Bab Dua

1776 Words
"Sumpah! Boss di perusahaan ini benar-benar tampan. Rasanya aku tidak menyesal sama sekali meninggalkan perusahaan lamaku untuk pindah ke perusahaan ini," seru seorang wanita berambut coklat pada Hana. Wanita itu sedang berbicara dengan Hana, namun ia berusaha mencari keberadaan Reyner melalui gerakan mata. Hana tersenyum tipis menanggapi ucapan wanita itu. Wanita itu sebetulnya adalah atasannya, namun sikap wanita itu sangat ramah padanya. Bahkan wanita itu malah langsung mengajak Hana dan karyawan lainnya yang berada di divisi yang sama untuk duduk di satu meja dengan alasan untuk mengakrabkan diri, padahal sepertinya para manajer di divisi lain malah memilih untuk duduk bersama dan tak mempedulkan para bawahannya. Malam ini merupakan acara makan bersama penyambutan karyawan baru yang diadakan di salah satu restoran barbeque. Sejak tadi berbagai jenis daging dan alkohol terus diantarkan ke setiap meja. Beberapa karyawan laki-laki yang minum alkohol dalam jumlah banyak sambil memanggang daging dan tertawa-tawa dengan suara yang keras. Hana tak mengira kalau perusahaan ini cukup baik hingga mengadakan makan malam yang terlihat pesta. Sang boss bahkan sampai memesan lebih dari 10 meja di restoran karena jumlah pegawai yang banyak. Padahal di perusahaan tempat Hana bekerja sebelumnya sama sekali tidaka ada hal semacam ini. "Aku benar-benar tak mengerti kenapa lelaki seperti itu masih belum menikah juga. Mana mungkin tidak ada wanita yang mau dengannya." "Mmm ... mungkin itu karena dia tidak siap, Bu," ucap Hana dengan formal pada sang atasan. Siska,, si wanita berambut coklat itu, menepuk-nepuk punggung Hana. Wajahnya agak memerah setelah meminum lebih dari tiga gelas alkohol. "Aduh, aduh. Panggil 'Kak Siska' aja. Nggak usah formal begitu." Hana merasa agak tidak enak, namun ia segera menganggukan kepala pada sang atasan. Seorang wanita lainnya yang duduk di samping Hana melirik kearah seorang lelaki yang berjalan di kejauhan dan berbisik, "Hati-hati, ada Pak Andi. Nanti dipaksa minum bareng, lho." Hana mengernyitkan dahi, "Pak Andi? Siapa?" "Itu... kayaknya dia bakal ke sini." Hana segera menoleh dan mendapati seorang lelaki berusia empat puluhan yang berjalan menuju meja mereka. Lelaki berusia empat puluhan itu segera duduk di salah satu kursi kosong tanpa mengatakan apapun. "Cewek di divisi ini banyak yang cakep, ya. Boleh dong nemenin minum?" Hana merasa risih dengan lelaki itu, begitupun dengan beberapa karyawan perempuan di meja Hana. Beberapa karyawan laki-laki yang berada di meja tak ada yang berani melakukan apapun pada sang atasan. "Mengapa kau menatapku begitu? Berniat meremehkanku? Sadarlah, aku atasanmu dan kau cuma anak baru!" bentak lelaki itu tiba-tiba, membuat Hana terkejut. Hana tak mengerti bagaimana bisa orang seperti ini dipekerjakan di perusahaannya. Tampaknya lelaki itu sudah mulai mabuk dengan alkohol, dan Hana merasa agak ngeri. Bahkan Siska juga terlihat sangat tidak suka dengan sang atasan. "Tidak. Saya tidak menatap Bapak," jawab Sakura dengan formal. "Berisik! Temani aku minum," seru lelaki itu seraya menunjukkan gesture agar seseorang menungkan alkohol. Hana merasa ragu. Ia menatap sekeliling, berusaha mencari pertolongan. Namun semua orang di mejanya hanya diam saja dengan raut wajah tegang serta tak berani melawan.  "Tunggu apa lagi? Ayo minum." Hana mengangkat gelasnya dengan ragu dan berniat membenturkan gelasnya dengan gelas sang atasan. Namun sebuah suara membuat gerakannya terhenti. "Andi, bagaimana kalau minum dengan saya di meja para direktur?" Seketika Hana menoleh saat mendengar suara yang berasal dari arah belakangnya. Ia mendapati Reyner sudah berdiri di belakangnya dan mata lelaki itu fokus menatap lelaki berusia empat puluhan itu. Reyner  menyadari kalau Hana sedang menatapnya, begitupun dengan beberapa wanita di meja ini. Sebetulnya ia hanya melewati meja ini setelah pergi ke toilet, namun ia mendengar suara Andi yang menganggu dan menyadari kalau lelaki itu lagi-lagi memaksa karyawan untuk minum bersamanya. Dan tubuhnya seolah bergerak sendiri untuk menghampiri meja itu karena khawatir dengan para karyawan wanita. "Saya cukup kuat minum, lho. Sebaiknya kau minum dalam jumlah yang wajar karena besok kita akan tetap masuk kerja." Wajah Andi tampak jengkel. Lelaki itu berniat minum bersama perempuan cantik untuk malam ini, bukan bersama lelaki yang menurut orang-orang- berwajah tampan. Ia masih normal dan jelas lebih memilih wanita cantik ketimbang lelaki tampan. Reyner merasa ragu sebenarnya. Selama ini ia tak pernah minum lebih dari dua gelas wine dan berusaha keras agar tidak mabuk. Meski psikiater yang rutin dikunjunginya menyarankannya untuk minum secara bertanggung jawab tanpa memberitahu berapa banyak batas maksimal untuknya, namun ia memiliiki kesadaran untuk tidak minum berlebihan hingga mabuk. Ia bukanlah lelaki yang stabil dan ia tak tahu apa yang bisa dilakukannya jika ia mabuk. Namun ia merasa khawatir pada Hana. Lagipula akan berbahaya bagi seorang wanita mabuk untuk pulang sendirian, apalagi wanita itu baru bekerja satu hari dan belum tentu memiliki teman wanita yang bersedia mengantarnya pulang. Sementara meminta seorang lelaki untuk mengantar wanita itu pulang sama saja dengan melemparkan seekor domba ke sarang singa yang kelaparan. Tatapan Hana tertuju pada Reyner dan tanpa sengaja ia menatap pergelangan tangan lelaki itu yang terangkat sedikit. Matanya terbelalak ketika ia melihat sesuatu yang tampaknya seperti bekas sayatan. Ia tak ingin langsung percaya dengan pemikirannya dan meyakinkan diri kalau itu hanyalah bekas luka yang kebetulan mirip sayatan. Lagipula mana mungkin seorang lelaki yang tampan, kaya dan pintar sepertinya berniat bunuh diri? Hana segera berkata, "Bagaimana kalau Bapak mabuk? Saya sudah terbiasa minum alkohol dalam jumlah banyak, jadi seharusnya saya akan baik-baik saja." "Bukan urusanmu." Seketika Hana terdiam. Ia merasa benar-benar malu dihadapan rekan-rekan semejanya. Ia terkesan seperti wanita genit yang mencoba menggoda bosnya di hari pertama bekerja. Padahal ia sama sekali tidak bermaksud begitu. Terdengar suara yang ditarik dan Andi bangkit berdiri dengan terpaksa. Reyner segera meninggalkan meja itu bersama sang bawahan yang terpaksa mengikutinya menuju salah satu meja untuk minum bersama. Hana merasa sangat malu dihadapan rekan-rekan se-divisinya. Bahkan atasannya pun tahu apa yang baru saja terjadi dan ia merasa ingin menghilang saja kalau bisa. "Kau beruntung, tahu. Kau baru diselamatkan tadi," ucap Siska tepat setelah kedua lelaki itu meninggalkan meja.. ""Ah, masa sih? Mungkin hanya sekedar butuh teman minum." "Kau beruntung. Jaman aku baru bekerja disini , aku terpaksa meladeninya. Besoknya aku tetap masuk kerja, lagi." Hana menghela napas lega. Setidaknya ia tak dianggap sebagai w************n yang mencoba menggoda boss nya. . . "Gila! Pak Andi mabuk!" seru Siska seraya melirik lelaki yang sudah terlihat mabuk. Beberapa karyawan di meja terang-terangan tersenyum puas. Reyner sudah meminum lebih dari tiga botol wine dan ia sudah mulai mabuk. Sebetulnya ia tak ingin meminum alkohol dalam jumlah banyak, namun ia terpaksa menghabiskan alkohol yang terus menerus dituang ke gelasnya. Meski tidak secara eksplisit, lelaki paruh baya itu seola berniat menantangnya minum alkohol dalam jumlah besar. Ia sudah tak bisa mengemudi lagi dan ia tak mungkin menghubungi Andrew, sahabat sekaligus bawahannya, untuk menjemputnya di restoran sekarang. Sejak kemarin lelaki itu bahkan tidak masuk kerja karena demam. Maka ia tak memiliki pilihan selain pulang dengan taksi. Lelaki itu memaksakan diri untuk segera berdiri dengan bertumpu pada meja. Ia segera melangkah dan menepuk bahu Andi yang sudah tak bisa bergerak karena mabuk. Kemudian ia segera menghampiri salah seorang manajer pria di salah satu meja tempat dimana para karyawan dengan level manajer berkumpul. "Bisakah seseorang mengantar Andi pulang?" Salah seorang lelaki segera menganggukan kepala dan bangkit berdiri serta menghampiri Andi bersama lelaki lainnya. Mereka segera membopong lelaki itu menuju pintu keluar. Hana menoleh ke arah Reyner dan ia menyadari kalau langkah lelaki itu terlihat goyah. Rasanya ia ingin segera berjalan menghampiri lelaki itu, namun ia mati-matian menahan diri untuk tetap duduk di kursinya. Ia merasa malu jika dianggap sebagai perempuan murahan yang berusaha menggoda bosnya. Terlebih lagi belum ada seorangpun di mejanya yang pulang. "Pak Reyner nggak apa, tuh? Ini pertama kalinya aku melihat dia minum alkohol sampai mabuk," ucap Siska dengan khawatir. Hana segera mengeluarkan ponselnya dan melirik jam. Jam telah menunjukkan pukul 11 malam dan beberapa karyawan mulai pulang. Besok mereka juga masih harus masuk kerja. "Aku pulang dulu, ya," ucap wanita yang duduk di samping Hana sambil melambaikan tangan. "Sama, aku juga harus mengejar MRT," sahut wanita lainnya. Hana semakin khawatir pada Reyner. Lelaki itu kini duduk di salah satu meja sambil menenggak segelas air putih untuk meredakan mabuknya. Ketika orang-orang di mejanya sudah meninggalkan restoran, Hana memberanikan diri untuk menghampiri lelaki itu. "Terima kasih telah membantu saya menghindari Pak Andi. Bapak bisa pulang sendiri?" Reyner menoleh ketika mendengar suara seorang wanita. Kesadarannya mulai terkikis dan matanya agak sulit dibuka. Mendadak ia merasa benar-benar mengantuk. "Siapa yang membantumu?" Hana meringis, ia benar-benar malu hingga wajahnya memerah. Ucapan rekan-rekan semejanya telah membuatnya salah paham hingga berpikir kalau lelaki itu berniat membantunya menghindari tawaran minum dari sang atasan. "Bapak bisa pulang sendiri, kan? Atau mau meminta seseorang mengantar anda pulang?" Reyner benar-benar tidak kuat lagi. Ia merasa sangat mengantuk dan kepalanya segera terkulai membentur meja. Lelaki itu mendadak memejamkan matanya dan tertidur, membuat Hana benar-benar khawatir. "Pak?" Tak ada jawaban danHana segera mengguncang tubuh lelaki itu. Namun lelaki itu tetap tak bergeming. Kini ia bahkan mendengar suara dengkuran halus dari bibir lelaki itu. Tampaknya lelaki itu mabuk hingga tertidur. Hana menatap sekeliling. Banyak karyawan yang sudah pulang bersama rekan-rekannya yang sudah mabuk. Kini yang tersisa hanyalah karyawan yang tidak ia kenal dan tampak bersiap untuk pulang. Ia berharap agar tak seorangpun melihatnya. Ia segera melirik ke arah kasir dan dalam hati ia berharap agar sang bos sudah membayar seluruh tagihan untuk malam ini sehingga ia bisa pulang tanpa kekhawatiran bersama lelaki itu. "Maaf," gumam Hana sebelum meraih kantung celana Reyner dan meraih ponsel lelaki itu. Ia berharap dapat menghubungi seseorang untuk menjemput lelaki itu, namun ponsel itu dilengkapi dengan sensor sidik jari dan iris sehingga ia tidak bisa membukanya. Satu-satunya pilihan ialah membuka dompet lelaki itu dan melihat alamat di kartu identitasnya. Namun ia merasa sangat risih membuka dompet orang lain, apalagi orang yang hanya ia tahu namanya. Perempuan itu kembali menggumamkan permintaan maaf karena merasa tidak enak dan menyentuh kantung Reyner. Ia merasa seperti wanita yang sedang meraba-raba tubuh seorang pria dan ia sangat malu. Ia mendapati dompet dan kunci mobil di kantung celana lelaki itu. Ia segera mengambil dompet lelaki itu dan memberanikan diri untuk membukanya. Ia terkejut mendapati beberapa black card dan kartu tabungan prioritas dari beberapa bank di dompet lelaki itu. Namun ia segera mencari kartu tanda pengenal lelaki itu dan membaca alamat lelaki itu, dan ia malah mendapati sebuah lipatan kertas berwarna putih dan ia merasa sangat penasaran. Ia segera membukanya dan mendapati resep obat bertuliskan nama rumah sakit serta stempel yang bertuliskan nama dan nomor izin praktek seorang psikiater jika dilihat dari gelarnya. Hana terdiam dan melirik Reyner dengan ekor matanya, Ia merasa penasaran akan apa yang terjadi pada lelaki itu. Namun ini jelas-jelas bukan urusannya dan ia cepat-cepat mengembalikan kertas itu ke tempatnya serta mengeluarkan kartu identitas sang bos dan membaca alamat yang tertera disana. Hana segera mengembalikan dompet dan kunci mobil ke saku celana. Ia segera menatap sekeliling dan berharap tak seorangpun melihatnya sebelum ia menarik napas dan mengangkat tubuh lelaki itu. Ia tak memiliki pilihan lain karena lelaki itu sudah tak bisa berjalan, dan ia terlalu takut meminta bantuan pada para atasan yang masih belum pulang. Kali ini ia merasa beruntung karena ilmu bela diri yang dipelajarinya sejak kecil hingga lulus kuliah cukup berguna untuknya, sehingga ia mampu menggendong Reyner. Hana segera berjalan dengan cepat menuju pintu keluar restoran. Malam ini ia harus mengantar lelaki itu pulang. -Bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD