Chapter 2 - Who I am, Who You are...

1110 Words
Sebuah rumah berwarna cat serba putih berdiri megah di hadapanku. Menurut alamat yang tertera pada kartu identitasku, rumah bernomor 146 ini adalah tempat tinggalku. Jantungku berdegub kencang seiring langkah kakiku yang terus melangkah mendekati pagar rumah. Kriiiit. Suara berat pagar membuat telingaku terasa sakit. Apakah ini benar rumahku? Dengan siapa aku tinggal? Apakah benar aku ini seorang wanita yang telah bersuami? Apakah pria tadi itu benar suamiku? Semua pikiran itu berputar cepat di kepalaku. “Ouchhh...,”“ “Kamu nggak apa-apa?” Althaf sigap menahan tubuhku yang limbung. “Enggak, aku nggak apa-apa. Hanya pusing. Eh, sejak kapan kamu di sini? kamu menguntitku ya?” sergahku setelah mendapat kembali kekuatan untuk berdiri. “Nguntit? Hahaha, aku hanya menuju alamat yang tertera di kartu identitasku,”“ sahutnya dengan tawa sumbang. “Jadi ini rumahmu juga?” pekikku. “Ssssst, jangan teriak-teriak, ntar tetangga pada ke sini.”“ Aku tak peduli. Kepalaku makin sakit menerima kenyataan bahwa ini juga adalah rumahnya. Althaf mondar- mandir di sekitar teras yang agak luas. Sesekali ia menunduk di dekat pot bunga yang berjejer rapi. Aku hanya memerhatikannya dari tempatku berdiri.  “Cari apa sih?” Akhirnya aku penasaran.  “Kunci rumah,” sahutnya singkat. Ah, benar juga. Bagaimana kami akan masuk kalau tak punya kuncinya. Tetiba aku ingat melihat sebuah kunci di dalam tasku saat mencari dompet di rumah sakit tadi. “Ini bukan?” Sebuah kunci telah menggantung di jari telunjukku. Tanpa bicara Althaf merebutnya cepat. Dasar pria nggak sopan, gerutuku sambil mengikutinya masuk, tapi aku malah menghentikan langkah tak jauh dari pintu. Althaf terlihat seperti seorang penyidik kepolisian yang sedang menyelidiki seisi rumah, sementara aku merasa seperti seorang maling yang ragu-ragu. Rumah ini benar-benar asing bagiku. “Tunggu dulu. Apa iya kamu juga mengalami hal yang sama denganku? Masa sih kamu amnesia juga? Atau jangan-jangan...,” “Jangan-jangan apa?”“ Ya, bisa saja kan pria ini pura-pura jadi suamiku, terus pura-pura amnesia dan mengambil kesempatan untuk menguasai kehidupanku. Aku tak ingin menjawabnya. Aku terus berkeliling rumah untuk menuntaskan rasa penasaranku. Rumah ini cukup luas kalau hanya diisi oleh dua orang. Sebuah ruang tamu dengan sofa berwarna putih tulang yang tampaknya sangat nyaman terletak di bagian paling depan, serasi dengan warna cat rumah yang serba putih ini. Tak jauh dari ruang tamu, terletak sebuah ruangan tertutup seperti kamar. Aku bergidik ketika melewatinya. Langkahku terhenti di depan sebuah televisi berukuran besar, mengedarkan pandangan ke sekitar. Ada sebuah sofa yang hanya dapat diduduki dua orang dan sebuah meja kecil ada di sana. Lalu  sebuah ruang makan ada di sebelahnya yang langsung terhubung dengan dapur bersih ala coffee bar. Aku melanjutkan berjalan ke arah belakang, dan menemukan sebuah kolam renang di belakang halaman rumah. Suasananya rindang karena cukup banyak pepohonan tumbuh rapi di sekitar kolam. Dua buah kursi santai terletak tak jauh dari kolam. Kugeser pintu kaca penghubung dapur dan kolam. Althaf mengikutiku, lalu duduk di salah satu kursi santai tersebut. “Aneh juga rasanya,” ujarnya pelan.  Aku menoleh. “Dokter bilang apa?” tanyaku seraya mencari tempat duduk yang nyaman di tepi kolam.            Sebuah kecelakaan mobil yang katanya nyaris menewaskan kami telah membuat ingatan kami hilang begitu saja. Masalahnya, kini kami tak dapat mengingat mengapa kecelakaan tersebut terjadi, kapan, juga di mana. “Retrograde amnesia,” katanya. Ia lalu menjelaskan bahwa penderita Retrograde Amnesia kehilangan ingatannya dan memiliki kemungkinan pulih jika menjalani terapi dengan benar, walaupun tidak semua ingatan akan kembali dengan sempurna. Tetap saja aku masih tidak dapat berpikir jernih dengan ini semua, walaupun kuakui saat ini aku tak mampu mengingat satu pun kejadian yang menimpaku sebelum ini. Aku bahkan tak ingat telah berbaring beberapa lama di rumah sakit. Tapi apakah Althaf juga mengalami hal yang sama? Bagaimana mungkin bisa sama. Rasanya ini benar-benar tak bisa diterima dengan logika. “Auccch,”“ “Ada apa?” Lagi-lagi Althaf menangkap tubuh limbungku dengan sigap. Hampir saja aku jatuh ke dalam kolam. Tetiba telingaku berdenging saat iseng menyentuhkan kakiku ke dalam air. Kepalaku terasa berputar hebat, membuat pandangan mataku menjadi gelap. Althaf lalu menarikku menjauh dari kolam, dan mendudukkanku di kursi santai. “Kamu masih butuh banyak istirahat,” katanya lembut.                     *** Sebuah pigura besar menampilkan gambar diriku dengan Althaf berbalut gaun pengantin berwarna putih tulang yang sangat indah. Sepertinya aku begitu menyukai warna putih tulang. Jadi benar bahwa kami berdua adalah pasangan suami istri. Mataku kali ini tak mungkin dapat membohongi memori yang hilang dari kepalaku. Aku berdiri mematung lama sekali di hadapan foto tersebut. Menimbang apakah ini mimpi atau kenyataan yang harus dihadapi.             “Jadi kamu ini istriku, 'kan?” tanya Althaf yang tiba-tiba muncul di belakangku. Aku berbalik. Pertanyaannya membuatku mual. Aku merasa ingin berlari dari hadapannya, sekarang juga, tapi kakiku seolah terpaku di lantai.  “Apa kamu benar-benar nggak bisa mengingat sesuatu?”“ Althaf menggeleng. “Terus kamu bakal terima kenyataan ini begitu saja?” tanyaku lagi. Pria bermanik mata coklat itu tidak segera menjawab. “Entahlah, kita jalani saja dulu, sampai kita bisa mengembalikan memori kita yang hilang. Minimal sampai kita ingat apakah kita benar-benar saling mencintai,” ujarnya sambil mengerling, lalu pergi dari hadapanku. Entahlah. Aku menghenyakkan diri di kasur empuk berseprai serba putih. Kurasa ini memang kamar kami. Kami? Aku tertawa dalam hati. Aneh rasanya menyebut kata ‘kami’’ bagi seorang pria yang tak sama sekali dapat kukenali. Setelah kuingat-ingat, biasanya orang memajang beberapa pigura pernikahan dalam rumah, tapi ini hanya ada satu. Aku belum menemukan pajangan lainnya di sekitar dinding rumah berlantai satu ini. Kupandangi lagi pigura itu berkali-kali. Kulihat diriku tersenyum  bahagia dalam foto itu. Lenganku menggamit mesra Althaf yang mengenakan jas serba hitam, kepalaku bersandar nyaman di bahu kirinya. Tampak Althaf menatapku dengan tatapan penuh cinta. Ah, Apakah kami benar-benar saling mencinta? “Davika...,”kudengar Althaf memanggil nama seseorang. “Davika,” Ia mengulangi di depan pintu kamar. Aku baru sadar ia sedang memanggilku. “Kamu manggil aku?”“ Althaf mengangguk sambil mendekat. “Iya kamu. Siapa lagi yang namanya Davika di sini,” ujarnya.  Aku menggeleng. “Namaku bukan Davika. Aku Zaffina, bukan Davika,” ketusku. “Namamu Davika, bukan Zaffina. Sudah jelas di KTP-mu.”“ Tapi aku bersikeras untuk dipanggil dengan nama Zaffina. Aku merasa aku adalah Zaffina, dan tak ingin mengubahnya. Kening Althaf berkerut. “Enggak, aku akan tetap panggil kamu Davika, suka atau tidak,” ujarnya tak mau kalah.  “Emangnya kamu percaya bahwa namamu Althaf? Emangnya kamu percaya dengan semua ini? kamu kan juga amnesia?” cecarku frustrasi. Athaf menarik napas panjang, mencoba sabar. “Aku hanya ingin percaya apa yang ada di hadapanku saat ini.”“  “Baiklah, aku akan terus mencari tahu,” sinisku. **** next part ya, gaess...                                                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD