2. Everyday War

1273 Words
Jinyoung berdiri mematung, terlalu terkejut sampai ia rasakan degup jantungnya yang sempat berhenti. Ia yakin suara bentakan Changmin terdengar hingga keluar ruangan bahkan semua orang dilantai 5 akan bisa mendengarnya, karena pria itu memiliki suara teriakan yang sangat tinggi untuk emosinya. “Kau terlambat lagi!” Changmin membanting kertas yang sedang ia pegang, Jinyoung bersyukur korban bantingan Changmin bukan laptop didepannya. Jinyoung memulai keahlian beraktingnya dengan tampang sedih, menderita dan bersalah Jinyoung membungkukkan badan tiga kali dan mengucapkan kata maaf berulang kali. Changmin berkacak pinggang, ia berdiri dan berjalan kearah Jinyoung dengan mata yang menyalang. Walaupun Jinyoung menunjukkan aktingnya walaupun dalam hati ia berdoa agar masih bisa melihat matahari terbenam hari ini. “Kau tahu apa yang lebih menyebalkan darimu dari sekedar hanya terlambat!” Changmin menggeram mencengkram kerah kemeja Jinyoung. Jinyoung tidak ingin menjawab dan mempersiapkan p****t berisinya untuk menjadi tumpuan. “APA YANG KAU LAKUKAN SAMPAI LUPA DENGAN TUGASMU?!” Changmin mendorong Jinyoung keras hingga membuatnya terjatuh mendarat dengan pantatnya. Nayeon segera menghampiri Jinyoung berniat membantunya, tetapi Jinyoung menahannya agar tidak ikut campur. Jinyoung berlutut dihadapan Changmin. “Pagi ini aku dipanggil oleh Taekwoon mengenai proposal yang sedang kita kerjakan, aku dengan  keras kepala mengatakan padanya bahwa kau sudah mengirimkannya kemarin malam setelah kau merubah proposal itu kebeberapa bahasa!” Changmin mendengus. “Tapi yang aku dapatkan darinya hanya bentakan dan penekanan kata TIDAK PROFESIONAL untuk seluruh team kita.” Jinyoung tertegun, ia baru teringat mengenai tugas rumahnya. Proposal yang ia kerjakan ternyata tidak hanya dicetak melainkan harus segera dikirim melalui email juga kemarin, Jinyoung mencaci maki dirinya sekarang karena tidak bisa mengingat hal sesederhana itu. “Changmin, maaf memotong dan bukan maksudku untuk membela Jinyoung. Aku rasa Jinyoung lupa karena terlalu lelah kemarin.” Changmin menoleh menatap Nayeon sengit. “Jika seperti itu, lalu kenapa ia bersikeras untuk mengerjakannya? Kenapa ia tidak menolak saja? Bila perlu berhenti saja untuk bekerja!” Pikiran Jinyoung semakin kacau mendengar setiap bentakan Changmin, ia berusaha berdiri dan menatap Changmin. “A-aku, meminta maaf sebesar-besarnya, maafkan aku yang terlalu bodoh dan gegabah dalam bekerja.” Jinyoung kembali membungkuk. Ia mendengar helaan kasar Changmin, posisi Jinyoung masih tetap membungkuk sampai ia merasakan seseorang menepuk punggungnya pelan. Tangan Nayeon berusaha membuat Jinyoung untuk berdiri tegak. “Aku tidak ingin mendengar alasan apapun, yang pasti aku sangat kecewa padamu.” Changmin kembali pada kursinya untuk duduk. “Apakah ada cara untukku bisa kembali memperbaiki keadaan?” Jinyoung tahu sangat salah untuknya menjawab Changmin disaat ia emosi apalagi menjawabnya dengan sebuah pertanyaan. Tapi Jinyoung tidak bisa menahan diri saja jika dia disalahkan seperti ini, selain itu kesalahan ini menyangkut seluruh teamnya. Changmin menoleh menatap Jinyoung, terlihat ia sedang berpikir. “Pergi temui Taekwoon dan minta maaflah secara langsung padanya, katakan semua ini salahmu dan jangan sangkut pautkan kami!” “Changmin!” Dengan sangat sadar Nayeon memanggil Changmin dangan nada tinggi, ia merasa tidak adil jika semua masalah ini hanya dilimpahkan kepada Jinyoung. Jinyoung memegang lengan Nayeon lalu menggeleng. “Kalau begitu aku permisi sebentar untuk segera menyelesaikan masalah ini.” Jinyoung membungkuk untuk kesekian kalinya dan berjalan keluar ruangan, Nayeon menatap pintu ruang rapat yang baru saja ditutup Jinyoung. “Kau sangat keterlaluan.” Ucap Nayeon lalu kembali keposisi duduknya dimeja rapat. Changmin menatapnya diam. Begitu keluar ruangan rapat Jinyoung merasakan semua mata menatap kearahnya, semua pasti mendengar bentakan Changmin. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya menuju lift ia bersyukur lift itu langsung terbuka begitu ia menekan tombolnya, ia lalu masuk dan menekan tombol lantai 9. Jantungnya masih berdegup kencang dan ia semakin merasa gugup, sepertinya dari awal pagi ini Jinyoung membuka mata rasa gugup terus meliputi dirinya tapi karena keahlian beraktingnya membuatnya mampu menutupi perasaan itu. Didalam lift ia berusaha menyusun kalimat maaf yang akan ia utarakan saat tiba nanti dilantai paling utama dari gedung itu, yaitu lantai dimana ruangan para atasan tertinggi berada. Mengingat tempat tujuannya ada rasa sedikit lega diperasaannya, tapi ia tidak ingin terlena dengan perasaan itu. Pintu lift terbuka Jinyoung disambut oleh meja kerja dengan dua orang wanita yang sedang sibuk dengan komputernya, tanpa berbasa basi jinyoung langsung berbelok kelorong sebelah kanan karena dari arah lift lorong langsung terbelah menjadi dua bagian. Dari kejauhan mata Jinyoung sudah menatap seseorang diujung lorong yang sama sibuknya dengan dua wanita tadi. “Halo, permisi.” Jinyoung menyapa dengan sangat pelan, karena ia tahu jika suaranya bisa bergema karena terlalu sepinya lantai itu. “Ada yang bisa saya bantu?” Pria itu berdiri dari duduknya, Jinyoung sangat mengenal wajah dingin yang ia tatap dilift pagi ini, dari name tag kecil berwarna emas dijasnya terlihat jelas namanya Jung Taekwoon. Jinyoung sangat iri dengan name tagnya yang terlihat mewah, dibandingkan dengan miliknya yang berupa ID Card dengan tali warna biru mencolok ia berpikir akan sangat keren memiliki name tag tersebut. Taekwoon masih menunggu jawaban dari pertanyaan, Jinyoung lalu menggeleng menghilangkan iri hatinya akan sebuah name tag. Jinyoung segera membungkuk membuat wajah Taekwoon mengkerut bingung. “Aku ingin meminta maaf atas kelalaianku dalam bekerja, seharusnya pekerjaan yang telah selesai kemarin sudah bisa diproses tapi aku terlalu lalai dan tidak professional.” Taekwoon baru mengerti maksud Jinyoung, mengingat Jinyoung merupakan orang bagian marketing. “Dan aku mohon untuk tidak menyalahkan team dan orang-orang yang bekerja denganku, semua ini adalah murni kesalahanku dan aku akan bertanggung jawab.” Jinyoung kembali berdiri tegap dan menatap Taekwoon, tampak tidak ada emosi sama sekali dari wajahnya Jinyoung semakin yakin Taekwoon a.k.a lemari es berjalan memang tidak memiliki emosi. “Apakah kau yakin akan mengambil tanggung jawab sepenuhnya?” Entah mengapa Jinyoung merasa ada aura mengancam dari nada suara Taekwoon. Butuh beberapa detik untuk Jinyoung mempersiapkan diri dan menganggukan kepalanya, ia siap akan semua konsekuensinya. Taekwoon menyeringai. “Aku tidak layak dan tidak pantas untuk mengambil keputusan dari masalah ini.” Jinyoung memperhatikan Taekwoon yang berbicara selagi merapikan beberapa lembar kertas dimejanya. “Hanya ada satu orang yang pantas untuk mengambil keputusan.” Ekspresi Jinyoung berubah aktingnya untuk bersikap tenang luntur, Taekwoon masih menyeringai. Tanpa aba-aba dari otaknya, Jinyoung menggelengkan kepala dan terlihat meminta ampun pada Taekwoon. “Silahkan kau bertemu langsung dengan beliau.” Perintah Taekwoon tanpa memperdulikan ekspresi memohon Jinyoung. Jinyoung menoleh kearah kirinya dimana ada sebuah pintu kayu besar berwarna cokelat keemasan berada disebelah meja Taekwoon. Jinyoung kembali bertatap muka dengan Taekwoon berusaha meminta kesempatan kedua untuk pengampunan. “Silahkan masuk, karena hari ini beliau ada rapat sebenar lagi.” Taekwoon kembali duduk, ia terlihat sama sekali tak perduli dan mulai sibuk dengan komputernya. Jinyoung sangat ingin berteriak saat ini juga kalau bisa ia sangat bersyukur jika diperbolehkan menyumpah serapahi Taekwoon. Kakinya berjalan dengan malas dan tubuhnya terasa ringan serasa ia bisa terbang dari tempat itu, hanya beberapa langkah kaki Jinyoung sudah berhadapan dengan pintu kayu didepannya. Ia menghela nafas lalu menarik nafas panjang mempersiapkan dirinya merubah ekspresi datar-sedatar mungkin, tangannya terangkat lalu mengetuk pelan pintu itu. Suara bip terdengar dari kotak hitam dimeja kerja Taekwoon dan disusul dengan kedipan lampu hijau dari benda itu. “Silahkan masuk.” Jinyoung mengangguk seperti seorang kesatria yang meghadap raja karena kalah berperang, perlahan ia mendorong pintu itu. Matanya langsung disambut oleh jendala kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari puncak gedung. Tidak lupa Jinyoung kembali menutup pintu ruangan itu begitu sadar dengan keberadaan seseorang yang sibuk dengan pena dimeja kerja besar yang terlihat mewah, hidung Jinyoung dimanjakan dengan aroma ruangan yang sangat wangi. Jinyoung membungkuk setibanya didepan meja salah satu CEO diperusahaannya. “Ada apa?” Suara bas yang lembut itu kembali menyapa pendengarannya. Im Jaebum, Jinyoung membaca papan nama diatas meja kerja yang merupakan nama dari atasannya itu. “Aku ingin meminta maaf secara langsung dan menyesal atas kelalaianku dalam bekerja, aku berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi dan memohon untuk tidak menyalahkan teamku karena ini merupakan kesalahanku.” Ucap Jinyoung dengan kepala menunduk menatap ujung sepatunya. Pendengarannya tidak lagi mendengar suara pena yang beradu dengan kertas, ia sedikit melirik melihat pria didepannya yang berhenti memberikan tanda tangan kuasanya pada kertas dokumen. Ia melepas penanya dan menangkupkan kedua talapak tangannya diatas meja membuat Jinyoung tidak bisa melihat bibir tipis atasannya itu. “Kau yang bertanggung jawab atas masalah ini?” Jaebum menatap pekerjanya dengan tatapan tajam dan mengintimidasi. Jinyoung mengangguk ragu, bentengnya mulai dilempari bom. “Apa yang bisa kau tawarkan untuk permohonan maafmu?” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD