Chapter 3 - Starla

988 Words
“Nyonya Davika Fakhranazia.” Suster memanggil untuk ketiga kalinya, dan aku baru sadar bahwa panggilan itu untukku. Aku masih belum terbiasa dengan nama itu. Hanya ada satu nama dalam ingatanku; Zaffina. “Iya, Sus, maaf.” Wajah kesal suster itu membuatku agak malu. Buru-buru aku masuk ke dalam ruangan. Dokter Romay yang kemarin menanganiku segera menyambut. “Silakan duduk. Apa kabar, Bu Davika?” sapanya. “Sehat, Dok,” jawabku sambil menarik kursi agar lebih dekat dengan mejanya. “Jadwal terapi masih seminggu lagi. Apakah ada keluhan?” tanyanya ramah. Aku menggeleng, dan menyampaikan bahwa aku ingin ia menjelaskan hasil CT Scan dan MRI yang belum sempat kutanyakan setelah dirawat kemarin. Dokter berambut putih itu mengangguk mengerti, lalu meminta suster pendamping untuk menyiapkan visualisasi hasil CT scan-ku. “Amnesia retrograde,” ujarnya setelah siap untuk menjelaskan. Aku siap mendengar penjelasannya. Sama seperti penjelasan singkat yang telah ia jelaskan sebelumnya, aku mengalami penurunan fungsi ingatan yang diakibatkan oleh cedera otak karena benturan saat kecelakaan terjadi. Kali ini ia menunjukkan gambar cedera pada otakku di layar komputernya. “Penyebab utama amnesia adalah terjadinya kerusakan pada bagian otak yang berfungsi untuk membentuk sistem limbik yang berperan mengatur emosi juga ingatan seseorang. Benturan keras pada daerah temporal kepala menyebabkan rusaknya jutaan neuron kecil yang merespon segala ingatan yang masuk ke otak. Anda dapat melihatnya di sini,” tuturnya seraya menunjukkan gambar scan otak yang kurang kupahami. “Terjadi himpitan otak kecil di sini akibat benturan keras yang Anda alami,” lanjutnya sambil menunjuk beberapa bagian gambar pada layar. Aku mengembuskan napas panjang. Mengapa ini harus terjadi. “Pada amnesia retrograde, penderita tidak dapat mengingat nama sendiri, nama keluarga, juga otomatis akan kesulitan memperoleh ingatan masa lalu dan informasi yang sebelumnya sudah diketahui atau terjadi. Kebanyakan orang dengan amnesia juga memiliki masalah ingatan jangka pendek sehingga mereka tidak dapat menyimpan informasi baru untuk sementara waktu.” Aku tertegun mendengar penjelasan beliau. Apakah Althaf masih dapat mengingat identitas dirinya sehingga dia dengan mudah dapat menerima kenyataan bahwa aku istrinya. Namun bagiku sulit, menerima kenyataan bahwa namaku bukan Zaffina saja sudah berat. “Berapa lama ingatan-ingatan itu akan kembali, dok?” “Amnesia yang disebabkan cedera kepala berat mungkin tidak akan membaik dalam waktu singkat. Kita tidak dapat memprediksinya. Untuk itu Anda harus rajin mengikuti pengobatan dan terapi.” Lalu aku bertanya tentang kondisi Althaf, karena kebetulan beliau juga menanganinya. Dokter Romay lantas menjelaskan bahwa amnesia yang dialami Althaf tak sama denganku. Ia hanya mengalami Post Traumatic Amnesia, yaitu hilangnya kemampuan  secara total atau parsial untuk mengingat kejadian yang telah terjadi dalam jangka waktu sesaat sebelum trauma terjadi. Singkat kata, hilangnya ingatan Althaf terjadi karena trauma akibat kecelakaan tersebut. “Amnesia yang dialami Pak Althaf adalah amnesia akibat dari terjadinya trauma psikologis. Trauma tersebut bisa terjadi karena beliau berusaha mencoba melupakan kejadian kecelakaan tersebut. Ia mungkin tidak lupa sepenuhnya. Ingatannya yang hilang pun mungkin akan segera pulih setelah ia berhasil menyembuhkan traumanya, dan ia akan segera ingat siapa Anda,” ujar Dokter Romay menutup sesi konsultasi dengan sebuah senyuman. *** Seisi kepalaku terasa berputar. Kurebahkan tubuhku di atas sofa empuk ruang tamu. Tanganku sibuk menggerayangi meja untuk meraih remot Ac. Hari ini terasa sangat panas, menambah penat kepalaku yang semakin cenat-cenut. Udara dingin Ac sedikit membantuku mengurangi ketegangan ini. Penjelasan Dokter Romay mengenai Althaf bermain di pikiranku. Kalau benar ia hanya mengalami trauma psikologis, berarti kemungkinan besar dia tidak lupa siapa dirinya. Ada yang tak beres dengannya. Sedang asik-asiknya berpikir, sosok Althaf tetiba muncul di hadapanku. Pria itu berdiri sambil melipatkan kedua tangan di d**a. “Mikirin apa sih?” tanyanya. Sentak aku berdiri dari posisi rebah. “Ngagetin aja,” sungutku sambil mengambil posisi duduk. “Makanya siang-siang jangan kebanyakan bengong,” ujarnya santai, duduk di sampingku. “Kamu bohongin aku, ya?” todongku tanpa basa-basi. Ekspresi terkejut muncul di wajahnya. Benar kataku, Althaf pasti berbohong bahwa ia tak ingat siapa dirinya dan siapa diriku. “Bohong tentang apa?” “Kamu sebenarnya tahu siapa kamu dan siapa aku, ‘kan? Kenapa kamu bohong?” selidikku. Althaf diam tak memberi jawaban. “Kenapa diam? Walaupun kamu nggak bisa ingat kejadian itu, tapi aku tahu kamu pasti nggak lupa identitasmu. Kamu hanya pura-pura lupa, ‘kan. Kenapa?” cecarku. “Enggak. Aku sama sepertimu yang nggak ingat apapun. Apa yang kujalani saat ini hanya apa yang ingin kupercayai. Aku ingin percaya bahwa kamu istriku,” ujarnya dengan nada tegas. Belum sempat aku menyahuti, bel ruang tamu berbunyi. Kami saling beradu pandang, seolah bertanya siapa yang datang. Akhirnya aku mengangkat bahu tanda tak mau tahu. Althaf beranjak untuk membukakan pintu. Seorang gadis menyerobot masuk dan langsung memelukku. Selain bingung, aku kehabisan napas karena dekapannya yang terlalu menggebu. “Davikaaa, kamu baik-baik aja, ‘kan?” serunya berulang. Aku berusaha melepaskan diri dari dekapan eratnya, tak nyaman. “Eh, iya sorry. Tapi kamu baik-baik aja, ‘kan? Aku baru dapat kabar dari Sarah kemarin sore. Dia bilang kamu mengalami kecelakaan dan koma satu minggu. Syukurlah kamu sudah di rumah,” ujarnya heboh. Aku hanya bengong menatap gadis asing ini walaupun kutahu dia pasti salah seorang yang dekat denganku. Kuperkirakan usianya sama denganku. Aku menganggukkan kepala pelan sambil menahan perih di pelipis yang masih diperban. “Kamu –”  “Davika mengalami amnesia. Dia nggak akan ingat siapa kamu. Lebih baik kamu pulang saja.” Althaf memotong pertanyaanku. Aku memelotinya. Kalimatnya terdengar begitu ketus. “Apa katamu? Amnesia? Nggak mungkin. Benar begitu, Dav?” Raut khawatir tampak jelas di wajah wanita ayu ini. Aku mengangguk, membenarkan fakta yang Althaf lontarkan. “Jadi kamu nggak ingat siapa aku?” Aku menggeleng lemah. “Terus kamu ingat siapa dia?” tunjuknya pada Althaf dengan tatapan sinis. Lagi-lagi aku menggeleng. “Bagus, lebih baik kamu nggak ingat siapa dia. Dengarkan aku baik-baik. Namaku Starla. Kembalilah ke sekolah segera setelah kamu membaik, oke?” katanya dengan penuh penekanan pada setiap kata yang ia ucapkan. **** next part ya, gaess...                                    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD