The Paternity

1004 Words
Ada banyak kejadian yang tidak disangka-sangka. Tak ada satupun yang tau bagaimana rasanya hingga mengalami hal tersebut. Sudah bertahun-tahun lamanya tidak membuat gadis itu lupa akan sosok ayah yang selama ini dibangga-banggakannya. Tahun 2007, tahun yang dilabeli oleh morella sebagai tahun tragedi. Masa ketika ia menerima kabar bahwa sang ayah ditemukan dalam keadaan tak bernyawa, tak jauh dari titik hilangnya kapal yang membawa ayah dan kawanan marinir yang juga saat itu sedang bertugas. Tahun ketika ia melihat bagaimana bundanya menghembuskan nafas terakhir setelah berjuang melawan kanker tiroid. Tahun ketika ia gagal masuk ke perguruan tinggi idamannya. Tahun yang meluluh-lantahkan pertahanannya sebagai seorang gadis periang yang merupakan seorang mantan model majalah sekolah dan sangat aktif pada masanya. Tak banyak yang diharapkannya selain berjuang untuk tetap hidup. Hidup adalah bagian terburuk dari skenario kehidupan baginya. Ia pernah berada di lereng terdalam kehidupan yang sebentar lagi membawanya kepada kematian. Sangat sulit untuk menerima bahwa keduanya sudah pergi. Ibunya adalah seorang dokter jantung terhebat pada masanya. Tak pernah terpikir olehnya untuk masuk ke ruang itu, untuk pertama dan terakhir kali ia datang mengemasi seluruh benda milik sang bunda di rumah sakit tempatnya bekerja. Beberapa diantaranya akan dikemas bersama jenazah eve di dalam peti untuk persiapan kremasi. Tak mudah rasanya bahkan sekedar untuk mengangkan telepon yang sedari tadi berdering. Entah bagaimana caranya morella mampu melewati situasi ini. "Mungkin kamu butuh istirahat" Ola melihat ke arahku "Akan lebih baik jika aku beristirahat bersama bunda. Bagaimana menurutmu?" Tanyanya asal sembari menuntut jawaban dari si empunya. Tak ada yang lebih baik yang bisa diperbuat Ola selain diam. Mereka bukanlah sepasang saudara yang akrab dan saling menyayangi. Tak pernah ada diantaranya yang mencoba untuk bersikap layaknya saudara. Pun bagi morella yang merasa asing dengan kedua kakaknya. Ola berjalan keluar dari ruangan tersebut Morella sedari tadi masih diam di tempat. Tak ada niatan untuk membuka suara, sampai Nath bertanya, "You okay?" "I'm fine." Suaranya terdengar serak dan tak bersemangat. Hampir tak ada yang bisa diperbuatnya selama proses kremasi. Sebelumnya, ia melihat bagaimana cantiknya sang bunda mengenakan gaun terbaiknya. Pelukkan terakhir tak ayal menjadi momen sakral yang meruntuhkan pertahanannya untuk tidak menangis di depan banyak orang. Terbangun dari tidurnya, Morella kemudian dikagetkan dengan keberadaan Ola di ruangannya. Jadwal praktek baru saja berakhir, tak sadar sudah sejam lamanya ia tertidur di ruangan. Akibat jam terbang yang sangat tinggi. Kini ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan memperbaiki riasannya. Ola adalah saudara seayah Morella, beberapa tahun belakangan mereka tidak berkomunikasi. Kecuali setelah morella mengiriminya email singkat atas inisiatifnya untuk mencari tau kebenaran yang sesungguhnya. Kakaknya itu berkata bahwa ia akan mengunjungi morella di rumah sakit tempatnya bekerja setelah pasien terakhir malam ini. "Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Sejak pukul berapa kakak tiba?" Tanya morella karena merasa tak enak membuat sang kakak menunggu lama. Sembari meletakkan sebuah album foto hitam putih di meja tempat ia dan ola duduk berhadapan. "Beberapa menit yang lalu, tak apa. Apa yang ingin kamu bicarakan?" Ungkapnya tenang. Ola terlihat santai mengenakan dress denim hijau tosca. "Banyak hal yang ingin aku sampaikan, kak. Tapi, bisakah kita memulai pembicaraan dengan melihat-lihat beberapa foto di buku album ini?" Ola mulai melihat-lihat isi dari album tersebut, tak jarang ia tersenyum melihatnya sembari bernostalgia. Di usianya yang ke empat puluh lima tahun, Ola memang terlihat persis seperti mendiang sang ayah. Satu hal yang membuatnya tak percaya diri akan identitasnya. "Sepertinya aku mengerti, kamu juga merasakannya bukan?" Tanya ola setelah menutup album tersebut. Jari-jemari morella tak bisa diam memainkan pena dan mengangguk memberi jawaban pertanda setuju dengan sang kakak. "Pasti. Sudah sejak lama, bahkan sejak ayah dan bunda masih ada". "Aku selalu ragu akan identitasku. Lihatlah, aku berbeda dari segi fisik maupun hal lainnya. Tak ada satupun yang kupunya, dimiliki oleh ibu, ayah bahkan kakek maupun nenek buyut," jelasnya. "Bisakah kita melakukan uji DNA? Aku tak bisa tenang memikirkannya dan aku rasa kau mengerti perasaanku, kak" Ola terlihat berpikir dan tampak mempertimbangkan sesuatu. Dia tampak ragu dengan keputusan ini, apa manfaatnya dengan melakukan test DNA? Lagipula mereka sudah dewasa. "Aku pikir sebaiknya tak perlu melakukannya. Lagipula bagaimana kau ingin memastikan kebenarannya hanya berdasarkan sample darah saudaramu?" Morella sungguh kecewa dengan pernyataan tak mendukung dari Ola. Selama ini, tak pernah sekalipun mereka bertegur sapa dan meminta bantuan dari saudaranya. "Kau yakin? Tak bisakah kau menolongku kali ini?" ucap Morella. "Ini sulit bagiku, tapi adalah sesuatu yang harus aku lakukan sebelum menyesal terhadap sisa umurku tanpa tau identitasku yang telah lama hilang." "Aku akan membicarakan hal ini bersama Filipe terlebih dahulu. Bagaimanapun ia adalah pengganti ayah dalam mengambil keputusan." Balas Ola. "Aku akan mengirimimu e-mail setelah bertemu dengannya pekan depan. Bagaimana?" Keputusan itu disambut baik oleh Morella, meskipun dengan sedikit perasaan ketar-ketir. "Hm, baiklah. Terima kasihatas bantuanmu, kak" ungkap Morella dengan tulus. "Tentu... kau bisa menghubungiku kapanpun. Apapun hasilnya, aku akan tetap menjadi kakakmu." Setelah kepergian sang kakak dari ruangan, Morella merasa bahwa dirinya adalah adik yang egois dan tak pernah mencoba bersikap terbuka terhadap kakaknya. Pada dasarnya, Ola pun bersikap begitu namun tidak lebih tertutup daripada sang adik semata wayangnya. Bagaimana dengan Filipe? Dia adalah kakak yang ramah tetapi sibuk. Apalagi setelah kepergian kedua orang tua mereka, dia menjadi tulang punggung keluarga yang membiayai biaya sekolah kedokteran Morella. Ola turut membantu, akan tetapi untuk keperluan bulanan saja, tak sebanyak Filipe. Terkadang, Morella merasa kasihan terhadap kedua kakaknya. Akan tetapi, dia bisa apa dengan keadaannya saat itu? Soal keluarga, tak ada lagi Nath yang menemani Morella. Dia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Portland, Oregon karena ayahnya dipindah tugaskan oleh atasannya. Morella tentu sangat kesepian dan menjadi pribadi yang tertutup. Meskipun demikian, mereka masih berkomunikasi layaknya seorang teman dekat. Sungguh teknologi adalah sesuatu yang sangat membantu. Nanti malam, mereka menjadwalkan janji temu setelah kedatangan Morella di Oregon. Dia akan melakukan operasi jantung pertamanya setelah setahun lebih menjalani ko-as. Keputusannya untuk pindah bukanlah tanpa alasan, hanya saja dia ingin memulai kehidupan barunya dan berencana melanjutkan pendidikan master-nya beberapa tahun setelahnya. Tersadar dari lamunannya, terlihat di layar handphone-nya ada lima belas panggilan tidak terjawab. Dia sudah menduga, tentu itu adalah Nath.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD