Chapter 4 - Zaffina bukan Davika

1184 Words
“Tidak, kamu salah paham, Zaffina,” ujar si pria pengemudi. Mobil yang kutumpangi tetiba melaju kencang tanpa arah. Jalanan yang tampaknya lurus saja sekarang terasa berbelok-belok. Aku yang tadinya berusaha santai menikmati pemandangan menjadi ketakutan setengah mati. Mobil ini hilang kendali. “Awas!” seruku pada si pengemudi. Hampir saja kami menabrak seorang gadis yang sedang menyebrang. “Aaaaaaaarghhh,” jeritku. “Kamu kenapa? Davika, bangun.” Althaf menepuk-nepuk pipiku lembut tapi tegas untuk membuatku sadar. “Kamu mimpi buruk?” tanyanya khawatir. Kuseka bulir keringat di dahiku yang kini mulai terasa sakit. Perlahan aku duduk bersandar di kepala tempat tidur. Kepalaku terasa berputar, mataku berkunang-kunang. Kucoba untuk sedikit mengangguk saat Althaf mengulurkan segelas air mineral padaku. “Namaku Zaffina, bukan Davika,” ujarku pelan setelah minum beberapa tegukan dengan cepat. Althaf tersenyum, “Enggak, namamu Davika. Sudahlah, kamu masih butuh banyak istirahat. Tidurlah,” katanya, lalu kembali mengempaskan diri di sofa yang tak jauh dari tempat tidur. Sudah dua malam Althaf tidur di sana. Ia bersikeras tak ingin tidur di luar atau di kamar tamu karena foto di pigura jelas menunjukkan bahwa kami adalah suami istri. “Karena aku suami di sini, maka aku berhak menggunakan kamar ini juga. Kalau kamu keberatan, silakan kamu aja yang pindah,” katanya cuek. Jelas aku tak ingin tidur di kamar lain. Kalau dia bilang ini kamarnya, berarti ini kamarku juga. Lagipula kamar tamu tampak lebih suram dari kamar ini. Tak ada jendela di sana, sementara kamar ini memiliki jendela yang langsung terhubung dengan taman di depan rumah, membuat kamar ini jauh lebih terang dan nyaman. Akhirnya dengan perdebatan yang alot, kami memutuskan untuk menggunakan kamar ini bersama dengan syarat dia tidak boleh tidur di kasur. “Althaf,” Untuk pertama kalinya aku memanggil namanya. “Hmm,” Ia menggumam. “Kamu ingat nggak siapa nama gadis yang kemarin ke sini?" “Bukannya cepat menjawab,” Althaf malah duduk di sofa dan menatapku dengan tatapan aneh. “Kenapa? kamu nggak ingat?” tanyaku lagi. “Enggak,” katanya, lalu kembali tidur. Aku tak percaya Althaf tak ingat siapa namanya, tapi anehnya aku pun lupa sama sekali siapa nama gadis itu. Sepertinya dia adalah gadis yang menyebrang jalan dalam mimpiku tadi. Siapa dia? *** Sinar matahari pagi membuatku terjaga. Entah sejak kapan Althaf sudah membuka kain jendela. Kuulurkan tanganku untuk menjangkau jam digital di atas meja samping kasur. 08.00 am Aku menggeliat, memaksa otot-otot tubuhku bekerja sama. Kulihat sofa tempat Althaf  berbaring sudah kembali rapi. Tak ada bantal, tak ada selimut yang menggumpal di sana. Aku pun beranjak membereskan tempat tidurku. Prankk!!! Suara sesuatu yang terjatuh membuatku kaget. Buru-buru aku mencari sumber suara. Althaf sedang berdiri mematung menghadapi sebuah teflon yang tergeletak di lantai, lengkap dengan dua butir telur yang berantakan. “Yaampun, kamu ngapain?” tegurku. “Mencoba bikin sarapan,” ujarnya pasrah. Aku ingin tertawa tapi kutahan. “Sana, biar aku aja,” kataku mengambil alih dapur. Awalnya ia menolak, tapi setelah hampir terpeleset minyak yang berceceran, akhirnya ia mengalah untuk meninggalkan dapur. Aku segera mengambil alih pekerjaannya. Walaupun aku lupa banyak hal, tapi aku masih tau bagaimana cara memasak nasi goreng. Dua puluh menit kemudian, dua piring nasi goreng ala kadarnya bersama jus instan rasa jambu yang kudapat dari dalam kulkas sudah tersedia di meja makan. Althaf kembali dari kamar dengan rambut basah. Aroma parfumnya yang kuat  mengganggu saraf hidung sensitifku. “Abis mandi?” tanyaku asal. “Abis berenang,” jawabnya singkat. Aku hanya ber-oh menanggapinya, lalu kembali ke kamar. “Lho, kamu nggak makan?” tanyanya menghentikan langkahku. Ia menyuap nasi goreng dengan lahap. “Kamu duluan aja, aku mau mandi dulu,” kataku. “Hmm, rasanya masih sama,” gumamnya. “Apa katamu?” “Aku nggak ngomong apa-apa,” ujarnya. Tapi aku yakin tadi dia mengumam sesuatu. Hari ini aku harus dapat informasi baru. Mimpi semalam begitu menggangguku, apalagi kehadiran gadis yang menyebrang jalan itu. Mengapa dia ada dalam mimpiku? Siapa dia sebenarnya. Ada dua lemari baju di kamarku. Satu yang paling besar berisi pakaian wanita. Ini mungkin baju-bajuku. Aku pun melihatnya satu per satu. Kebanyakan baju ini sama modelnya. Kemeja kerja, setelan blazer berwarna-warni, rok span pendek, dan semacamnya. Ini pasti setelan  mengajarku. Ada juga setelan kemeja dan jas yang sepertinya milik Althaf. Kubuka lagi lemari satunya yang berisi baju-baju santai. Ini pasti baju yang biasa kupakai sehari-hari. Sebuah baju seksi menarik perhatianku. Refleks aku mengepasnya di badan, lalu berputar di depan cermin lemari. “Aaaaa,” jeritku. Althaf dengan santai berdiri di ambang pintu. Tampaknya pria ini punya kebiasaan tiba-tiba muncul seperti hantu. Bukannya minta maaf, ia malah tertawa. Spontan kukembalikan lingerie merah itu ke dalam lemari, melemparnya asal, lalu membanting pintunya. “Kamu ngapain di sini?” sergahku. “Jangan teriak-teriak, nanti handukmu jatuh,” ejeknya. Damn, aku lupa belum memakai baju. “Sana keluar!” jeritku menggelegar. Althaf berjalan santai meninggalkan kamar sambil tertawa puas. *** Pria itu menjengkelkan. Ia dengan mudah membuat mood-ku berantakan sejak pagi. Belum lagi rasa malu yang tak kunjung hilang sejak ia memergokiku memegangi lingerie tadi. “Aku pergi dulu ya,”  ujar Althaf mengagetkanku. “Kemana? Memangnya ada tempat yang mau kamu tuju? Kamu udah ingat sesuatu tentang masa lalumu?” “Kamu kalo nanya itu satu-satu dong,”  sungutnya setelah berdecak. Aku diam saja, menunggunya menjawab. “Aku mau ke kantor. Nggak mungkin kan kita selamanya berdiam diri di rumah untuk mengembalikan ingatan kita?” Kata-katanya ada benarnya. Mau sampai kapan aku diam saja, tak mencari kebenaran tentang ini semua. Setidaknya aku ingin mengingat alasan kami tinggal seatap. “Ini,” katanya seraya menyodorkan sebuah kartu nama. Tertera namanya, posisinya di kantor, serta nama juga alamat kantor tempatnya bekerja. “Aku nemuin ini di dompetku. Kamu juga harus cari tahu tempatmu bekerja. Pergilah, dan cari sesuatu di sana,” lanjutnya, kemudian lenyap. Althaf Mahreza, Staff Manager. Aku mulai berkeliling rumah lagi untuk mencari sesuatu yang dapat menjadi petunjuk bagiku. Selain tak ada pigura di dinding rumah selain foto pernikahan kami, dinding rumah ini juga tidak ditempeli dengan hiasan lainnya. Sepertinya Althaf adalah orang yang kurang menyukai seni. Atau aku? Entahlah. Kamar tamu tiba-tiba menarik perhatianku. Ruangan gelap ini sudah agak berdebu. Aku pun masuk sekalian membersihkannya. Kumulai dengan mengganti seprai, menyapu, mengepel, lalu membersihkan debu-debu di lemari hias. Saat membongkar lacinya, aku menemukan sebuah album foto berwarna merah muda dengan gambar hati di sampul depannya. Album itu berisi fotoku bersama siswa-siswi berseragam SMP. Aku jadi ingat yang dikatakan gadis itu tentang sekolah. Ternyata aku memang benar seorang guru. Tapi guru mata pelajaran apa? Aku terus mencari. Foto-foto tersebut membuatku senyum-senyum sendiri membayangkan aku adalah seorang guru. Hal yang sama sekali tak dapat kuingat tapi menyenangkan saat mengetahui kebenarannya. Sosok gadis dalam lembar-lembar foto terakhir membuatku terbelalak. Gadis yang kulupa namanya itu tampaknya memang sahabat dekatku. Aku menemukan beberapa foto bersamanya di beberapa tempat. Dia pasti juga seorang guru di sekolah yang sama denganku. Aku jadi lebih bersemangat mencari tahu di mana tempatku mengajar. Aku harus segera kembali ke sekolah. Dan tak lama kemudian aku menemukannya; sebuah buku tahunan sekolah. SMP Taruna Abdi Negara.     **** next part ya, gaess...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD