Bab Tiga

1600 Words
Reyner membuka matanya dan merasa heran karena ia berada di kamar yang asing. Ukuran kamar itu tidak besar, bahkan ukuran nya tidak sampai seperempat kamarnya. Di dalam ruangan itu hanya terdapat sebuah kasur dengan ukuran single, lemari kayu dua pintu yang tidak terlalu besar, meja, kursi dan televisi LED berukuran 32 inci yang terpasang di dinding. Jarak antara setiap furniture begitu dekat dan terdapat dua buah pintu, entah apa yang ada di balik pintu. Mendadak ia merasa panik dan lelaki itu segera mengecek tubuhnya sendiri. Ia ketakutan berada di kamar yang asing dan berharap agar ia tak bertemu laki-laki gila yang membawanya ke kamar asing dan melakukan sesuatu yang tak seharusnya dilakukan. Terdapat sebuah bingkai foto yang cantik dari stainless dengan dihias batu sejenis berlian palsu yang bersinar jika terkena cahaya, dan Reyner segera bangkit berdiri dan berniat melihat wajah di foto itu. Namun kepalanya terasa benar-benar sakit dan ia mendadak merasa mual hingga ingin mengeluarkan isi perutnya. Ini pertama kali baginya merasakan hal seperti ini dan ia mulai khawatir kalau ia mabuk dan melakukan hal-hal aneh, terutama karena ia bukan orang yang stabil. Ia berjalan dengan cepat menuju salah satu pintu yang menurutnya adalah pintu menuju kamar mandi. Ia seger membuka pintu dan mendapati kamar mandi sederhana seukuran 2 x 3 meter dengan shower, wastafel dan kloset. Tanpa berpikir panjang Reyner segera mengeluarkan isi perutnya di kloset dan menekan flush sebelum mencuci mulutnya dengan air keran dari wastafel. Tubuhnya terasa lebih baik, namun ia masih merasa ketakutan dengan ruangan asing itu. Pikiran negatif terus muncul di kepalanya, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terburuk hingga dadanya terasa sesak. Rasa takut membangkitkan kenangan lama yang mendadak berputar di kepalanya bagaikan sebuah film, dan ia segera meraih kantung dibalik jasnya, berharap menemukan sebotol obat yang biasa ia bawa kemanapun. Ia segera mengambil sebuah gelas kosong di wastafel dan membilasnya dengan air keran sebelum mengambil pil dari botol dibalik saku jasnya dan meminumnya dengan air keran tanpa mempedulikan higienitas. Ketika obat itu bekerja, wajahnya yang semula terlihat kusut mendadak terlihat lebih cerah. Sudut bibirnya melengkung ke atas tanpa ia kehendaki meski tak ada yang membuatnya senang, namun setidaknya kenangan lama yang semula muncul di benaknya perlahan menghilang. Obat itu mengenyahkan ketakutan tak berdasarnya untuk sementara. Reyner segera berjalan keluar dari kamar mandi dan berniat melihat wajah orang yang berada di foto, namun terdengar suara ketukan di pintu dan mendadak ia merasa agak takut. Bagaimana kalau yang datang adalah seorang pria asing yang mungkin telah mencabulinya semalam seperti yang dilakukan orang b******k itu? Tanpa berpikir panjang, lelaki itu segera duduk di lantai dan meringkuk. Ia membenamkan kepalanya diantara kedua lututnya dan tak berani melihat orang yang memasuki pintu. Pintu terbuka dan Hana berjalan memasuki ruangan. Ia terkejut mendapati sang atasan yang kini meringkuk di dekat tembok sambil duduk di lantai. Ia tak mengira akan mendapati pemandangan yang mengherankan, padahal semula ia berniat mengambil baju di lemari karena ia ingin mandi dan lupa mengambil baju. "Lho? Apa yang anda lakukan, Pak? Kenapa malah meringkuk di lantai seperti itu?" Reyner mendengar suara yang familiar dan ia memberanikan diri mengangkat kepalanya. Ia mendapati Hana yang berdiri di dekat lemari sambil mengenakan kaus yang agak lusuh dan celana pendek yang menutupi setengah pahanya. Perempuan itu bahkan secara refleks menyilangkan tangan di depan d**a, menyembunyikan dadanya yang tak terbalut bra. Hana menyadari kalau Reyner kini menatapnya dan ia mendadak merasa sangat malu. Ia baru sadar kalau pakaiannya agak terbuka dan terkesan jauh dari kata formal. Ia tak seharusnya berpenampilan begini dihadapan lelaki yang baru dikenalnya, apalagi jika orang itu adalah bosnya. "Apa yang terjadi semalam? Ini kamarmu?" "Bapak mendadak tidur dan saya terpaksa mengantar anda pulang dengan taksi. Namun karena ternyata tempat tinggal anda apartemen, saya terpaksa membawa anda pulang ke rumah saya. Dan ini adalah kamar saya," jelas Hana dengan bahasa formal. Ucapan Hana benar-benar formal dan ia merasa seolah ia adalah pelayan yang berbicara dengan tuannya, padahal sebetulnya ia lah tuan rumah di rumah ini. Hana benar-benar bingung semalam. Ia baru menyadari kalau tempat tinggal Reyner adalah apartemen dan ia tidak tahu berapa nomor apartemen lelaki itu. Selain itu sama sekali tidak ada petunjuk di dompet lelaki itu. Ia juga tidak mungkin meninggalkan lelaki itu di hotel manapun selain hotel bintang lima. Jika ingin melakukan reservasi atas kamar hotel, maka harus membayar terlebih dahulu. Namun sejujurnya Hana merasa tidak rela mengeluarkan uang banyak untuk fasilitas hotel yang tidak akan ia nikmati, dan ia juga tidak enak hati jika harus menagih biaya kamar hotel pada sang atasan. Maka satu-satunya cara adalah membawa lelaki itu ke rumahnya. Sebetulnya orang tua Hanaa benar-benar konservatif. Ia bahkan dipaksa untuk tinggal bersama orang tuanya hingga menikah, hal yang aneh di jaman modern. Kemarin malam ia bahkan harus mati-matian menjelaskan pada orang tuanya yang panik ketika melihat putrinya pulang di malam hari bersama seorang laki-laki yang mabuk di gendongannya. Pada akhirnya, Hana terpaksa merelakan Reyner memakai kamarnya sementara ia tidur di kamar orang tuanya karena hanya ada dua kamar di rumahnya. "Semalam... kau tidak melakukan sesuatu padaku, kan? Atau mungkin malah aku yang melakukan sesuatu padamu?" Hana tak mampu menahan diri untuk tidak tertawa. Ia berusaha menutup mulutnya dengan tangan, namun masih terdengar suara tawa dari mulutnya. Rasanya begitu lucu mendengar pertanyaan seperti itu dari mulut seorang pria. Ia mengerti kalau seorang wanita mabuk khawatir terjadi hal yang tak seharusnya dilakukan, namun rasanya lucu sekali jika seorang lelaki malahan merasa khawatir. Menyadari tatapan tajam yang ditujukan padanya, ia segera berkata, "Aduh, maaf. Habisnya anda benar-benar lucu. Anda seorang pria, kan? Masa ada orang yang mau memperkosa pria dewasa seperti anda? Apalagi saya ini perempuan." Reyner merasa kurang senang dengan ucapan Hana. Meski kasusnya tidak banyak karena biasanya pria bisa mempertahankan diri, namun tetap ada pria dewasa yang mengalami pelecehan seksual. Bahkan ada pula pria yang diperkosa oleh wanita, meski kedengarannya hampir mustahil. Namun lelaki itu memutuskan untuk tak menghiraukan ucapan Hana dan ia segera bertanya, "Siapa yang membawaku kesini semalam?" "Tentu saja saya sendiri," jawab Hana dengan serius. "Maaf kalau anda agak risih, semalam saya terpaksa menggendong anda sejak berada di restoran." Reyner merasa lega karena tidak ada pria yang menyentuh tubuhnya saat mabuk semalam. Rasanya agak aneh karena ia sendiri juga adalah seorang pria, namun ia terkadang merasa ketakutan terhadap pria. Setelah kejadian itu, ia bahkan menangis keras dan berteriak setiap kali ada pria selain ayah dan kakaknya yang mendekatinya. Traumanya benar-benar buruk hingga untuk sementara ia terpaksa home schooling hingga traumanya membaik. Namun sesaat kemudian Reyner baru menyadari penjelasan Hana dan ia terkejut ketika mencerna ucapan perempuan itu. Rasanya sulit dipercaya ada seorang wanita yang sanggup menggendong seorang pria dewasa setinggi seratus delapan puluh lima sentimeter sepertinya. "Menggendong?" Hana menganggukan kepala, "Memangnya ada apa?" Reyner segera menggelengkan kepala. Ini pertama kalinya melihat seorang wanita yang begitu kuat, dan ia merasa benar-benar terkejut. "Kalau begitu saya akan mandi dan berangkat ke kantor. Kalau anda ingin sarapan, silahkan turun ke bawah. Maaf kalau rumah saya kecil dan tidak terlalu nyaman, saya tinggal bersama orang tua saya disini." Reyner merasa tidak enak saat mendengar ucapan Han. Ia yakin kalau orang tua wanita itu adalah tipe orang tua yang konservatif dan semalam pasti orang tua perempuan itu panik saat putrinya membawa lelaki asing yang mabuk ke rumah. "Maaf sudah merepotkanmu. Terima kasih untuk semalam." Hana yang baru saja membuka pintu lemari segera menoleh. Ia sedikit terkejut mendengar ucapan lelaki itu. Padahal mulut lelaki itu tajam, namun kenapa kata-katanya terdengar sopan kali ini? "Tidak perlu berterima kasih. Saya tidak mungkin meninggalkan seorang lelaki mabuk sendirian semalam." Reyner menatap wanita itu lekat-lekat. Ia merasa kalau wanita itu adalah orang yang baik, entah memang benar-benar baik atau hanya baik padanya karena status dan kekayaannya. . . Hana merasa gugup saat ini. Kali ini merupakan kali pertama baginya menikmati mobil sedan mewah dan ia bahkan tak berani menatap ke arah sang atasan yang sedang mengemudi di sampingnya. Lelaki itu memintanya untuk menemani pergi ke restoran yang dikunjungi semalam dan dalam hati Hana berharap agar ia tidak telat. Dan beruntunglah masih ada waktu setengah jam tersisa sebelum jam masuk kerja dan jalanan tidak macet sehingga ia tidak akan telat. "Bisakah anda menurunkan saya di dekat kantor? Saya tidak enak kalau pegawai lain melihat saya berangkat bersama anda. Bisa-bisa mereka memikirkan hal yang negatif." Ucapan Hana membuat Reyner semakin merasa heran. Wanita lain malahan ingin menempel padanya, namun perempuan seolah berusaha menjaga jarak dengan tidak bersikap murahan. "Bukankah kemarin mereka juga sudah melihatmu pulang bersamaku?" Hana menggelengkan kepala, "Tidak. Saya cepat-cepat menyelinap dan langsung masuk ke dalam taksi kosong yang kebetulan melintas di depan restoran. Sepertinya tak ada seorangpun yang melihatnya." "Kuturunkan kau di tempat parkir." Sakura tak bisa menolak dan ia segera mengucapkan terima kasih. Gedung kantor ST Food telah terlihat di kejauhan. Lelaki itu segera mempercepat laju mobinya dan menuju tempat parkir di bagian basement. Sebetulnya ia bisa saja parkir di tempat parkir khusus untuknya yang telah diberikan nomor mobil di luar gedung, namun ia memilih parkir di basement kali ini. Reyner segera memparkirkan mobilnya di salah satu tempat parkir kosong di dekat pintu menuju elevator dan Hana segera turun dari mobil ketika mobil berhenti. Ia berharap agar tak seorangpun melihat dirinya yang keluar dari mobil sang atasan, dan ia menunggu lelaki itu keluar dari mobil. Lelaki itu segera mengeluarkan segepok uang seratus ribuan yang diambilnya dengan perkiraan tanpa dihitung lagi dan memberikannya pada Hana, "Untukmu. Bilang saja padaku kalau jumlahnya kurang." Hana mengernyitkan dahi menatap uang yang diberikan padanya, "Uang? Untuk apa?" "Terima kasih atas bantuanmu semalam." Hana segera mendorong tangan Reyner dan berkata dengan suara yang agak meninggi secara refleks, "Bantuan apanya? Saya hanya meminjamkan kamar semalam. Tidak usah dipikirkan, simpan saja uang anda." Reyner belum sempat berkata apapun ketika Hana mendadak menatap jam di ponselnya dan ia panik karena sepuluh menit lagi jam kerja akan dimulai, dan biasanya elevator akan sesak di jam seperti ini. "Aduh, saya akan telat sebentar lagi. Selamat bekerja," ucap Hana dengan asal sebelum ia berlari menuju elevator. Reyner menatap Hana yang kini sudah menjauh. Tampaknya wanita itu bukanlah tipe orang yang materialistis, dan ia mulai penasaran dengan wanita itu. -Bersambung-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD