hodge-podge

3038 Words
Tidak ada yang mengatakan bahwa Hollywood 70-an hanya film dengan pembukaan, jeda, dan daya tarik yang jauh dari kehidupan manusia modern di abad ke-21 ini. Tidak, setidaknya sampai revisionis barat Sydney Pollack memompa ikonografi "manusia gunung" gadungan untuk meninggalkan legenda. Terlalu rumit bukan? Ya, setidaknya ini masih jauh lebih menarik dari lecture di sekolahnya. "Lalu, siapa yang dikatakan sebagai Conan of the Barbarian dalam mitos tersebut?" Tanyanya pada TV digital yang sedang menayangkan 'Jeremiah Johnson', film Hollywood keluaran tahun 1972. Dia memang sangat senang  terhadap film terdahulu seperti film thriller 'The Edge' yang juga merupakan film 70-an. Dia menyebut dirinya sebagai historical addict, dan juga aesthetically pleasing woman. Menurutnya, film 70-an itu mempunyai vibes estetika visual dan juga karakter utama yang keren dibandingkan dengan film modern. "Gue demen nih sama Hoppkins. Keliatan seksi banget Nath" Ujarnya dengan kegirangan. Dia sangat mengidolakan sang bintang film, Anthony Hoppkins. Apalagi Hoppkins terlihat seperti gentle man tangguh yang bertarung dengan beruang hutan. Di dunia nyata, apa masih ada orang yang berani bertaruh dengan beruang hanya demi maskulinitas? "Not really. Gue liatnya malah geli tau. Emang lo yakin, ada yang mau ngorbanin nyawa-nya demi maskulinitas?" Ujar Nath dengan malas. Dia memang tidak suka dengan film yang menurutnya tidak masuk akal. "Namanya juga film, nonton aja kali Nath"  Morella heran dengan sepupunya. Padahal hanya film, reaksinya berlebihan sekali. Acara menonton terus berlangsung hingga film selesai. Tidak lama setelahnya mereka memutar film dokumenter yang berasal dari ruang kerja Bundanya, Eve. Film itu memperlihatkan kehidupan ahli bedah Jantung dari Colorado, Amerika Serikat. "Kapan ya gue bisa kerja gitu?" celetuk Morella. Scene yang sekarang menampilkan bagaimana seorang dokter bedah bekerja. “Jadi, Lo mau kerja kayak bunda Eve?" Sedikit ragu, Nath bertanya ke Morella. Bunda-nya adalah seorang dokter bedah jantung di Charing Cross Hospital. "Ngga, gue cuman tertarik tentang bagaimana sains dan teknologi bisa membawa peradaban manusia seperti sekarang. Mereka yang paham sains menurut gue beruntung banget, dan gue pengen kayak Mereka bukan berarti mau kerja seperti bunda kan?" Morella tidak mau mengambil resiko dengan menjadi dokter bedah jantung. Dia tidak mau merasa bersalah seumur hidup, jika melakukan sedikit saja kesalahan fatal yang akan membunuh pasiennya. "Let's see, betapa hebatnya sains mengubah hidup manusia. Lo sadar ga sih kalau generasi  Bunda dan kita itu beda? Soalnya dulu mereka belum mengenal yang namanya teknologi, dan teknologi itu ada karena perkembangan sains" Imbuhnya. Benar kata Morella, peradaban manusia terus berkembang sejak berabad-abad lalu. Berkembang pesat di abad ke 21 ini, sains dan teknologi banyak mengubah manusia. "El, this's twenty-first century. Wajar-lah kalau banyak yang berubah" imbuh Nath "Ya terus dengan kita yang hidup di abad 21 ini nantinya ga akan ada lagi yang berubah? Coba pikirin baik-baik, gimana kalau semua umat manusia punya pikiran klasik kayak lo? Modernisasi juga ga bakal ada karena menurut mereka jaman mereka adalah yang paling baik. Inget, Manusia harus terus belajar sepanjang hidupnya" Manusia memang sudah diajarkan untuk 'being human involves' sejak dulu, namun tidak seperti jaman modernisasi yang mana manusia mempunyai hak untuk hidup bebas, jaman dahulu terlalu banyak aturan yang didasari oleh mitos dari nenek moyang. "Hmm, setuju. Tapi menurut gue ya, sains itu bersifat manipulatif" menurut Nath, hanya sains yang bisa membuat manusia percaya sama teori-teori yang sebenarnya hanya sebuah spekulasi, don't have evidence. Padahal, seharusnya sains itu bersifat nyata. Namun, beberapa oknum menyalahgunakan ilmu pengetahuan dengan mengembangkan teori-teori aneh. Who knows? Manusia semudah itu percaya apabila seseorang mengatasnamakan sains. "It's depend on whether you think scientist are, Nath. Kalau gue pribadi, jangan percaya kalau buktinya tidak kuat dan sah" "That's why, El. It's completely confusing. No one to be trusted." "Memang sudah seperti itu aturan hidup sebagai manusia modern. Makanya manusia harus pintar memilah mana yang benar dan salah, jangan suka nyari kambing hitam. Gue ga ngerti, Nath. How could you think so?" "No, I don't mean that. Maksud gue, yang 'scientist badungan' gitu El. Paham ga?" Penyebar hoax berkedok fakta ilmiah memang sudah banyak. Mengatasnamakan sains agar informasi yang disebarkan terlihat valid. "Makanya, jangan setengah-setengah, Nath" Morella jadi kesal sendiri dengan sepupunya itu. Bagaimana tidak? Nath selalu membuatnya salah paham. "Eh, Nath. Omong-omong soal sains gue jadi penasaran kok bisa manusia tumbuh menjadi lebih cerdas dari generasi sebelumnya ya? Terus gimana sih otak itu bekerja?" "Mau ganti profesi lagi?" Sembari tertawa hambar, Nath tau jelas sepupunya. Morella tidak pernah serius dengan satu hal. Hari ini dia ingin menjadi dokter, bukan berarti menutup kemungkinan bahwa besok ia ingin menjadi seorang Chef. Tergantung dari apa yang Ia baca dan tonton saat itu. "Lo emang paling tau jiwa gue seperti apa" Sembari tersenyum bangga                                                                                         ~♡~ Nath sudah pulang ke rumahnya selepas acara nonton-nonton dan deep-talk mereka. Rumah mereka bersebelahan, jadi hampir tiap hari Morella bertemu Nath. Bundanya yang baru saja pulang, mengajak Morella makan bersama. Ayahnya, Dominik, seorang marinir, jadi sangat jarang berada di rumah. Kakaknya pertamanya, Filip, seorang Physician yang baru saja menyelesaikan pendidikan S2-nya di Cambridge dan sudah tinggal terpisah dengan orang tuanya untuk mengejar karir dan cita-citanya sebagai NASA Scientist di Amerika Serikat. Dia hanya pulang satu tahun sekali untuk menjenguk orang tuanya.  Katanya dia terinspirasi dari seorang NASA Scientist bernama Alexei Arkhipovich Leonov, General-Major di NASA Russia. Kakak keduanya, Ola, seorang psychiatrist yang merangkap menjadi penulis science-fiction. Saat ini, Ola masih bekerja di kantornya. Biasanya dia pulang pukul tujuh malam kalau pasiennya tidak banyak, tidak lama lagi. "Bund, Ella mau nanya" Bundanya yang sedang memuat hidangan di piring Morella seketika menoleh. "Sure” Ella menjadi tremor karena tidak biasanya dia membahas masalah ini. Dia juga takut ibunya menaruh harapan padanya untuk bisa menjadi seorang dokter, karena saudaranya sudah memilih karirnya masing-masing. Dia sebenarnya mau,  hanya saja insecure dengan kemampuannya yang biasa-biasa saja. "Bunda kenapa bisa milih buat jadi dokter bedah jantung?" Bundanya tentu saja semangat menjelaskan kapada Morella karena dia tau anaknya itu dalam proses mencari jati diri dan cita-citanya. Dia akan sangat senang kalau Ella mau mengikuti jejak karirnya sebagai seorang dokter, karena dalam keluarganya dia adalah orang pertama yang menjadi seorang surgeon. Dia ingin Ella bisa menjadi penerusnya, tapi dia tidak memaksa kalau anaknya memilih jalan lain. “Bunda jatuh cinta dengan cara kerja jantung, Morella” "Mengingat seberapa menakjubkan dan beratnya kinerja jantung. Jantung berdetak lebih dari 60 kali setiap menitnya, dalam 1 jam, Jantung berdetak lebih dari 3600 kali, dalam 1 hari, jantung berdetak lebih dari 86,400 kali. Dalam 1 tahun, jantung berdetak lebih dari 31 juta kali dan berdetak 2.5 Miliar kali dalam 80 tahun! 2 side of heart, keduanya mengeluarkan 6 liter darah per hari. Lalu, bagaimana mungkin ada yang dapat menggantikan jantung manusia, Ella? Bahkan perangkat mekanis pun tidak ada  yang bekerja seperti jantung” Baginya, jantung itu bagian tubuh manusia yang istimewa, dan juga pusat kehidupan. "I was no great academic, and I struggled with math and physics. Whether I could really in to medical school?" Morella memang tidak begitu baik dalam pelajaran math dan physics. Tetapi, dia unggul dalam pelajaran Biology dan Chemistry. Dia terlalu pesimis untuk masuk ke medical school dengan kemampuannya. "Kerja keras adalah kunci utama buat bisa mendapatkan apa yang kamu mau, cerdas atau tidak itu urusan belakangan." Bundanya berusaha membuat Morella paham, bahwa pintar tidak selalu menjamin lolos ke medical school. Kerja keras adalah kunci utama. Dahulu, dia juga memasuki medical school setelah gap-year setahun. Dalam setahun itu, dia part timer di salah satu rumah sakit untuk memindahkan pasien anastesi ke tempat tidur mereka, sembari mempelajari basic knowledge untuk menjadi seorang dokter. That was not easy.                                                                                         ~♡~ Menjelang akhir semester, Morella sangat sibuk dengan tugas akhir, dan les persiapan ujian masuk universitas. Dia juga sudah mulai melakukan riset essay sebagai salah satu persyaratan masuk di kampus tujuannya. Saat ini, para siswa dikumpulkan untuk konsultasi dengan profesor yang sengaja berkunjung untuk memberikan referensi jurnal ilmiah untuk mendukung essay mereka. Ada satu journal menarik yang dibacanya dari galeri jurnal Carl Sagan. Sang profesor juga menyarankan untuk banyak melihat source dari Tn. McCarthy. This's not that simply as you see, huh, batinnya. "Besok kita belajar bareng ya, El. Gue mau minjem paper lo sekalian." Setelah profesor kembali ke ruangannya, mereka saling bertukar ide. Akhir-akhir ini dia sedang banyak membaca karya ilmiah dari Bertrand Russel. Audi, teman sekelasnya yang kebetulan mempunyai buku 'what I believe' by Bertrand Russel, kemudian janjian untuk saling bertukar source. Sebagai gantinya, Morella akan meminjamkan jurnal ilmiah berjudul 'The Disabilyty Blues' milik teman bundanya, Dean Schilinger, MD. "Right, bye!" Setelah berpamitan, temannya langsung berlari keluar sekolah karena bus sekolahnya sudah tiba sedari tadi. "Nath, lo mau kemana?" Tanpa sengaja, Morella melihat Nath berjalan berlawanan arah dengan pintu keluar. "Gue laper, pengen makan dulu baru balik rumah. Kenapa?" Tidak biasanya Morella menyapa dirinya di sekolah. Mereka benar-benar tidak terlihat akrab di sekolah. “Gue ikut” Mereka berdua kemudian memutuskan untuk makan bersama di kantin. Mereka lalu memutuskan untuk memesan sandwich dan duduk di pojokan. Kantin sekolah yang tampak sepi, membuat mereka lebih leluasa untuk bercerita. Kalau tidak begitu, Nath mana mau ke kantin. Anaknya introvert, jadi tidak nyaman bertemu banyak orang. " Gue tadi ngobrol di ruang seni, kebetulan anak art" Celetuk Nath tiba-tiba. Morella menoleh setelah mendengar kata art. Pasalnya kekasihnya, David, juga anak art. Kekasihnya itu bukanlah Most Wanted apalagi idola sekolah, melainkan hanya seorang lelaki penyuka seni yang kebetulan bertemu Morella di festival art 3 tahun yang lalu ketika Morella masih duduk di bangku Sekolah Menengah.  "They've a good idea. I'll tell you" imbuh Nath. Dia agak antusias kali ini, seperti baru bertemu dengan idola. Meskipun Morella tidak yakin, siapa yang idola gadis itu. Nath bahkan belum pernah bercerita tentang lelaki yang dia sukai kepadanya. "Gue tadi di ajak ikut kelas lukis" "Then? Lo kan anak sains, Nath. Mau lintas jurusan?" "Nope, gue cuman jenuh aja. Jadi, gue mau gabung sekalian refreshing." "Lo beneran jenuh apa capek?" Dia tidak tau apakah sepupunya itu memiliki bakat melukis yang terpendam atau hanya melampiskan rasa lelahnya dengan melukis? Menurutnya, melukis itu melelahkan. "Morella sayang, don't get too much deal with it. Jangan ngerasa terbebani sama tugas akhir. Nikmatin aja, kerjain pelan-pelan biar ga capek. Namanya juga anak sekolah pasti jenuh sama tumpukan tugas" Benar kata Nath, dia terlalu memaksa dirinya untuk semua tugas akhirnya. Dia takut tidak bisa lolos ke medical school, takut jika bundanya kecewa. Terkadang, Morella merasa lelah karena terlalu push dirinya mengerjakan tumpukan paper. Padahal, dia bisa saja mengerjakannya sedikit demi sedikit agar bisa memaksimalkan apa yang dipelajarinya. “El, gimana kalau kita jadi aktris aja? Kan enak tuh, ga ada tugas, ga usah belajar math yang penting jago acting." Nath benar-benar gila, sekarang. Sejak kapan sepupunya ingin beralih profesi menjadi aktris? Dia bahkan tidak mau disorot oleh kamera, apalagi harus berlakon di depan kamera dan sutradara. Mukanya sudah tampak masam sekarang. "Just Kidding!" Imbuh Nath sebelum Morella sempat berbicara. Nath sudah tertawa terpingkal-pingkal. Dia hanya merasa lucu dengan ekspresi Morella tadi. Lama tidak ada respon, Nath tau Morella sedang ada masalah. Dia tau jelas masalah yang sedang dihadapi sepupunya itu. Dia juga kasihan apabila Morella tidak menikmati prosesnya dan menjadi tertekan. Dia juga tau kalau Eve, Bunda Morella tidak pernah memaksa sepupunya. Hanya saja, Morella yang memang hobby memendam masalahnya.  "Morella, pelan-pelan, jangan dipaksa. Gue yakin lo bisa" Nath paham betul, Morella tertekan dengan posisinya yang sekarang. Meskipun orang tuanya tidak pernah bicara secara langsung, tetapi Bunda Morella selalu saja membahas progres essay Ella. Dia hanya takut, tidak bisa memenuhi ekspektasi kedua orangtuanya. Bagi Nath, Morella terlalu memaksakan dirinya. Kalau tidak mau, tinggal bilang tidak. Tapi, sepertinya dia juga menginginkannya.                                                                                     ~♡~  Saat ini, dia sedang berada di koridor depan ruang art. Setelah makan bersama Nath, Morella pamit duluan karena David memanggilnya. Entah kenapa, hanya saja mereka memang sudah tidak bertemu selama seminggu karena sibuk dengan tugas akhir. "Hai, Apa kabar Dave?" Seperti itulah cara mereka berkomunikasi. Hanya sekedar berbasa-basi untuk memulai percakapan, tanpa cipika-cipiku seperti pasangan pada umumnya. "Seperti yang kamu lihat. Kamu?" Sembari tertawa hambar. David tampak kurang baik sekarang. Lihat saja, kantung matanya sudah mirip seperti panda. Dia kelihatan kurang tidur dan banyak pikiran, sepertinya. "Aku baik. Ohiya, Kamu mau ngomong apa?" Tanyanya kepada David. Dia merasa sangat lelah, dan sangat ingin cepat pulang untuk beristirahat. "Morella, Aku sudah berkomitmen untuk hubungan ini selama 2 tahun lamanya. Aku pikir kita berdua terlalu antagonis untuk memaksa hubungan ini tetap lanjut" Ucapnya dengan serius. David secara tiba-tiba membahas pasal hubungan mereka. “Apa yang salah?” Tidak ada yang salah, setidaknya itu yang dipikiran Morella sekarang. Pasalnya, mereka hampir tidak pernah bertengkar. Mungkin dia hanya sedang kelelahan, pikirnya. "Aku ga bisa LDR. Aku akan berkarir sebagai aktor di Florida setelah lulus nanti" pernyataan yang tentu saja sangat mengejutkan bagi Morella. "So, which decision feels best to you?" Morella bertanya, lagi. Sepertinya dia mulai paham kemana arah pembicaraan mereka.  "Well, I think..." David memberi jeda dengan ucapannya karena takut menyakiti perasaan Morella. "Morella, ini terlalu berisiko buat kita berdua. Hubungan ini akan menyakiti Aku dan Kamu. We have a different way"  David yang bercita-cita menjadi seorang bintang film, dan Morella yang bercita-cita menjadi seorang surgeon. Mereka sangat bertolak belakang, bukan? "Mari kita akhiri hubungan ini. Aku kira ini adalah keputusan terbaik untuk kita berdua. Kita tetap bisa menjadi teman baik bukan? Aku selalu dukung apapun pilihan Kamu sejak awal, mari mencari kehidupan yang kita dambakan." David tau semua hal tentang Ella. Ella yang selalu merasa insecure dengan kemampuannya untuk masuk ke medical school dan Ella dengan segala keluh kesahnya. Baginya, David bisa menjadi kekasih sekaligus sahabatnya. Berpisah dengan David sama saja membuatnya kehilangan satu teman baik. "All the processes take a time. Shall we?" Imbuh Morella kepada David. Dia  butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh David. David sebenarnya juga butuh waktu untuk ini. Dia masih menyayangi Morella, tetapi dia tidak siap apabila harus menjalani LDR 'Long Distance Relationship' dengan kekasihnya. Jadi, dia memutuskannya sekarang agar bisa cepat move-on dari Morella. Begitupun dengan Morella, dia memang tidak menyangka akan putus dari David setelah berpacaran selama 2 tahun. David benar, mereka harus jaga jarak untuk bisa fokus dengan impiannya masing-masing. Tetapi, bolehkah dia bersedih? Dia benar-benar kehilangan teman baiknya dan orang yang disayanginya. "Morella, Hidupmu akan baik-baik saja tanpa Aku. Janji?” Perkataan David sangat deep kali ini. Morella tampak berkaca-kaca dan sebentar lagi akan menangis. Bukankah perpisahan ini terlalu manis untuk mereka yang baru saja putus? Ini akan mempersulit proses move-on. Belum lagi, dia yang sebentar lagi ikut ujian akhir, dan essay-nya yang belum selesai. Dia merasa sangat chaos, sekarang. "David, Semoga Kamu beruntung dengan impianmu. Tidak ada yang bisa aku janjikan untuk itu. Dulu, Kamu terlalu sering berjanji tapi sekarang Kamu yang ingkar.” Oh, jadi ini yang dinamakan patah hati?, batinnya. Dia belum pernah patah hati sebelumnya. David adalah kekasih sekaligus cinta pertamanya. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan sekarang? Menangis? Atau biasa-biasa saja? Dia ingin menceritakan hal ini kepada Nath, tapi dia tau bahwa Nath tidak akan mengerti. Nath sendiri belum pernah berpacaran selama ini. Dia mana paham rasanya putus cinta, batinnya. Setelah tiba di rumah, seperti biasa, Morella langsung bergegas untuk mandi dan beristirahat karena merasa sangat kelelahan. Untung saja dia sudah makan di kantin sekolah. Jadi, tidak perlu repot-repot memasak. Bunda dan Ola sepertinya belum pulang, pikirnya. Menjelang akhir pekan, pasien di rumah sakit Bundanya bekerja dan tempat therapy Kakaknya memang lebih ramai daripada biasanya. Sebelum tidur, dia menyempatkan diri untuk membaca buku dari kamar kakak laki-lakinya, Filip. Dia senang masuk ke kamar Filip karena kakaknya itu mengoleksi banyak buku bacaan. Ada banyak genre disana. Hebatnya lagi genre kesukaan mereka sama persis, Nature of Man. Entahlah, Morella juga heran asal mula ia menjadi fanatik dengan genre tersebut. Tidak seperti anak-anak yang sepantaran dengannya, ya tidak usah salty. Tiap orang memang mempunyai kegemarannya masing-masing, tidak ada yang perlu dipaksakan. Malam ini Morella memutuskan membaca buku yang berjudul Finding Your Own North Star, Penulis buku tersebut adalah Martha Beck, dia adalah seorang life-coach dan juga sociologist-trainee lulusan Harvard University, lagipula ia telah menerbitkan sejumlah karya yang masuk ke dalam list buku favoritnya. Sangat pas dengan suasana hati Morella saat ini, sedang butuh hiburan pasca putus cinta. Dia membaca buku tersebut hingga hampir setengah buku, tetapi karena Bunda dan Ola, kakaknya belum kunjung pulang, maka dari itu dia memutuskan untuk menyudahi baca buku karena Morella sudah sangat mengantuk. Sebelum keluar, dia terlebih dahulu merapikan dan menyimpan buku yang telah ia baca pada tempatnya. Mereka memang selalu diajar untuk menghargai dan menjaga milik saudaranya meskipun Filip sedang tidak di rumah, kebiasaan kecil yang di ajarkan orang tua mereka berdampak pada anak-anaknya yang tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab, ya setidaknya itu harapannya. Morella kemudian keluar dari kamar Filip selepas beres-beres. Namun, di depan pintu kamar Filip, dia menatap tempelan karikatur pokemon disertai tulisan kecil yang sepertinya buatan tangan kakaknya. Sudah lama begitu dan selalu seperti ini. Ketika ia keluar kamar, maka itu akan menjadi pusat perhatiannya. Isinya seperti ini: "To do list" 1. Bangun 2. Lakukan 3. Tidur Aneh, pikirnya. Filip tidak muluk-muluk, tapi kata "lakukan" adalah pencapaian harian yang tidak semua orang sanggup lakukan.  Ada satu hal yang paling membekas di ingatannya, kakaknaya pernah berkata; Claim the life you were meant to live. Sepertinya Morella tau, dia barusan membaca buku dari penulis yang mengatakan itu tadi. Sekarang dia paham maksud kakaknya itu, yaitu agar Ella, tidak menggapai sesuatu karena orang lain. Lakukan apa yang ia mau dalam hidupnya, bukan karena apa yang orang lain harapkan. Sangat relate dengan apa yang ia rasakan sekarang 'hodge-podge' katanya. Dia jadi ragu, apakah dia bisa menciptakan 'ideal world' versinya? Tapi, mengapa dia terus hidup dalam bayangan ekspektasi orang tua. Jadi anak bungsu memang begini, dipaksa untuk memenuhi ekspektasi yang tidak dipenuhi anak pertama atau kedua. Meskipun tidak selalu begitu, tapi Dia bisa apa? Tidak ada yang perlu disalahkan sekarang. Dia juga tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, dia hanya menyalahkan diri sendiri yang terlalu takut untuk jujur ke diri sendiri. Padahal, orang tuanya tidak pernah memaksa Morella. Dia jadi ingin belajar bagaimana cara memberi penolakan yang halus ketika tidak menyukai sesuatu. Entah kenapa, pikiran dan apa yang ia ucapkan tidak pernah selaras hanya karena takut menyakiti orang lain. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD