Gadis Ramah

1112 Words
Beberapa bulan kemudian … "Selamat pagi Pak, selamat datang?" Seorang manager menyambut Saka di ambang pintu. Hotel Starlight sudah sibuk pagi itu, semua pegawai bersiap dan telah merapikan segala hal. Pimpinan sekaligus pemiliknya telah datang untuk memeriksa, setelah satu bulan lamanya dia pergi untuk keperluan bisnis keluarganya. Mengembangkan sayap usaha di luar negeri yang sudah dimulai oleh istrinya sejak tahun lalu, dan telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan. "Semuanya beres?" Mereka berjalan masuk di ikuti oleh sopir yang membawakan tas dan beberapa barang lainnya. "Ya Pak. Tidak ada kendala sama sekali, dan semuanya berjalan lancar di sini. Terakhir kita menerima pesta pernikahan anak menteri yang sukses besar, dan kami …." Saka mengangkat tangannya untuk membuatnya berhenti berbicara ketika mereka hampir saja melewati para pegawai yang berjajar menyambut kedatangannya. Di bawah kepemimpinan Saka Adiwara, yang kini telah menginjak usia 35 tahun, Starlight Grup telah menembus pasar dunia di bidang pariwisata dan gaya hidup. Membawa segala apa yang mereka kembangkan menjadi semakin besar dan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tidak salah jika sang ayah, Bima Adiwara yang merupakan pimpinan tertinggi perusahaan itu memilihnya untuk meneruskan bisnis keluarga mereka. Dan dia memulainya dari hotel ini sejak lulus kuliah bertahun-tahun yang lalu. Terbukti, dia megalami keberhasilan dalam mengembangkannya. "Selamat pagi, selamat datang?" Para pegawai membungkuk hormat ke arahnya. "Hmm …." Saka melewati mereka satu per satu. Pegawai perempuan mengenakan seragam berwarna merah maroon, kemeja fit in dan rok selutut mereka tampak begitu serasi, dengan make up yang tidak terlalu mencolok. Sedangkan para pegawai pria mengenakan kemeja berompi dan celana panjang dengan warna yang sama. Kemudian pria itu berhenti tepat di ujung, di mana seorang perempuan asing mengenakan pakaian hitam putih berdiri dengan tegak. Rambut disanggul dengan name tag menggantung di leher. "Ini Felisha, dia baru satu bulan bekerja Pak, dari lowongan pekerjaan yang Bapak buka dua bulan yang lalu." Manager menjelaskan. Felisha tampak menganggukkan kepala, kemudian menyapanya seramah mungkin. "Selamat pagi Pak? Saya Felisha Lingga, bertugas sebagai resepsionist di lobby depan ini." Perempuan dengan mata kecoklatan itu berbicara. "Hmm …." Saka hanya menjawabnya dengan gumaman. Kemudian dia meneruskan langkahnya hingga di depan lift yang pintunya segera terbuka. Pria itu masuk, dan pintunya hampir saja tertutup setelah sang manager menekan tombol. Namun sekilas Saka menatap perempuan yang masih berdiri di sana bersama rekan-rekannya. Dan debaran kerinduan itu pun mulai menggila di dalam hatinya. *** "Baik terimakasih, selamat sore." Suara Felisha terdengar ramah, setelah menerima telepon dari calon customer yang telah melakukan reservasi untuk sebuah acara di hotel tersebut. Kemudian dia mengetikkan sesuatu di komputernya. Memasukkan data yang di dapatnya dari reservasi tersebut, kemudian menyatukannya dengan data waiting list untuk pembayaran. Dia tersenyum puas setelah menyelesaikan pekerjaannya hari itu. Memastikan semua data tersimpan dengan benar, kemudian mematikan komputer. Selanjutnya membereskan meja resepsionis yang sebentar lagi akan berganti penghuni dengan rekan penggantinya untuk tugas malam. Felisha sempat melirik ke arah lift, namun tak ada siapa pun yang keluar kecuali pegawai hotel yang disibukkan oleh pekerjaan mereka. "Hari ini kamu langsung pulang?" Inka, teman satu siftnya bertanya. "Sepertinya iya, aku ada banyak tugas dari kampus." Felisha menjawab. "Yah, padahal rencananya aku mau ajak kamu pergi ke pesta malam ini." Inka dengan raut kecewa. "Pesta?" Felisha membeo. "Iya, temanku ulang tahun dan aku tidak ada teman untuk pergi jadi …." "Lain kali saja ya? Aku sibuk." Mereka berjalan keluar ketika pegawai lain yang mendapatkan shift malam sudah tiba. "Kapan sih kamu ada waktunya? Setiap hari sibuk terus, bahkan di hari libur. Sepertinya kamu tidak punya waktu untuk kehidupan pribadi ya?" Felisha terkekeh pelan. "Kehidupan pribadiku ya itu, kerja kuliah dan diam di rumah," jawabnya sambil tersenyum dan menganggukkan kepala kepada setiap orang yang berpapasan dengannya, seperti biasa. Perempuan berusia 25 tahun itu memang selalu ramah kepada siapa pun yang dia temui. Membuatnya bisa dengan mudah disukai walau baru satu bulan bekerja di hotel tersebut. "Hah … padahal tadinya aku ingin mengenalkanmu kepada teman-temanku." Inka lagi-lagi dengan nada kecewa. "Teman yang mana?" "Hai, mau pulang sama-sama?" Seorang pria berdiri menyandarkan tubuhnya pada body mobil. "Oh, selamat sore Pak Dimas?" Felisha menjawabnya, seperti biasa. "Sepertinya kali ini kita se arah?" ucap pria tersebut. "Benarkah?" "Ya, ada sesuatu yang harus aku kerjakan di sekitar tempat tinggalmu jadi …." Sebuah mobil melintas di depan mereka, yang tentu saja dikenali sebagai mobil milik Saka, yang kaca belakangnya sedikit terbuka. Tiga orang itu lekas menganggukkan kepala dengan hormat, apalagi ketika wajah si empunya mobil terlihat jelas. Meski entah pria itu melihat keberadaan mereka atau tidak karena tengah mengenakan kaca mata hitamnya, namun sekilas ekor matanya tampak berkilat. "Umm … sayangnya hari ini saya ada pesta dengan Inka ya?" Felisha cepat memberikan jawaban. "Apa?" Dan Inka pun merespon. "Iya kan? Hari ini ada pesta ulang tahun yang harus kita hadiri?" Felisha merangkul lengan teman satu shiftnya itu, kemudian merematnya dengan keras. "Eeee …." Inka bereaksi, namun rematan tangan Felisha menjadi semakin kencang. "Iya, benar. Sore ini kami akan menghadiri pesta. Ya, pesta ulang tahun teman saya Pak." Inka yang akhirnya mengerti isyarat itu. "Pesta di mana?" Dimas bertanya. "Di Ritz Cafe." Perempuan itu menjawab. "Oh …." Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah Pak Dimas, terimakasih ya? Kami pamit." Felisha segera berpamitan. "Tunggu Fe!" Pria itu meraih tangannya. "Apa lagi?" "Setidaknya pergilah bersamaku lain kali," katanya dengan tatapan penuh harap. "Oh iya, tentu. Mungkin lain kali." Felisha menjawab sambil tersenyum. "Janji ya?" "Ya, lain kali saya pasti pergi." Dia kemudian mengangguk. "Baiklah kalau begitu." Dimas pun tersenyum. "Saya pamit pak?" Felisha segera menarik tangannya agar dirinya bisa segera pergi. "Ya baiklah …." Lalu pria 28 tahun itu pun melepaskannya. "Huh, kenapa sih kamu selalu menolak setiap kali Pak Dimas mengajak pergi?" protes Inka kepadanya, saat jarak mereka sudah menjauh dari pria itu. "Ya karena aku tidak mau." Felisha menjawab. "Kenapa tidak mau?" "Malas." "Kenapa malas?" "Kamu banyak tanya!" Kali ini Felisha yang protes, kemudian mereka tertawa. "Kamu tahu, kalau Pak Dimas itu jadi incaran pegawai lama di sini? Tapi malah kepadamu dia merespon, bahkan tanpa kamu bidik sekalipun dia langsung mendatangimu." Mereka telah berada di luar gerbang Starlight Hotel. "Ya, lalu?" "Sebelumnya tidak ada yang mampu seperti itu." "Masa?" "Iya. Percaya aku deh." "Terus?" "Kenapa kamu tidak terima tawarannya saja sih? Sepertinya dia menyukaimu?" "Ah … belum kepikiran ke arah sana." "Selalu jawaban yang sama." Felisha hanya tersenyum, namun hal tersebut segera sirna ketika dia melihat mobil yang dikenalnya masih berada di depan sana, tepat beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Seiring dengan ponselnya yang berbunyi nyaring tanda pesan masuk di aplikasi chatnya. "Cepatlah pulang gadis ramah, jangan terlalu lama di luar rumah." Hanya pesan biasa, tapi mampu membuat jantung Felisha berdebar-debar tak karuan. Dia kembali menatap mobil tersebut yang bergerak menjauh, sehingga menghilang di antara mobil-mobil lainnya di jalan raya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD