Phone

1531 Words
Kami berjalan keluar kamar setelah berpikir panjang tentang naskah milik Sofia yang hilang. Dia akhirnya menemukan naskah-nya, akan tetapi masih ada beberapa bagian yang tidak lengkap. Mau-tidak-mau, ia harus melengkapi setelah acara kami malam ini bersama kawannya. Entah karena cuaca yang terasa tidak mendukung aktivitas kami, aku merasa seperti akan diserang demam. Padahal, sebelum keberangkatanku ke Estonia, aku telah terkena demam selama satu minggu lamanya di hotel. Ah, soal Polandia... aku jadi sangat merindukan negara asalku. Kalau di pikir-pikir, aku telah meninggalkannya hampir seminggu. Aku ingat, natal tahun kemarin aku tak bertemu satu-pun keluargaku. Tapi, aku bertemu dengan seorang anak kecil berusia sekitar sepuluh tahun. Aku tak tau pasti berapa usia-nya, kami tak berkomunikasi. Anak itu adalah seorang penderita sulit-mendengar. Tidak, dia bukan tuna runggu. Masih bisa mendengar suara di sekitarnya tetapi sangat susah baginya untuk fokus mendengarkan apalagi saat banyak orang. Kala itu, di malam natal aku duduk memperhatikan banyak orang yang sedang bermain di atas air yang beku bersama sepatu ski mereka. Pohon-pohon sekitar yang telah di hiasi ala pohon natal juga ikut menyala-nyala di tengah gelapnya malam. Anak lelaki itu datang dan duduk tepat di sampingku tanpa takut. Aku yang masih sibuk memperhatikan orang-orang, tak menyadari bahwa ia memberiku sepotong roti dan sekotak s**u cokelat. Aku melihatnya dan berkata "untukku?" Ia mengangguk, aku lalu mengambil pemberiannya di tangan kecilnya yang sangat dingin. Aku memakan pemberiannya di dekatnya agar ia merasa senang bahwa aku memakannya. Selama aku memakannya aku tak melihat ke arah anak itu sama sekali, tetapi aku tau ia melihatku sedari tadi. Ia kemudian bertanya kepadaku, "Apakah kau merasa sangat kelaparan?" Aku berhenti lalu melirik makanan milikku yang belum kunjung habis dan anak tersebut secara bergantian, lalu berbisik kepada diriku sendiri 'Apakah aku terlihat menjijikkan saat makan? Atau terlihat rakus dan seperti orang kelaparan?' "Hey, apa kau mendengarku?" Aku tersadar lalu berkata,"Ah, tentu saja. Bukan begitu, aku menyukai roti pemberianmu dan aku akan menghabiskannya karenanya. Dimana kau mendapatkan roti seperti ini?" Aku bertanya kepadanya untuk mencairkan suasana. Lagipula aku tak memiliki komunikasi yang begitu baik bersama anak-anak kecil seusianya. Dia memandangiku, lalu berkata, "Bisa kau ulangi apa yang baru saja kau ucapkan?" aku kemudian mengulangnya lalu berkata ada apa dengannya? Dia memberitahuku jika berkomunikasi dengannya tak bisa seperti berkomunikasi dengan orang normal. Dia menggunakan alat bantu dengar namun tetap saja sulit baginya memahami maksud orang yang berkata dengan sangat cepat. Aku lalu meminta maaf kepadanya lalu kami lama saling tak berbincang. Dia kemudian berkata, "Aku membeli roti itu setelah mendapatkan hadiah natalku. Aku melihatmu duduk disini sejak sore, padahal ini adalah hari natal, dimana semua orang berkumpul bersama keluarganya. Apa kau tak mempunyai keluarga?" "Ah, begitu. Ya, benar, aku tak mempunyai keluarga. Bagaimana denganmu?" Aku hanya tersenyum pilu mendengar pertanyaan anak itu. Anak-anak saja tau jika hidupku semenyedihkan ini. Ah aku tiba-tiba merasa sangat sedih, tapi tak apa. Aku tak perlu terlalu memikirkannya, toh itu hanya pertanyaan biasa. "Aku tak pernah bertemu keluargaku, jadi aku selalu berada di taman ini setiap natal tiba. Dengan begitu aku tak melihat keluarga orang lain yang sedang merayakannya bersama-sama keluarganya" Dia terlihat menggeleng santai lalu meminum s**u yang ada di tangannya. "Benarkah? Lalu, kau tinggal bersama siapa?" Aku merasa sangat bersalah setelah bertanya seperti itu. Dia pasti merasa bersedih karena melihat semua orang merayakannya bersama keluarga. Dia terlihat celingak-celinguk seperti mencari sesuatu. "Kau tau, rumah panti di ujung sana?" Dia bertanya kepadaku, lalu aku mulai melihat rumah yang terdapat banyak anak-anak di dekatnya. "Ah rumah bata itu?" Dia mengangguk perlahan lalu berkata lagi, "Ya, aku tinggal di rumah itu sejak lahir hingga saat ini. Semua orang yang berada disana tak mempunyai keluarga." Aku mengangguk paham mendengarnya. Aku jadi merasa simpati kepada anak itu. Dia masih kecil dan harus merasakan kesusahan hidup. "Kau tak ingin tinggal di tempat kami juga" Dia tiba-tiba bertanya seperti itu. Lalu aku melihatnya dengan sedikit heran, apakah ia tak melihatku sebagai orang dewasa?' "Aku sudah dewasa dan bekerja. Jadi, aku bisa menghidupi diriku sendiri tanpa berada disana" Aku berusaha menjelaskannya kepada anak itu agar ia paham. Dia melihat ke arahku dan roti yang baru saja kuhabiskan, "Baiklah, jika kau tak mau. Aku hanya mengajakmu agar kau tak merasa kesepian tinggal sendiri. Kau tau, di rumah kami sangat banyak anak-anak dan para suster yang menyayangi kami semua." "Benarkah? Kau pasti sangat bahagia bukan?" Anak itu terlihat murung seketika mendengarku bertanya, "Aku tak yakin tentang hal itu. Mereka tak lagi menyukaiku, aku pikir. Mereka hanya mencintai anak-anak yang baru lahir dan merawatnya dengan sangat baik. Mereka tak lagi merawatku dan memberi makan yang layak seperti dahulu. Kamu harus menunggu para pendonor dana di rumah asuh kami datang setiap bulan untuk bisa merasakan perut yang kenyang. Mereka tak peduli dengan isi perut kami, bahkan dimana pun kami tidur bukan urusan mereka." "Aku kira mereka membuangku. Maka dari itu aku mengajakmu, aku pikir kau bisa menjadi teman yang baik" Dia melihat ke arahku dengan senyum yang menampakkan kedua giginya yang tanggal. "Turut bersedih mendengarmu. Apa yang kau nantikan selama disana? Aku sangat meminta maaf karena tak bisa tinggal bersamamu dik." "Aku selalu menantikan orang tua yang akan datang dan mau mengadopsiku sebagai anaknya." Dia banyak bercerita setelahnya. Mulai dari seorang bayi merah muda yang menangis tiap malam dam menganggu tidurnya. Pasalnya anak yang menangis itu tidak hanya satu, tetapi banyak. Dia mengatakan kepadaku bahwa anak-anak yang di angkat oleh orang tua kaya hanyalah mereka yang berpenampilan menarik (tampan dan cantik), rajin beribadah, dan tidak nakal. Dia sudah berusaha memperbaiki penampilannya setiap hari, selalu berdoa di gereja tiap hari, dan tidak pernah berbuat nakal. Lalu kemudian mengatakan, "Temanku bilang, tak ada yang mau menjadikanku anak karena aku kehilangan kedua gigiku saat menolong temanku yang terjatuh saat di dorong oleh teman yang lain." Dia banyak bercerita padaku, sebelum akhirnya dia berpamitan karena orang tua angkat akan mereka datang berkunjung ke panti dan memilih calon anak mereka. "Terima kasih telah menemaniku bercerita walaupun kau harus mengatakannya secara berulang-ulang. Aku pasti akan sangat senang apabila bertemu denganmu di kemudian hari." "Di kemudian hari?" tanyaku kepadanya "Ya, apa kau tidak ingin bertemu denganku lagi?" "Ah, bukan begitu. Tentu saja kita akan bertemu. Kau anak yang pintar, aku akan menemuimu jika aku sempat mengunjungi rumah-mu." "Bagaimana jika seseorang mengadopsiku? Apakah kita tak akan bertemu lagi?" "Tuhan akan mempertemukan kita. Kau percaya itu?" Anak itu mengangguk dan tertawa mendengarku. "Tunggu, aku tak tau siapa namamu? Bagaimana aku akan memanggilmu saat kita bertemu nanti?" "Harry Wilson, kau bisa memanggilku dengan Harry." "Nama yang bagus! Aku Morella, dan kau harus mengingat namaku haha" Aku mengeluarkan sedikit candaan. "Tentu saja, Morella. Sampai bertemu lagi!" Harry kemudian berlalu dan segera kembali ke rumah asuh-nya. Aku melihat dari kejauhan anak lelaki yang mengenakan sweater berlapis dengan sarung tangan berwarna hijau. Tak seperti anak-anak lain yang mulutnya akan dipenuhi cokelat saat natal tiba. Anak itu sangat rapih dan bersih. Semoga saja dia bertemu orang tua angkat yang ia idam-idamkan sedari dulu. Apa salahnya mengangkat anak dengan gigi yang tanggal? Anak itu tak terlihat lagi dalam pandanganku namun aku bisa melihat dari kejauhan rumah tersebut sangat ramai oleh pasangan-pasangan yang datang untuk mencari angggota keluarga baru. "Morella! kemana saja kau? Aku mencarimu sedari tadi" Terdengar Sofia yang dari kejauhan memanggilku dengan sedikit raut panik. Aku memang tak mengikutinya sedari tadi dan sibuk memandangi anak-anak yang sedang bermain ski di pelataran wahana mall ini. Tampaknya hari ini mall sangat ramai pengunjung, dan aku tak suka bila harus berdesak-desakkan dengan pengunjung lain. "Aku menunggumu disini, bukankah kau ingin berbelanja? Aku akan melakukannya lain waktu." Tanpa ba bi bu, Sofia langsung menarik tangan kiriku untuk mengikutinya. Saat kutanyai ada apa, dia menjawabku, "Aku ingin membelikanmu sesuatu, jadi ikut saja ya." Aku hanya mengikutinya dari belakang dan melihatnya masuk ke dalam sebuah toko handphone. "Sst... apa yang kau lakukan disini?" Sofia tak membalasku, dia menarikku ke salah satu tempat yang sangat ramai. Di atas kolase tersebut terdapat dua buah benda pipih berbentuk persegi panjang. Aku tau benda itu adslah handphone, tapi milikku yang kuletakkan di rumah tak seperti itu. Aku menduga itu adalah produk terbaru, dan aku tak pernah tertarik membeli dan membuang uangku untuk hal-hal seperti ini. "Kita pulang saja, disini sungguh sangat ramai pengunjung, Sofia." "No, no... kau harus memilihnya. Aku telah membelinya tadi, aku ingin kau juga memiliki barang yang sama. Kita akan pergi ke laut selama berhari-hari dan benda ini akan membantu kita." Aku melihat benda di depanku ini lalu kembali menimbang-nimbang apakah aku membutuhkannya atau tidak. "Baiklah, aku memilih yang ini." Aku memutuskan untuk mengambil handphone berwarna biru muda di depanku. Warna biru adalah kesukaanku, dulu orang-orang akan sibuk bertanya tentang alasanku menyukai warna tersebut. Aku akan dengan senang hati menjawabnya "Karena ayahku bekerja di laut dan laut adalah berwarna biru." Sebab itulah banyak orang memanggilku putri ayah yang manja. Ah, tapi aku adalah gadis dewasa saat ini. Setelah memilih dan berbincang-bincang tentang cara penggunaan barang ini, kedua customer service lalu berlalu untuk mengurusi beberapa permintaan Sofia. Aku melihat sofia sibuk membaca brosur yang berisikan gambar-gambar telepon genggam. "Mengapa kau tak memberi tahuku? Ini pasti sangat mahal... Sebaiknya uang-mu kau simpan saja." "Tak apa, lagipula aku baru sekali ini membelikan temanku barang yang sama dengan milikku. Aku hanya merasa takut jika kita berpisah nanti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD