2. Mati Lampu

2127 Words
Angin malam menerbangkan kerudung hitam gadis cantik nan anggun, berayun mengikuti hembusan angin, menerbangkan angannya di malam itu. Malam di mana dirinya bertemu Emir untuk pertama kali nya setelah sekian lama berpisah dengannya. Saat itu dirinya tengah sekarat kehabisan nafas. Sejak tinggal di Belanda, entah mengapa dirinya mengidap alergi dingin. Dan tiap kali merasa kedinginan, alerginya yang berupa sesak nafas selalu kambuh. Sial sekali, sakit Rindu malam itu akibat dinginnya udara lumayan parah. Hingga akhirnya obat nya yang tinggal sebutir tidak cukup mempan mengobati sakitnya. Malam itu, ia terpenjara di rumahnya, ingin keluar rumah tapi tidak bisa. Di luar rumah, hujan begitu lebat mengguyur. Nafasnya yang terasa mencekik di leher membuat Rindu tidak sanggup berjalan jauh. Baru lima langkah berjalan nafasnya sudah menderu bagai atlet lari yang baru saja berlari jauh. Akhirnya ia hanya meringkuk di dalam kamarnya, menikmati sakit nya yang kian parah. Ponsel nya yang mati kehabisan baterai tak memiliki pulsa. Hanya bisa menanti keajaiban itu datang, Allah mengirimkan penolong untuknya, atau dia justru menyudahi hidupnya. Dalam keputus asaannya, Allah ternyata masih memberinya kesempatan hidup. Mengirim Jasmin datang menolongnya. Dan kehadiran Emir yang sama sekali tak terduga bagai melengkapi keajaiban hidupnya yang sedang sekarat. Tubuh tinggi tegapnya menggendong dengan mudah tubuh nya. Lalu segera menuju UGD. Rindu semakin yakin Emir itu adalah Emir sahabat kecilnya tatkala Jasmin menyebutkan nama lengkapnya. Emir Sulaiman. Tidak ada yang bisa Rindu lakukan selain melihat nya. Sempat cemburu ketika Emir tertawa dan menggoda Jasmin. Namun akhirnya ia harus tersenyum, mungkin dua malaikat penolongnya memang harus bersatu. Pria baik untuk wanita baik. Mereka pasangan yang serasi, yang pria tampan dan yang perempuan cantik. Cit… Rindu menghentikan motornya di depan gerbang rumah Emir. Rumah itu punya gerbang dengan kunci otomatis, cukup menekan kombinasi sandinya, maka gerbang terbuka secara otomatis. Jam menunjuk angka sepuluh malam saat Rindu tiba di rumah bergaya minimalis mewah tersebut. Kaca-kaca lebar berjajar di setiap sudut ruangan. Di siang hari, tanpa bantuan lampu, rumah itu pasti terang benderang. Terasa sangat lapang pasti menjadi salah satu tujuan rumah itu di bangun. Mengandalkan ruang yang luas dengan sedikit perabot cukup membuat rumah itu terkesan modern. Rindu pun bergegas ke dapur. Menata semua menu di meja. Lalu merebus air untuk teh dan kopi Emir. Semua terasa aneh saat ia selesai menata makanan dimeja, telah menyiapkan kopi dan juga teh. Namun Emir tak kunjung muncul, bahkan ketika Rindu memanggil namanya, tidak ada respon sama sekali dari dalam rumah. Rindu yakin Emir ada di rumah karena mobil pria itu terparkir di garasi, bahkan tas dan sepatu yang biasa Emir pakai masih teronggok di sofa ruang tengah. Naluri khawatir Rindu seketika muncul di dadanya. Merasa sesuatu terjadi pada teman masa kecilnya, teman di kampus, dan juga tuan mudanya tersebut. Karena cemas, Rindu akhirnya mencari Emir di setiap ruangan. Tapi Sayang Emir tak ada di manapun. Tak ada sahutan sama sekali dari panggilan yang Rindu ucapkan. Rindu pun tidak keberatan naik ke lantai dua, mencari Emir di setiap ruangan yang ada. Di lantai dua, hanya terdapat kamar tidur yang terbagi menjadi tiga ruangan. Satu persatu pintu pun Rindu ketuk sambil memanggil nama Emir. Karena tidak ada jawaban, Rindu membuka kamar pertama, memastikan Emir tidak ada di dalam. Kamar itu ternyata sepi, tidak berpenghuni. Begitu juga dengan kamar ke dua, keadaannya sama dengan kamar pertama. Pet… tiba-tiba lampu rumah mati. Keadaan seketika menjadi gelap gulita. Rindu panik, merasa sendirian di rumah sebesar itu. Merasa tersesat di sebuah tempat antah berantah, semakin panik karena belum hafal setiap sudut rumah besar tersebut. Bagaimana jika ia berjalan ke tempat yang tidak ia kenali? Tersesat? Lalu bagaimana cara ia keluar jika jalan masuknya saja tidak ia ketahui ada di mana. “Waa….” Sebuah teriakan menggelegar keras tiba-tiba datang dari salah satu kamar. Kamar yang belum sempat Rindu periksa. Rindu pun tersentak kaget. Jantungnya berdegup kencang ketakutan. Dan ia baru sadar saat suara itu berteriak frustasi dan ketakutan, minta siapa saja yang ada di situ agar segera menolongnya. “Waa…. Tolong aku, siapapun di sana tolong aku, keluarkan aku dari sini” Suara itu kembali berteriak-teriak ketakutan, penuh rasa histeris dan keputus asaan. "Emir?" Gumam Rindu. "Emir kamu di mana?" Teriak Rindu. "Aku di sini, di kamar ku. Tolong aku. Siapa pun ku mohon tolong aku!" Emir terus berteriak-teriak ketakutan. Rindu gugup. Perasaannya bercampur aduk. Antara kasihan dengan Emir ingin menolongnya, tapi ia juga merasa tidak enak menolongnya, karena Emir sudah punya Jasmin, calon istrinya. Tangan Rindu gemetar menggerayangi saku gamisnya. Ia yakin ponselnya tadi ia taruh di sana. Tapi, kenapa mendadak tidak ada? Rindu lalu menggerayangi seluruh bajunya, termasuk celana pendek yang ia pakai di balik gamisnya. Berharap ia tadi lupa menaruh ponselnya, semoga ada di salah satu kantung bajunya. Tangannya semakin gemetaran panik saat Emir tak henti-hentinya berteriak keras-keras. Rindu tidak menyangka, Emir ternyata masih mengingat kenangan kelam masa kecilnya. Ketakutan itu adalah trauma Emir. Rindu ingat, Emir punya phobia pada kegelapan akibat dari trauma yang ia dapatkan. Tak sempat, Rindu tak sempat lagi mencari ponselnya, ia terlalu khawatir dengan Emir. Dengan langkah pelan dan meraba raba dinding, wanita itu terus berjalan, ia langsung berhenti ketika menemukan pintu. Rindu yakin itu adalah kamar Emir. "Emir?" Teriak Rindu ketika baru saja membuka pintu. Matanya kini mulai terbiasa dengan gelap, seberkas cahaya bulan, remang menyinari kamar berukuran luas 10 meter persegi tersesbut. Rindu langsung menghampiri sosok yang meringkuk di bawah tepi ranjang, jatuh di atas lantai. "Emir…, kamu nggak pa pa kan? Nggak ada yang sakit kan?” Tanya Rindu lembut, berusaha menenangkan Emir yang melipat kedua kakinya ke atas, menyembunyaikan wajahnya di antara kedua kaki. Namun Emir seperti tak mendengar suara Rindu, ia justru mencercau, terus mengatakan tolong aku, keluarkn aku dari sini. “Emir, buka matamu, ada aku di sini, kamu nggak sendirian.” Rindu terpaksa memegang bahu Emir, menyadarkannya jika ada seseorang di sampingnya. Pria itupun seketika mendongakkan wajahnya. Buru-buru ia raih tangan Rindu, menggenggamnya erat, seolah takut jika Rindu akan meninggalkannya. “Kamu siapa?” tanya Emir. “Aku…, Rindu. Teman Jasmin. Jangan takut lagi ya? Aku…, ada di sini.” Tangan Rindu gemetar menggenggam tangan Emir. Diam-diam hatinya bergemuruh, bahagia, sedih dan cinta menyatu di hatinya. Rindu tahu itu salah, namun apa salahnya jika dirinya hanya menikmatinya? Emir pun seketika terdiam, kepalanya menunduk. Dalam genggaman tangan Rindu, ia memegang erat jemari wanita itu. “Kenapa listrik tiba-tiba padam? Lalu kapan menyala? Kenapa…., sangat lama?” Begitu banyak pertanyaan yang membuat Emir frustasi. “Entahlah, a-aku juga tidak tahu, Emir.” jawab Rindu kaku, sebenarnya ia pun malu dengan keadaan nya, mereka bahkan bukan sahabat, hanya saling kenal karena Emir adalah calon suami sahabatnnya. Tapi bagaimana mereka bisa terjebak dalam situasi yang tidak nyaman tersebut? Terpaksa menggenggam tangan kekar Emir yang lebih besar dari telapak tangan nya, hanya sekedar menenangkan pria itu yang sedang ketakutan, dan Emir pun menggenggam erat tangan Rindu, seolah wanita itu satu-satunya harapan yang dia temukan. Rindu tidak menyangka, ternyata Emir masih sama seperti dulu takut pada kegelapan setelah mengalami hal yang traumatis, dan itu adalah salahnya. “Ha pe mu mana, Emir?” Tanya Rindu. Kepalanya celingukan, tapi ia tidak bisa melihat apapun selain kegelapan dan bayangan-bayangan perabot kamar Emir yang tidak ia tahu, seperti apa bentuk sebenarnya. “Aku tidak tahu, mungkin ada di meja, atau mungkin tertingal di bawah?” suara bas Emir terdengar seksi di telinga Rindu. Membuat wanita itu semakin kagum padanya. “Ha pe mu sendiri mana?” Emir balik bertanya. “Ha pe ku ada di dapur.” jawab Rindu, kita turun aja gimana? Kita bisa mencari sesuatu di sana, daripada terus di sini dan tidak ada yang bisa lakukan.” Emir hanya diam, namun akhirnya ia menjawab. “Baiklah kita turun, tapi tetaplah di sampingku Rindu. aku…, tidak bisa sendirian di sini” ‘Ah belibet banget kamu, Mir. Bilang aja terus terang kalau kamu takut, gitu aja gengsi,’ gumam Rindu dalam hati, bibir nya diam-diam menahan tawa. Sebelah tangan rindu membenahi letak jilbabnya yang ia yakin miring, setelah itu berdiri. Emir dan Rindu lalu berjalan bersama dalam keremangan cahaya. Sebelah tangan Rindu menggapai kesana kemari, agar tubuhnya tidak menubruk sesuatu. Seandainya rumah itu sudah pernah ia kunjungi, sudah hafal seluk beluk ruangannya, tentu dirinya tidak akan kesulitan mencari jalan. Yang bisa Rindu lakukan hanyalah berjalan dan terus berjalan sambil mengingat bentuk rumah itu, di mana letak tangga menuju lantai bawah. Emir yang ada di belakang Rindu benar-benar tidak bisa ia andalkan. Pria itu berjalan di belakangnya sambil berpegang erat pada lengan Rindu. Seolah ia tidak tahu apapun atau bagaimana bentuk rumah itu. Dari keremangan cahaya yang sempat ia lalui, Rindu sempat melihat wajah Emir. Ia terkejut, ternyata Emir sejak tadi selalu memejamkan matanya rapat. Pantas pria itu selalu menjawab tidak tahu ketika Rindu tanya sudah sampai di ruang mana mereka. Masih jauh atau sudah dekat dengan tangga. Ternyata Emir benar-benar tidak tahu. Ia memepercayakan jalannya pada Rindu. Setelah lima menit jemari lentik Rindu menggapai tak tentu arah, hanya berjalan menurut instingnya dan cahaya dari bulan yang pelit untuk bersinar. Rindu lega akhirnya bisa menemukan tangga yang sejak tadi ia cari. Mereka pun sukses menuruni tangga secara perlahan. Grudak grudak…. Karena kurang hati-hati, Tiba-tiba Rindu terjatuh dari dua undakan yang terakhir. Emir pun ikut terjatuh, dan tanpa sengaja genggaman mereka terlepas. “Rindu, kamu di mana?” Suara Emir panik. “Rindu?” Tangannya menggapai kesana kemari. “A-aku disini, Emir.” Rindu pun ikut menggapai kesana kemari, dan langsung menangkap tangan Emir ketika menemukannya. Kedua tangan Emir pun langsung menggenggam hangat tangan Rindu. Takut jika ia kehilangan jemari lentik yang sangat berharga itu. Mereka lalu berdiri. Tubuh Rindu seketika tersentak, kaget bukan main, tidak percaya, Emir tiba-tiba memeluk bahu Rindu dari belakang. “A-apa yang kamu lakukakn Emir?” ucap Rindu panik, berusaha melepas pelukan Emir, namunn Emir tidak mau melepasnya, bahkan ia menyandarkan kepalanya di bahu Rindu yang kecil. “Kumohon, biarkan begini saja Rindu," nafas Emir terputus-putus. "Dadaku…, sakit, kaki ku…, juga lemas." Suara Emir lemah. "Tolong aku, Rindu. Aku…, nggak sanggup lagi jalan. Kamu…, bisa menggendongku?” ‘Hah? Apa? Yang benar aja, aku menggendong tubuh sebesar ini? Tubuh nya sebesar beruang? Mana sanggup aku menggendongnya? Ya Allah…, mimpi apa aku semalam? Baru kali ini aku di suruh menggendong tubuh pria, kalau dia masih umur lima tahun sih oke, lah ini? Bobot Emir pasti lebih berat dari tubuhku. Kalau benar aku menggendong nya, bisa-bisa aku jatuh tersungkur sebelum kaki ku melangkah, tinggal ngasih sambel, jadi ayam geprek deh aku. “Pe-pegangan aja yang erat, aku akan menuntunmu ke sofa. Ma-maaf, gara-gara aku nggak hati-hati kamu jatuh” sesal Rindu. Dalam Hati, Rindu benar-benar merasa bersalah, lagi-lagi dirinya menyebabkan Emir menderita, ia masih ingat betul, dirinya lah yang membuat Emir menjadi penakut, phobia pada kegelapan. Rindu lega, tidak jauh dirinya ada sofa warna putih, lebar berbentuk minimalis. Perlahan Rindu mendudukkan Emir di sofa. Di sofa, Emir ternyata masih belum juga mau melepas pelukannya di bahu rindu, hingga membuat wanita itu tanpa sengaja duduk di atas pangkuan Emir. “Le-lepaskan aku Emir. Ja-jangan begini.” ucap Rindu terbata. Tidak bisa Rindu bantah, akibat perbuatan Emir, hatinya berdebar-debar. Sejak kecil dirinya memang mengagumi sosok Emir yang memang tampan sejak kecil, dan sekarang ketika melihat Emir lagi, ia pikir bisa membunuh perasaannya untuk Emir. Tapi sekarang? Apa-apaan ini? Mengapa ada jebakan setan antara dirinya dan Emir? Mereka berdua-duaan dalam kegelapan, tidak hanya itu, mereka pun saling bersentuhan, bahkan mereka kini saling bersentuhan tubuh. Rencana apa ini? Dari dedemit yang di laknat Allah? Atau rencana dari Allah? “Aw….” pekik Rindu pelan, tiba-tiba Emir menurunkan tubuhnya, dengan mudah memindahkan tubuh Rindu menyandar pada sandaran tangan. Dan gadis itu terpekik saat Emir tiba-tiba memeluk tubuhnya, menyandarkan kepalanya di d**a lembut milik Rindu. “A-apa yang kamu lakukan Emir? Kita nggak boleh begin. I-ini dosa” Rindu berusaha menjauhkan kepala Emir dari dadanya. “Biarkan sebentar seperti ini, Rindu. Dadaku terus berdebar-debar takut. Sakit, rasanya seperti mau meledak.” Rintih Emir. “Ta-tapi jangan seperti ini.” Rindu masih berusaha menjauhkan kepala Emir, mendorong-dorong tubuh keras Emir. “Kumohon Rindu, biarkan ini sebentar saja. Aku hanya memijam dadamu sebentar, atau kamu mau aku mati?” Rindupun terhenyak. Ia bingung, merasa berdosa karena melakukan perbuatan terlarang. Tapi ia juga kasihan pada Emir yang memang jelas terasa, bahwa jantung pria itu berdetak terlalu cepat, berbaur dengan detak jantungnya yang berirama tak karuan, dan rasa bersalah pun semakin menggelayuti perasaannya, tatkala mengingat Emir adalah calon suami sahabatnya. Lagi-lagi Emir harus menderita karena perbuatannya. Besok, dirinya akan keluar dari pekerjaannya, menjauhi Emir adalah pilihan yang terbaik. Setelah ini ia harus hidup menjauh dari Emir. Bersikap seolah tak mengenalnya. Bersambung….
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD