Ancestry

1040 Words
“Ola mengirimkan hasilnya” katanya. Sebelumnya, aku tak pernah menanyakan kepadanya apakah ia pernah melakukan tes genetik. Aku bahkan tak pernah mempertimbangkan untuk melakukannya, tetapi aku ingat bahwa Ola pernah mengatakan bahwa ia ingin tau apakah dia berisiko terkena penyakit keturunan? Selama dua puluh lima tahun usia pernikahannya dengan sang suami Michael, mereka tak kunjung dikaruniai buah hati. Dia adalah seorang psikoanalisis, tak heran bila selalu menjadi yang terdepan dalam hal medis. Aku telah mengirimkan email kepadanya. Saat ini Ola sedang berkunjung ke salah satu konferensi TED di Sydney. Dia telah mengirimiku balik kepadaku bahwa sebelum keberangkatannya dia telah mengirimkan sample yang dibutuhkan kepada klinik penyelenggara test DNA kami. Dia berpesan kepadaku bahwa hasilnya akan dikirim olehnya melalui email. Tetapi, hingga kini aku belum menerima hasilnya. Aku merasa antusias akan tetapi takut secara bersamaan. Memang nyatanya aku tak memasang ekspetasi apa-apa, tapi jika hasilnya yang keluar mengecewakan, aku tak mungkin bisa mengelak bahwa aku akan merasa sangat kecewa. Aku bahkan tak au mengapa gejolak marah ini selalu ada ketika seseorang bertanya dari mana aku berasal. Hey, aku bahkan baru akan mengetahui hasilnya di usiaku yang hampir menginjak kepala tiga. Beberapa hari pasca kedatanganku di Warsaw, aku menggeledah seisi rumah untuk menemukan beberapa foto peninggalan ayah-bundaku. Aku sungguh sangat bangga bisa menjadi bagian dari mereka. Melalui Ayahku, kami adalah bagian dari klan Yahudi Ortodoks yang besar. Sejarah keluarga yang paling aku banggakan dan cintai sepanjang hidupku. Kakek kami menjadi bagian dari pendiri Lincoln Square, salah satu institusi Ortodoks yang paling dihormati di negara kami. Paman kami pernah menjadi presiden persatuan Ortodoks. Kakek-nenek kami telah menjadi pilar komunitas Yahudi yang taat baik di Amerika maupun di Israel. Meskipun, aku bukanlah tipikal orang yang terlahir religius, akan tetapi aku mempunyai perasaan yang kuat tentang keluarga. Sebelum aku memeriksa email dari Ola, seorang perwakilan institusi tes DNA mendatangi rumahku bersama kakak tertuaku, Filipe. Aku mengajak mereka untuk masuk dan melihat hasilnya bersama. Mereka mengirimkan dua sample berisikan data elektronik kepada kakakku, Ola dan data fisik ke rumahku. Aku membuatkan kopi kepadanya lalu menghidangkan beberapa sajian sebelum akhirnya berbincang-bincang mengenai proses pengujiannya. Kami ingin memastikan bahwa kami memilih tempat yang benar. Sebagai seorang dokter bedah, aku mengetahui sedikit banyaknya tentang proses pengujian genetik. Surat yang terbungkus rapih di atas meja yang berisikan hasilnya masih tersegel rapih. Aku merasa penasaran juga takut melihatnya. Beberapa minggu sebelumnya, aku mendatangangi OrthoDNA klinik sesuai permintaan mereka bahwa kit kami telah siap. Mereka lalu memberiku tiga kit DNA untuk diberikan kepada Filipe dan Ola. Setelah memastikan kit tersebut telah dipegang olehnya, aku kemudian melakukan sendiri. Kami diberikan kit berisikan dua buah botol dan plastik kecil beserta beberapa kertas putih dan catatan tentang cara penggunaannya. Botol pertama akan kugunakan untuk memasukkan sample rambut. Mereka memintaku untuk melakukan keramas sehari sebelum memasukannya. Botol kedua akan kugunakan untuk memasukkan sample air liur. Aku merasa jijik ketika melakukan hal tersebut karena membuat tubuhku sedikit berjongkok dikarenakan ukuran botol yang cukup kecil bagiku. Aku hanya merasa konyol dan tidak bermartabat. Aku bertanya-tanya apakah apa yang kumakan hari ini akan memperngaruhi hasilnya? Hari ini aku mengonsumsi segelas anggur dan beberapa potong daging domba. Bau dagingnya cukup menyengat, aku lupa membersihkan gigiku sebelum melakukannya. Kemudian aku membuka sebuah surat yang merupakan bagian dari kit tersebut mengatakan bahwa aku diminta untuk meletakkan kertas kecil tersebut di dalam botol selama beberapa menit lalu mengirimkan hasilnya bersama dengan kedua botol tadi ke klinik mereka. Aku membungkus seluruh kit-nya kembali lalu melabelinya dengan namaku dan menyegelnya menggunakan kertas yang dikirim bersama di dalam kit. Aku kemudian langsung mengirim hasilnya ke klinik mereka saat itu juga. Dua minggu berlalu, dan aku sebenarnya tak terlalu memikirkan perihal hasil tes tersebut. Aku tengah mendalami sebuah studi kasus yang dikirimi rekan kerjaku dari Portland. Aku bekerja secara remote, untuk melakukan penelitian sampai kepulanganku ke Oregon yang aku sendiri tak tau pasti kapan aku akan kembali. Aku telah melupakannya sampai hari ini mereka datang ke rumahku bersama hasil di tangannya. Ah, aku merasa sedikit ketakutan. Kami lalu memutuskan untuk membukanya bersama. Ola mungkin telah membukanya terlebih dahulu. Menurut hasilnya, DNA milikku adalah 45% Ashkenazi Eropa Timur. Sisanya adalah Prancis, Irlandia, Inggris, dan Jerman. Aneh, tapi aku tak punya bukti apa-apa untuk membandingkannya. Aku tak merasa terganggu dengan hasil DNA tersebut. Hanya saja aku merasa sedikit heran dengan maksud dari surat ini, pasalnya hasilnya sangat rendah dan kakek-nenek buyutku dari pihak ayah maupun bundaku adalah orang Yahudi dari Eropa timur. Aku mengesampingkan hasilnya dan berpikir positif bahwa pasti ada penjelesan yang masuk akan mengenai kebenarannya. Di sebuah lemari di bawah televisi kami, aku menyimpan beberapa Salinan documenter tentang kehidupan pra-perang di Polandia, berjudul ‘Image Before My Eyes’. Film ini mencakup cuplikan arsip yang di ambil oleh kakek kami selama kunjungan tahun 1931 ke Horodok, desa keluarga. Saat itu dia adalah seorang pemilik pabrik kain yang sukses, buyut kami pergi bersamanya. Film ini membawaku ke masa lalu, saat dimana semua wanita berpakaian hitam sederhana dengan menggunakan penutup kepala kecil, duduk bersama dengan anak-anaknya yang memadati desa yang penuh dengan kunjungan turis dan wisatawan dari negara Asia maupun Amerika. Kakekku? Dia memegang sebuah kamera saat wanita-wanita tersebut menari di sekelilingnya dalam lingkaran yang melebar. Kemudian aku memotong film-nya karena setelahnya hanya ada bagian hitam dan putih. Kakek dan kakek buyut kami terlihat sedang berdoa dimakam kakek moyang kami. Aku bisa mendengar irama-irama yang tak pernah kudengar sebelumnya, namun terdengar tak asing bagiku. Mereka melafalkan Kaddish dari Mourner. Kakek terlihat menyeka air matanya. Pada tahun ketika orang tua kami masih ada, kami beberapa kali berkunjung ke desa tersebut dan beberapa kali merekamnya untuk membuat documenter terbaru. Aku selalu terpaku dan menghentikan langkahku di sebuah batu tua yang kasar dan di ukir dalam bahasa Ibrani. Bundaku bertanya kala itu, “Apa yang kamu lihat?” Aku berhenti sejenak lalu melihat ke arah batu tersebut sekali lagi. “Itu adalah tempat dimana kami berasal. Itu adalah tempat dimana kakek buyutmu di makamkan.” Kata bundaku sekali lagi. Rasanya senang bisa mengetahui hal-hal sekecil ini. Bagiku ini sangat penting untuk membuatku tersadar akan silsilah leluhur kami, sebidang tanah tempat kami berasal, sumber roh yang diturunkan bagi kami, dan sebuah hubungan kekeluargaan. Tentu saja, batu nisan tersebut kini telah dibajak untuk kepentingan reservasi desa untuk dijadikan ladang kekuasaan bagi para penjilat dolar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD