku cara memanipulasi keadaan ya, ma." "Tentu honey, kapan kamu mau belajar?" "Sekarang aja, ma." "Baiklah, untuk menguasai ilmu ini hanya memerlukan waktu 2 jam kalau berkonsentrasi dengan baik." "OK, ma." Sang mama membawa Raisya ke ruang rahasia bawah tanah. Ternyata di ruang bawah tanah banyak sekali ramuan-ramuan yang berada di dalam tabung kecil. "Sejak kapan mama membuat ruang bawah tanah?" tanya Raisya kaget. "Sudah sejak dulu, honey." "Baiklah. Sekarang ajari aku ya, ma." "Oke. Sekarang kamu harus berkonsentrasi." **** "Papa!!!" pekik Raisya antusias dan menghambur ke pelukan papanya tercinta. "Sepertinya malaikat kecil papa ini sangat merindukan papa ya?" papa membalas pelukan Raisya sembari mengelus rambut panjang Raisya dengan sayang. Disusul dengan kecupan singkat di puncak kepala anaknya. Raisya mengangguk manja di dalam pelukan papanya. "Papa lama sih pulangnya." Pelukan mereka terlepas. "Papa cuma pergi selama 1 hari, honey." "Itu lama, pa." "Oh ya, pa. Papa beneran Vampir?" todong Raisya langsung. "Jadi kamu udah tau, honey?" Raisya mengangguk. "Iya, mama yang beri tau aku. Aduh, pa, aku benar-benar nggak nyangka papa Vampir. Tapi kok selama ini Raisya gak pernah lihat papa minum darah ya?" Raisya menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Papa cuma minum darah mama kamu. Soalnya rasanya lebih manis daripada darah siapapun." Raisya terbelalak. "Ih, kok aku ngeri ya dengar papa minum darah mama?" Raisya mengalihkan pandangannya ke sang mama. "Ma, gimana rasanya darah mama saat dihisap papa? Apa sakit sekali?" Raisya mengusap lehernya karena merasa ngeri. Mama berjalan mendekat, lalu mengusap puncak kepala Raisya. "Gak sakit kok, honey. Rasanya cuma seperti digigit semut." "Masa sih?" "Kok rambut kamu diwarnai lagi? Bukannya kemarin-kemarin warnanya pirang? Kenapa sekarang berwarna coklat?" "Aku bosan warna itu-itu mulu, pa." cengirnya. "Aku tidur dulu ya, ma, pa. Capek banget soalnya." Kedua orangtuanya mengangguk dan mengecup dahi Raisya sekilas. -Tbc-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD