Amateur

335 Words
Sofia sibuk mencari spot terbaik untuk mengambil gambar dirinya. Paul sang fotografer amatir yang tengah berusaha mengambil posisi terbaik agar foto yang dihasilkan olehnya tampak bagus. "Kemari, aku ingin melihat hasilnya!" Aku memanggil mereka berdua dari kejauhan dengan suara yang sedikit dikeraskan. Mereka berdua lalu mendekat dengan keringat yang bercucuran di dahi karena karena cuaca sedang panas. Padahal kapal yang kami tumpangi saat ini sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan. Ah mungkin saja mereka berdiri di spot luar yang tak terjangkau oleh pendingin ruangan. "Well, lihatlah ini." Paul menunjukkan padaku foto-foti yang di ambil olehnya tadi. Ada beberapa foto milik Sofia dan sisanya foto ubur-ubur yang sebearnya tampak biasa saja. Namun, untuk menyenangkan hatinya, kami berdua ber-wahh ria kepadanya. "I know, I know. Biasa saja, seperti tidak mengenalku saja. Aku kan pandai melakukan semua hal." Ucapnya dengan senyum bangga. Pasgi ia sudah berada di atas awan karena pujian kami tadi. "Bagaimana, kalian mau aku ajari? Oh, lihatlah ini bukankah ini pose terbaik? Aku rasa tak ada yang bisa mengambil gambar sebaik ini selain diriku." kata Paul. Ia sedang memperlihatkan kami potret Sofia yang baru saja di ambil olehnya tadi dengan pose yang sangat menarik. Sofia nampak mengernyitkan dahi, lalu bertanya "Mengapa begitu? Tak ada yang bisa?" "Oh tentu saja, aku rasa kau tak cocok menjadi model. Tapi bila ditangani olehku, permasalahannya bisa ku atasi." Kata Paul santai Sofia yang sudah mulai naik pitam, memerah wajahnya setelah mendengar ucapan Paul yang terdengar sedikit nyeleneh dan overproud. Baiklah sudah kubilang apa, dia besar dengan pujian dan sanjungan dari semua orang. Hanya kami berdua yang memperlakukannya bak babu. Untungnya ia tak mengeluh apa-apa. Aku yang melihatnya, hanya menengahi pertengkaran mereka yang tampak semakin tak masuk akal. Sofia dan Paul sama-sama keras kepala. Jadi segala argumen di utarakan dalam satu straight-line tanpa jeda. Aku yang tak menyukai keributan hanya bisa menyedot air kelapaku dan menontonnya. Memang, argumen Sofia paling masuk akal. Tapi, Paul mengedepankan logika daripada terbawa emosi. Ia jadi terdengar tak peduli dengan argumen orang lain. Dirinya-lah yang terhebat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD