bc

Setelah Kita Menikah

book_age18+
2.0K
FOLLOW
18.9K
READ
fated
CEO
drama
sweet
office/work place
first love
poor to rich
like
intro-logo
Blurb

Sekuel novel Temukan Aku Cintaku.

Rindu mahasiswi cerdas, cantik, dan baik. Berpikir, jika masa mudanya yang bebas masih berjalan lama, tidak akan menikah sebelum mendapat pekerjaan impiannya di kantoran.

Semua berubah saat Rindu terjebak di rumah Emir, tempat nya bekerja untuk membiayai kuliah. Dalam keadaan listrik padam. Ia dan Emir terpaksa berdua-duaan. Parahnya Emir yang punya phobia gelap, langsung memeluk tubuh Rindu, tidak akan melepas jika lampu belum menyala.

“Kumohon..., biarkan begini saja Rindu," nafas Emir terputus-putus. Kedua tangannya memeluk bahu Rindu dari belakang. "Dadaku…, sakit, kaki ku…, juga lemas." Suara Emir lemah. "Tolong aku, Rindu. Aku…, nggak sanggup lagi jalan. Kamu…, bisa menggendongku?” ucap Emir putus asa, terlalu takut dengan rumahnya yang gelap gulita.

‘Apa? Yang benar aja, aku menggendong tubuh sebesar ini? Ya Allah…, mimpi apa aku semalam? Baru kali ini aku di suruh gendong tubuh pria, kalau masih umur lima tahun sih oke, lah ini? Bobot Emir jelas lebih berat dari tubuhku. Kalau aku menggendong nya, bisa-bisa aku jatuh sebelum melangkah, tinggal ngasih sambel, jadi ayam geprek deh aku.'

Akibat kejadian ini. Hidup Rindu berubah. Mau tahu lanjutan kisah mereka? Yuk simak cerita cinta mereka.

chap-preview
Free preview
1. Gadis Malang
Cantik, sabar, dan penyayang itulah wanita idaman setiap pria. Jika di tanya seberapa beruntungnya pria yang mendapatkannya? Tentu tidak ternilai. Lalu seberapa untungnya kehidupan wanita seperti itu? Entahlah, kita tidak akan tahu, karena semua manusia memang di karuniai garis hidup berbeda-beda. Nasib malang justru dirasakan gadis cantik yang baik hatinya. Hidupnya semakin miris setelah ibunya pensiun awal dari pekerjaannya di Saudi Arabia. Pegawai tetap di sebuah bank, berniat pulang karena merasa cukup mengumpulkan modal untuk usaha di tanah air. Berpikir lebih baik ia hidup sederhana bersama keluarga, daripada hidup mewah tapi jauh dari keluarga. Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih. Nasib ibu itu sungguh malang, begitu ia sampai di rumahnya, ia terkejut bukan kepalang, rumahnya kosong mlompong bagai tak berpenghuni, Rumah laba-laba bertebaran di mana-mana, perabot rumahnya telang hilanng entah kemana, hanya menyisakan magic com usang tak pernah tersentuh, televisi jadul yang dulu bahkan sudah tidak pernah di lihat, lemari, dan ranjang usang tak terawat, lalu di mana kulkasnya? Mesin cucinya? Dispensernya? Beberapa Televisi LED nya? Sofa terbarunya? Dan entah apa lagi yang tidak ada, ia lupa sudah punya apa saja, karena setiap tahun ia pulang, maka ia tahu perkakas apa saja yang ia miliki. Anak satu-satunya masih kuliah di Belanda. Dan setelah ia menunggu seharian, suaminya ternyata tak pernah muncul. Ia semakin terperangah saat mendengar kabar, bahwa suaminya telah menikah lagi dua bulan yang lalu. Kepala Bu Yunita saat itu juga terasa berputar-putar. Tapi Bu Yunita harus melihat semua dengan mata kepalanya sendiri, harus mencari kepastian dimana keberadaan suaminya. Setelah ia menempuh perjalanan yang di antar oleh tetangganya, ia terkejut bukan main, suaminya baru saja tiba di rumah itu menggunakan mobil miliknya, ia terperangah tidak percaya, ternyata satu mobil dan dua motor yang ia beli dengan jerih payahnya di boyong ke rumah itu. Bu Yunita tidak berharap mendapat sambutan yang hangat, tapi mencaci maki dirinya sungguh sangat kejam. Tidak hanya Pak Halim suaminya, Tapi pelakor itu pun ikut memaki Bu Yunita. Mengatakan jika dia mengaku-aku semua perabot yang ternyata diambil dari rumahnya adalah bagian suaminya, jadi itu adalah bagiannya juga. Banyak kata-kata kotor nan kejam terlontar dari bibir pelakor dan suaminya yang mempunyai usaha travel. Hingga membuat Bu Yunita seketika pingsan di tempat. Dan setelah di bawa ke dokter, Bu Yunita ternyatadi diagnosis mengidap stroke. Ia lumpuh seketika, tidak bisa apa-apa. Karena tidak ada yang merawat Bu Yunita, wanita itu pun dibawa ke kampung halamannya, di rawat sendiri oleh orang tuanya. Hingga akhirnya putri satu-satunya pulang dari Belanda. Dia lalu meminta ibunya dari neneknya, tidak ingin merepotkan neneknya yang juga sudah renta, dirinya lah yang akan merawat ibunya. Rindu begitu tegar menjalani hidupnya. Walau kini ia tak berkecukupan seperti dulu, ia tidak mengeluh, sudah terbiasa dengan garis hidupnya naik turun, sudah pernah mengalami keterpurukan ekonomi sebelum ibunya berangkat ke Arab. selain itu, ia pun sudah terbiasa hidup sederhana, menggunakan uang secukupnya, dan menyimpan sisanya. Dan kini Rindu tidak mau ambil pusing dengan sikap ayahnya yang ke kanakan, jatuh cinta lagi pada wanita lain yang lebih muda. Ayahnya memang tampan, wajar jika banyak wanita menyukainya, wanita itu datang tepat saat ayahnya sedang mengalami pubertas keduanya, memberinya pujian dan kasih sayang yang ayahnya inginkan. fokus Rindu saat ini hanyalah pendidikannya, karir untuk masa depannya, dan ibunya yang malang, yang kini hanya bisa tergolek lemah di ranjang, makan dan minum harus ia suapi, memandikannya di pagi hari, dan mencuci semua kotorannya. Trak-trak…. Rindu tengah mengaduk-aduk bubur sum-sumnya di dapur, keringat mengucur dari dahi dan leher putihnya yang jenjang. Ia tetap merasa kegerahan walau rambut hitam panjangnya telah ia gulung ke belakang, menjepitnya dengan penjepit rambut warna merah muda. Hari itu cuacanya memang terasa panas. Begitu dirinya tiba di rumah, baru pulang dari kuliah,Rindu langsung melepas gamis dan kerudungnya, memakai kaos pendek yang ringan dan menyerap keringat, lalu memakai celana selutut agar panas itu segera lenyap dari tubuhnya. Tapi nyatanya, kostum yang ia kenakan tidak begitu berpengaruh, ia tetap kegerahan, menurut orang=orang , biasanya saat cuaca terasa panas seperti itu, pertanda hujan segera turun. Setelah bubur yang Rindu masak, matang. Gadis itu segera menaruhnya di piring, menyiramnya dengan kuah gula merah. Sembari menunggu buburnya dingin, Rindu mencuci perkakas bekas ia masak. Melupakan penatnya setelah seharian kuliah sudah menjadi kewajibannya setelah ia memboyong ibunya pulang ke rumah. Setidaknya ia masih beruntung, masih bisa istirahat, memejamkan mata walau hanya sekedar lima menit, setelah itu dilanjutkan mengurus segala keperluannya. Setelah selesai mencuci perkakas kotornya. Rindu segera menemui ibunya, tangannya membawa bubur, membantu ibunya makan. "Udah sore nih, waktunya Mama makan…, " Ucap Rindu ceria, ia duduk di samping ibunya. Walaupun ibunya tidak merespons sedikitpun perkataan Rindu, namun gadis itu percaya, energi positif dari keceriaannya lambat laun pasti membawa perubahan yang positif untuk ibunya, seperti itulah nasehat dokter yang di berikan padanya, ia harus bisa membuat ibunya ceria kembali, menganggap sepele permasalahan ayahnya. Bu Yunita lalu menoleh sedikit ke arah Rindu, pandangan matanya sendu menatap putri satu-satunya yang terlihat luar biasa tegar, tidak pernah sekalipun terlihat mengeluh atau menangis di depannya. Perlahan bibir wanita itu terbuka sedikit, menjadi petunjuk untuk Rindu, bahwa ia siap untuk makan. Setelah membacakan doa sebelum makan, Rindu lalu mulai menyuapi ibunya makan. "Mama harus sembuh. Harus yakin kalau bisa sembuh. Hmm?" Ucap Rindu sembari menyuapkan lagi bubur sum-sumnya. Gadis itu tetap ceria mengajak ibunya berbicara panjang lebar, walau ia tahu, ibunya hanya diam, tidak mampu untuk bicara. "Mulai sekarang Mama harus lupain Papa. Dia laki-laki yang nggak sebanding dengan wanita se istimewa dirimu. Ku mohon, Ma. Berhentilah memikirkan pria itu. Harus ikhlas kalau…, uang kita habis untuk membelanjakan seluruh kehidupan istri mudanya." Tes…. Tiba-tiba air mata jatuh menetes dari mata Bu Yunita. Rindu lalu menyeka air mata itu. Hatinya hancur tiap kali melihat air mata ibunya luruh. Namun ia harus terus berusaha, membuat ibunya bisa menerima keadaan mereka yang kini nyaris tak punya apapun. Harus membuatnya yakin, jika mereka tetap baik-baik saja walaupun tanpa sang ayah. "Mama harus kuat. Tunjukkan pada papa kalau mama tidak hancur, tunjukkan kalau kita baik-baik saja, buat papa menyesal karena telah meninggalkan kita" Rindu menggenggam lembut tangan ibunya. "Aku akan membantu sekuat tenaga biar Mama sembuh lagi. Setelah itu kita berjuang sama-sama, tunjukkan sama ayah kalau kita bisa bangkit, dan sukses tanpa dia. Mama hrus kuat ya? Terus berpikir positif biar cepat sembuh.” Ujar Rindu sambil terus menyuapi ibunya hingga suapan terakhir. Kedua tangan Rindu lalu menggenggam tangan kurus ibunya. Tangan yang selama ini bersusah payah membesarkan dirinya, mencari makan untuknya, tidak peduli apa tangan itu sempat menyuapkan makan ke bibirnya sendiri, tangan yang selalu bekerja untuk dirinya, tapi sekarang tangan itu lemah tak berdaya. "Aku minta maaf, Ma. Habis ini.., aku harus ninggalin Mama lagi. Aku…, harus kerja dulu." ucap Rindu ragu. Ini adalah hari pertamanya kerja. Ia harus bekerja, tidak mungkin hanya mengandalkan uang tabungannya yang kian hari kian menipis, sedangkan tidak ada lagi pemasukan yang ia terima. Uang tabungan ibunya yang banyak semua di percayakan ibunya pada ayahnya. Tapi sayang ayahnya justru menyalahgunakannya, untuk foya-foya dengan istri mudanya, dan berbelanja sesuatu yang tidak penting. Air mata Rindu tiba-tiba merembes dari kelopak matanya, tatkala ia menyeka mulut ibunya yang kotor oleh bubur sisa makan sorenya. Rindu cepat menyusut air matanya sebelum ibunya melihat.Tidak habis dengan hidupnya yang berubah 180 derajat setelah ia pulang dari Belanda. Rindu lalu berdiri, tak ada waktu untuk menangisi hidupnya. Memikirkan nasibnya yang kian mengenaskan setelah ayahnya membawa seluruh uang tabungan hasil kerja keras ibunya. Grep… Tiba-tiba sebuah tangan kecil kurus menggenggam hangat jemari lentiknya. Rindu menoleh. Terkesiap, tidak menyangka ibunya menahannya, setelah sekian lama berdiam diri, tidak mampu melakukan apapun selain tiduran di ranjang, tiba-tiba tangan itu memegangnya. Air mata Rindu seketika bercucuran haru. “Mama bisa memegangku?” ucap Rindu takjub sembari menggenggam tangan ibunya. Dan ia jadi bertanya-tanya saat ibunya terus menggenggam erat tangannya, tidak mau melepasnya. Rindu paham dari sorot sendu mata ibunya, rupanya ia tak rela dirinya pergi. Bruk…. Rindu bersimpuh di lantai. Tepat di samping ranjang ibunya. Ia lalu mencium kedua tangan ibunya. Tak mampu lagi menahan tangisnya. Kini Ia terang-terangan menangis sesenggukan sembari terus menciumi kedua tangan ibunya. “Ku mohon, Mama. Jangan tahan aku. Aku…, harus kerja. Kita butuh biaya untuk bertahan hidup. Uang kita tinggal sedikit” Rindu membolak balik tangan ibunya, menciumnya, berharap sepenuh hati, jika ibunya memberi dia restu. Karena ia tidak akan berangkat kerja tanpa restu ibunya. “Kita bahkan sudah tidak punya apa-apa untuk dijual. Mobil dan dua motor sudah di bawa ayah. Kulkas dan semua barang elektronik sudah di pindahkan ke rumah barunya. A-aku terpaksa meminjam motor Jasmin untuk kegiatan ku sehari-hari. Mama masih ingat jasmin kan? Dia satu-satunya sahabat paling peduli dengan ku. Aku juga sudah banyak meminjam uang darinya. Mama memang jarang ketemu sama dia, tapi aku sering menceritakannya di telpon. Dia teman ku sejak masih sekolah. Kapan-kapan aku akan mengajaknya ke sini, Ku-kumohon, Ma. Untuk kebaikan kita. Aku harus kerja. Percayalah, aku bekerja di tempat baik.” Maaf, aku tidak bisa memberitahumu, kalau anakmu yang sekolah di Belanda ini kerja jadi asisten rumah tangga. Tangan Bu Yunita, perlahan melepas genggaman tangannya, tidak ada ekspresi dari wajahnya, hanya matanya yang bicara, berkaca-kaca, menahan tangis, tanpa suara. Rindu menyeka air mata ibunya. Memeluk tubuhnya. “Terima kasih sudah mengizinkan aku kerja. Santai aja, Ma. Aku tidak akan pulang larut malam. Menurut perjanjian, aku hanya kerja enam jam saja. Jadi jam sepuluh nanti aku sudah bisa pulang.” Rindu merenggangkan pelukannya. Menatap dalam-dalam mata wanita yang telah mengandungnya tersebut. Rindu berjanji tidak akan menyakiti hatinya. Berjanji akan membuatnya bahagia kembali. Ia lalu mencium lutut ibunya. Isak tangis selalu keluar dari bibirnya. “Aku siap-siap kerja dulu ya?” ucapnya setelah bisa menguasai emosinya. Gadis itu lalu pergi dari kamar ibunya. Membersihkan piring bekas makannya . setelah itu segera bersiap-siap kerja. Memakai gamis hijau botolnya. Mengikat kuncir kuda rambutnya, setelah itu menyapukan bedak seadanya di wajah cantiknya. Ia harus menghemat bedak mahalnya. Jika untuk bekerja keras seperti ini, ia tak perlu memakai bedak itu. Karena pada akhirnya akan luntur terkena keringat. Setelah memakai kerudung hitamnya, Rindu segera berpamitan lagi pada ibunya. Menutup pintu. Lalu menyerahkan ibunya pada tetangga dekatnya. Untunglah tetangganya sangat baik. Ia suka rela siang-siang saat dirinya masih kuliah memberi makan ibunya atau hanya sekedar memberi minum ibunya. Tanpa meminta imbalan apapun darinya. Greng… Rindu memacu motornya dengan kecepatan sedang di tengah jalan raya yang mulai padat kembali, walau tak sepadat pagi tadi. Orang-orang yang pulang dari kerja, memakai baju rapi, keluar dari area gedung-gedung perkantoran membuatnya selalu iri. Suatu saat ia pasti bisa bekerja di sana. Menjadi akuntan di sebuah perusahaan besar adalah mimpinya. Cit… Motor Rindu akhirnya berhenti di sebuah rumah besar bergaya maroko. Menurut perjanjian kerja, surat kontraknya, tugasnya adalah membantu menyiapkan makan malam keluarga Turki tersebut. Ia tidak sendiri, ada chef Ahli yang menyiapkan makanan di sana. Ia kebagian membantu pekerjaan chef tersebut. Lumayan, sedikit atau banyak ia pasti dapat ilmu membuat makanan khas Turki. Tugas Rindu selanjutnya adalah, membersihkan perkakas setelah makan malam selesai. Lalu membereskan urusan rumah tangga yang biasa di pagi hari. Keluarga ini memang sangat rapi, mereka tidak bisa melihat sesuatu yang kotor, semua harus tampak bersih dan rajin di depan matanya. Dan Rindu mendapatkan pekerjaan ini dari tetangganya yang berhenti bekerja malam di rumah itu. Menurut orang itu. Ia dan teman-temannya terlalu lelah jika harus bekerja siang dan malam di rumah itu. Rindu masuk rumah megah itu melalui pintu belakang. Tempat para pembantu keluar dan masuk dari rumah mewah tersebut. Seorang wanita umur empat puluh tahunan yang pernah Rindu lihat ketika ia pertama kali masuk ke rumah itu, hari di mana dia di wawancara oleh kepala urusan rumah tangga. Wanita itu ramah, menyambut kedatangan Rindu, lalu memberitahu nya apa saja yang harus di lakukan Rindu. Sore itu, Rindu mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Ia bersama tiga pembantu yang lain membersihkan rumah besar itu, mulai dari menyapu, mengepel, dan membersihkan debu di seluruh permukaan perabot. Usai sholat Maghrib, koki yang disewa dari sebuah rumah makan terkenal datang. Rindu pun menemaninya memasak makanan khas Turki bersama sang koki, makanan yang mereka buat adalah kofte, daging cincang dibentuk bulat di beri kuah rempah-rempah khas Turki, bisa dijadikan sebagai lauk nasi, ataupun isian roti, manti adalah pangsit dari daging sapi disiram dengan kuah yoghurt. Ada juga simit, roti khas turki yang selalu tersedia diatas meja makan. Makan malam akhirnya tiba, keluarga Turki campuran tersebut melakukan makan malam bersama. Rindu celingukan, mencari seseorang yang seharusnya ikut makan malam. Namun hingga keluarga harmonis itu selesai makan, seseorang yang ia tunggu tak kunjung muncul. ‘Di mana Emir?’ pikir Rindu dalam hati, kecewa pria yang selama ini dia kagumi sejak lama, tidak sejak lama, tapi sudah sangat-sangat lama sekali. Sudah lama ia mengaguminya, namun Rindu hanya bisa mengaguminya dari jauh. Rindu bersyukur, Emir yang tanpa sengaja jadi teman kuliahnya, menjadi calon suami dari sahabat baiknya ternyata tidak mengenali dirinya. Tidak hanya Emir yang tak ingat siapa dirinya, keluarganya pun rupanya tak ingat siapa dirinya. Rindu yang tahu dimana dirinya akan bekerja, langsung menerima tawaran bekerja di rumah mewah itu. Selain bayarannya yang banyak ia juga berkesempatan memandang hingga puas tuan mudanya yang rupawan. Tidak pernah menyangka anak kecil yang dulu hanya setinggi bahunya, kini berubah menjadi pria dewasa yang tampan, bertubuh atletis dan tubuh nya yang jauh lebih tinggi darinya membuatnya semakin sedap dipandang. Biarlah dirinya sekarang hanya menjadi pengagum rahasianya, memujanya dari kejauhan, dan memperhatikannya tanpa Emir sadari. Baginya kebahagiaan Emir lah yang nomer satu. Rindu tahu, mengapa keluarga Emir yang terdiri dari ayah, ibu, kakak perempuan dan adik perempuannya tidak ada yang sadar siapa dirinya, wajar jika mereka tidak mengenalnya. pertemuan terakhir mereka adalah saat dirinya masih kelas tiga SD. Rindu cekatan membersihkan meja saat makan malam keluarga itu selesai. Mencuci piring-piring kotor dan perkakas kotor yang baru saja mereka gunakan. Setelah itu, Rindu yang memang kebagian beres-beres dapur di malam hari segera menyeka meja kotor, lalu menyapu dan mengepel lantai. “Rindu, habis ini tolong antar makan malam ke rumah Emir ya?” ucap nyonya rumah yang bernama bu Aishe. “Emir?” Rindu pura-pura tidak tahu siapa Emir. “Dia anak kedua ku, dia ngotot beli rumah sendiri karena sebentar lagi mau menikah” ucap Bu Aishe dengan tersenyum ramah, tangannya memasukkan beberapa roti simit ke dalam kantong kresek, memasukkan juga sisa kofte ke dalam wadah sayur yang terbuat dari alumunium. Rindu yang baru saja selesai mengepel, segera membantu majikannya memasukkan makanan Emir ke dalam tas besar berbahan kain. “Aku tidak yakin Emir punya makanan di rumahnya. Kamu tahu kan anak laki-laki itu cenderung nggak peduli dengan masalah makanan?” “Mungkin dia membeli makanan secara online.” Memang itulah tren anak muda jaman sekarang. Membeli segala sesuatu cukup dari ponselnya. “Itulah yang aku khawatirkan juga, anak-anak jaman sekarang suka yang serba praktis, nggak begitu mempedulikan efek samping beli makanan diluar. Kalau kamu gimana Rindu? Bisa masak?” “Alhamdullillah, Nyonya. Saya sudah terbiasa memasak sejak masih SMP. Ibu yang selalu bekerja membuat saya sudah tidak asing dengan urusan dapur.” “Makanya kamu langsung di jadikan pembantu chef. Setidaknya kamu sudah punya modal awal jadi istri idaman. Seandainya Emir belum punya calon, kamu pasti aku jadikan mantuku.” Bukannya tersanjung, Rindu justru tergelak, ia tahu wanita itu hanya basa basi bicara. “Ah, bisa aja nyonya ini. Mana ada orang terpandang seperti anda mau mempunyai menantu seorang pembantu.” Bu Aishe pun tertawa. “Kamu cantik sekali Rindu. Yakin masih mau kerja jadi pembantu di rumah ini?” Bu Aishe tersenyum tulus, memegang dagu lancip Rindu. “Katanya kamu juga kuliah?” Rindu menganggukkan kepala, “Saya harus kerja, tidak mungkin saya hanya mengandalkan uang beasiswa untuk bertahan hidup, Mama yang selama ini bekerja, sekarang tiba-tiba sakit” Rindu cepat menyeka air mata yang sudah bersiap meluncur dari matanya. “Oh…, jadi ibu mu sakit? Maaf ya aku nggak tahu. Semoga ibumu cepat sembuh. Yang penting sekarang kamu harus sungguh-sungguh kuliah, percayalah mimpimu pasti tercapai, jangan puas dan berhenti hanya menjadi seorang pembantu rumah tangga, kamu harus punya mimpi yang tinggi, dan berusahalah meraihnya. Kamu masih muda, cantik dan pintar, aku yakin masa depan mu pasti cerah.” Rindu mengangguk,tersenyum tipis, “Terima kasih atas motivasinya nyonya, saya pasti akan belajar lebih giat lagi. Ehm… saya harus mengantar ini kemana?” Bu Aishe lalu memberi alamat rumah Emir, beserta kunci cadangan. berjaga-jaga jika Emir nanti tak kunjung membuka pintu, atau jika dia belum pulang dari kuliah atau pekerjaannya. Rindu agak sangsi menerima kunci cadangan itu. Tapi Bu Aishe menyuruh RIndu biasa saja, sebelum-sebelumnya juga begitu. Wanita itu sudah biasa menyuruh pembantunya mengantar makanan ke rumah Emir. Bu Aishe masih belum tega melepaskan Emir begitu saja, baginya Emir adalah masih kecil seperti dulu. Jadi ia harus mematikan di rumahnya ada makanan atau tidak,Bu Aishe juga berpesan, agar Jasmin nanti membuatkan teh dan kopi untuk Emir sebelum ia pergi meninggalkan rumah itu. Setelah semua siap, Rindu lalu segera berangkat ke rumah baru Emir, Ia diperbolehkan pulang setelah pulang dari rumah itu. Selama dalam perjalanan, Entah mengapa hati Rindu gelisah, merasa tak tenang. Dalam sanubari ia terus berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa di rumahnya, semoga ibunya dalam keadaan baik-baik saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

Takdirku Menjadi Lelaki Kaya

read
4.0K
bc

TAKDIR KEDUA

read
26.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook