Addity

1005 Words
Addity, gadis berwajah pucat dengan senyumnya yang menawan. Aku tak percaya bertemu dengan gadis salju ini disini. Gadis yang hanya bertahan selama 1 minggu di sekolah kami. Gadis yang katanya sudah sering berpindah-pindah sekolah hingga memutuskan untuk berhenti sekolah. Saat aku bertanya, "Bagaimana kabarmu, Addity?" Gadis asia itu malah celingak-celinguk kebingungan. Ah, apa mungkin dia tak mengenaliku lagi? Aku memperkenalkan diri sebagai kawan SMA-nya 8 tahun yang lalu. Aku berpikir bahwa wajar saja dia melupakanku, dia berpindah sekolah lebih dari 25 kali. Tentu saja ia mempunyai banyak teman yang wajah dan namanya saja tak ia ingat. Tapi bagi kami, tak mungkin kami melupakan gadis aneh yang tak pernah ingin di ajak berbicara oleh siapapun. "Ah, kau? Senang bertemu denganmu!" Sapanya balik dengan senyum merekah. Aku tersenyum kikuk, sambil bertanya apa yang sedang ia lakukan disini.Tetapi ia mengatakan bahwa ia tinggal di sekitar wilayah ini. Aku agak kaget karena perubahan cara ia berbicara. Dahulu, ketika kami menyapanya, ia hanya melewati kami lalu duduk menyendiri. Saat kami mengajaknya berkenalan, dia menjauhi kami. Seolah-olah kami tak pantas berkawan denganya. Gadis itu kini telah menjadi gadis menawan dengan lebih percaya diri. Namun tak lama setelahnya, serang anak kecil menghampirinya dan memanggilnya 'Ibu'. Aku yang tampak kebingungan membuatnya buka suara bahwa itu adalah anak kandungnya. Ah, yang benar saja, dia sudah berkeluarga rupanya! Tak lama, seorang bertubuh tegak dan tinggi datang menghampiri Addity dan anak laki-lakinya. Dia adalah suami addity. Tampak bahagia sekali. Apa memang begitu, perempuan bahagia tergantung siapa pasangannya? Tapi, mengapa Bundaku tak begitu bahagia ketika bersama kami. Aku kembali terbayang-bayang bagaimana keluarga kecil kami dahulu ketika melihat keluarga Addity. Kami bahagia, tetapi peran ayah di dalam keluarga kami terlalu dominan sehingga apapun yang bunda suarakan tak pernah didengarnya. Lalu, Addity datang menghampiriku dan mengajakku mampir ke Kafè di seberang jalan. Itu adalah kafe milik Addity yang ia kelola selama beberapa tahun terakhir. Kafe yang memiliki kesan tradisional khas penduduk sekitar dengan paduan pernah pernik modern yang menambah kesan hangat. Kafe bernuansa alam, saat aku memasukinya, aku sudah mencium aroma à la carte. Makanan khas Perancis, yang rupanya juga dihidangkan bersama dengan sajian lainnya sebagai pengganjal lapar bagi para pengunjung. Tak lama setelahnya seorang waiter berjalan ke arahku dan bertanya 'Ingin pesan apa?' Aku yang awalnya baru ingin memesan kemudian dihentikan oleh Addity yang baru saja keluar, 'Dia adalah tamu spesialku, tolongan buatkan kopi terbaik dan beberapa cemilan ya' "Ah terima kasih, Addity." Ia hanya tersenyum hangat. "Kau terlihat bahagia, sangat senang melihat perubahanmu" tanyaku kepadanya sembari tersenyum canggung membuka obrolan. "Benarkah?" Dia tersenyum malu-malu, sembari menyelipkan satu helai rambut dibalik telinga kirinya. "Tentu saja, kau terlihat menikmati peranmu sebagai Ibu dan Istri. Senang berjumpa denganmu dengan keadaan seperti ini" Lama tak saling berbalas, Addity menatap pemandangan luar dengan tenang lalu berbalik kepadaku. "Dia menyelamatkan hidupku" ucapnya kepadaku "Menyelamatkan?" tanyaku sekali lagi memastikan. Ia mengangguk pasti lalu menyatukan kedua tangannya di atas meja yang kami tempati. "Aku tak bermaksud ingin membuatmu sedih, tapi apa ada sesuatu yang terjadi?" Addity tersenyum kepadaku, tak lama seorang waiters membawakan pesanan Addity. Aku segera mencicipi beberapa hidangan yang telah disajikan di depan kami. "Mm, ini terasa sangat enak!" "Terima kasih, Morella" Ucapnya secara tiba-tiba saat aku sedang menikmati a la carte. "Ada apa?" tanyaku balik karena kebingungan mengapa Addity tiba-tiba meminta maaf. "Kau ingat hari sebelum aku pindah kala itu?" tanyanya. "Tentu saja, aku hampir membujukmu menjadi temanku dan kau tiba-tiba pindah" Aku membalasnya dengan candaan. "Bukan itu, kau mengajakku bermain ke rumahmu" katanya lagi. "Kau mengingatnya? Aku pikir tidak, kau bahkan tak mengenaliku tadi" ucapku sambil tertawa santai. "Tentu saja, kau banyak berubah Morella" "Pun hal-nya denganmu, Addity" "Ini semua karena dirimu, Morella" mendengarnya mengatakan hal seperti itu, aku berhenti menguyah makananku dan menunjuk-nunjuk diriku keheranan 'A..aa..aku? Tapi kenapa?' Dia tertawa lepas, lalu menggam kedua tanganku, lalu melanjutkan "Kalau kau tak mengajakku ke rumahmu, Ayahku sudah menjualku kepada temannya" "Ah tenang saja, kita ini teman" ucapku sembari menepuk-nepuk bahunya dengan bangga. Aku melanjutkan makanku, tetapi t..tunggu.... MENJUAL?! Apa yang di jual? "Hey, apa maksudmu ayahmu akan menjualmu?" "Dia menggadaikanku kepada temannya karena tak sanggup membayar utang." Aku yang kaget lantas verdiri dari tempat dudukku lalu menutup mulut secara dramatis. "Ah, duduklah Morella" Dia tertawa canggung melihatku yang kaget. Setelahnya aku bertanya, "Bagaimana ceritanya hingga kau bisa sampai kesini?" "Aku bertemu dengan suamiku. Dulu, ia adalah anak yang tinggal di samping rumahmu." Ah! benarkah? Kenapa aku tidak tau ya. Setelah aku pikir, pantas saja kenapa wajahnya terasa tidak asing saat melihatnya. "Oh begitu ya, jadi apa yang terjadi? dan kemana kau pergi sejak hari itu?" Tanyaku dengan mode kepo dan rasa ingin tahu yang tinggi. Maklum saja, tak heran orang-orang menyebutku sebagai anak yang cerdas dan jenius sejak kecil. Aku bahkan hamoir melupakan masalah yang aku alami saat ini. "Turut berduka cita, Morella" kata Additi mengabaikan pertanyaanku dengan sekali lagi memegang kedua tanganku yang bertumpu di atas meja Tunggu-tunggu apa ini? "Kau sungguh tau hal itu? Tapi, bagaimana bisa? Sebenarnya selama ini kau kemana Additi?" "Aku tinggal di samping rumahmu hingga keluarga suamiku memboyongku untuk tinggal bersama di Estonia." Jadi dia menikah? Sejak itu? Ah apa ini... "Kau menikah dengannya?" tanyaku memastikan "Tidak, aku bekerja bersama keluarganya. Keluarganya banyak membantuku, dan mereka cukup berjasa di dalam hidupku. Kau tau, kalau kau tak mengajakku hari itu. Aku mungkin tak berada disini dan duduk bersamaku." Aku tak bisa membayangkan hal itu. Tapi sungguh aku juga tak mengerti, kala itu mengapa aku bisa sampai mengajaknya ke rumahku. Sangat jarang aku mengajak seseorang ke rumahku. "Ekhm, jadi kau tau saat kedua orang tuaku telah berpulang?" "Tentu, aku bahkan menghadiri pemakaman. Ingin rasanya aku menyapamu, namun melihatmu yang sedang bersedih membuatku mengurungkan niat." ucapnya "Ah, tapi aku menitipkan salam kepada sepupumu" katanya lagi. "Nath? Benarkah?" tanyaku disusuk dengan Addity yang menganggukkan kepala. "Sayang sekali dia tak pernah menyampaikan kepadaku." kataku. Lalu Addity berkata "Mungkin dia lupa." "Apa yang kau lakukan di Estonia, Morella?" tanya Addity kepadaku. "Aku berjalan-jalan disini, menenangkan diri dari rumitnya kehidupan duniawi" Sembari menatap ke luar jendela. "Aku tak menyangka akan menjumpaimu disini, Morella"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD