(BUKAN) MALAIKAT

1452 Words
“Zaidan Ali Fasya,” “Hadir, Ka,” sahut lelaki bertubuh gempal. Beberapa saat setelah Andhika memeriksa kelengkapannya ia pun kembali duduk seperti semula. “Baiklah, itu adalah nama terkahir di kelas ini. Kita akan lanjutkan kegiatan ini lagi setelah istirahat pertama berakhir. Terima kasih untuk perhatiannya.” Andika mengakhiri perjumpaan pertama lalu bergegas meninggalkan ruangan ini. Beberapa detik ketika punggung Andhika sudah lenyap dari penglihatan para siswa baru di ruangan I.R Soekarno, pada saat itu pula helaan napas lega mulai terdengar dan mengisi ruangan tersebut. Entah apa yang dilakukan oleh Andhika hari ini terhadap adik kelasnya hingga mereka merasa begitu lega saat lelaki itu hilang dari pandangan mereka. “Duh, gila si, Nay, tadi itu menurut gue lo nyari mati banget dah,” ujar Alda sembari mengibaskan kedua tangannya ke arah wajahnya yang sedikit mengeluarkan keringat. “Gue bukannya nyari mati, tadi tuh gue cuma nyari alesan aja supaya ga dimarahin gara-gara rambut gue ga di iket.” Mulut Alda menganga, ia terlihat seperti masih sedang menyerap pernyataan jujur dari Naya. “Maksud lo, Nay? Lo –“ “Yes, gue lupa ada peraturan harus diiket sesuai tanggal lahir, terlebih lagi gue juga bangun kesiangan gara-gara abang gue yang nyebelin itu,” potong Naya enteng dan diakhiri dengan tawaan renyah yang itu semua justru membuat Alda merasa bahwa dirinya sudah tak habis pikir lagi dengan kelakuan temannya ini. Ketika Naya sudah berhenti berbicara dan sekarang giliran ia yang mendengar Alda untuk bercerita, pandangannya tak sengaja jatuh pada seseorang yang sedang berjalan melewati kelasnya. Naya terdiam, ia begitu merasakan kehadiran sesosok orang yang begitu ia rindukan. Tak mau berpikir panjang, sebelum seseorang itu hilang dari penglihatannya Naya memutuskan untuk berlari keluar kelas meninggalkan Alda yang berteriak memanggil namanya karena belum menyelsaikan ucapannya. Sudut bibir Naya terangkat kala posisi dirinya sudah berada tepat di belakang seseorang itu. Hatinya berdegup kencang berkali lipat dari biasanya, wajahnya pun terasa panas hanya karena melihat punggung seseorang yang sudah lama tak ia temui. Tenggorokan yang terasa seperti tercekat membuatnya harus berusaha keras untuk mengeluarkan sedikitnya satu atau dua kata. “Ka Alan?” Naya memberanikan diri untuk mengejar seseorang itu sekali pun ia begitu payah dalam mengatur ritme detak jantungnya. Saat posisinya sudah berada tepat di samping seseorang itu, begitu pun juga dengan langkahnya, Naya tak mau kehilangan momen seperti ini untuk tidak berkata apa-apa. Hingga keluarlah satu kalimat yang sepetinya berhasil membuat seseorang itu terdiam setelah mendengarnya. “Ka Alan, makasih udah buat aku percaya sama takdir termasuk cinta pertamaku.” Naya meneguk salivanya kuat-kuat saat dirinya selesai mengatakan itu. Ia tak percaya bahwa dirinya bisa benar-benar menyatakan itu semua. Seperkian detik lelaki itu terdiam, namun setelahnya ia kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Naya yang kini berada tak jauh di belakangnya. “Semangat untuk hari ini, manusia sedikit kata,” ujar Naya setengah berteriak dengan nada yang terdengar riang. Meski dirinya tahu bahwa tak ada balasan apapun, Naya tetap tersenyum kala melihat lelaki itu sudah masuk ke dalam ruangan. Setidaknya rasa rindunya terobati setelah beberapa waktu lama ini ia tak bisa melihat sosok lelaki itu. **** Kantin, salah satu tempat favorit para murid yang tak pernah bisa tergantikan menjadi tempat Naya kini berada. Perutnya yang terasa begitu lapar menjadikannya harus mengunjungi tempat ini dan membeli beberapa makanan untuk mengganjal perutnya yang sudah berdisko ria meminta asupan. Dengan sangat kebetulannya Naya bisa mendapatkan tempat duduk di tengah ramainya orang yang sedang mencari tempat untuk mereka makan. Ya, begitulah memang enaknya sendiri, dirinya tak perlu repot memikirkan tempat duduk untuk orang lain pula. Makanan demi makanan berhasil Naya lahap habis sampai hanya tersisa satu siomay dan satu pare di dalam piringnya. Sialnya, saat mulutnya sudah sangat penuh minuman yang ia pesan beberapa menit lalu sudah habis sehingga ia terpaksa harus menelan makanan itu meski tenggorokannya terasa seret sekali pun. “Nih minum,” ujar seseorang seraya menyodorkan air botol mineral kepada Naya. Naya yang hanya berpikir bagaimana cara agar dia bisa minum pun dengan langsung mengambil air mineral itu tanpa melihat terlebih dulu siapa orang yang baik hati yang sudah membantunya. Berakhirnya pergerakan tenggorokan Naya menandakan bahwa dirinya sudah selesai meneguk air itu. Tak tanggung-tanggung Naya bahkan menghabiskan air itu hingga mungkin hanya tersisa tetesan-tetesan kecilnya saja. Saat kesadarannya sudah mengumpul, ia pun menoleh ke sebelah kanannya untuk sekedar mengetahui orang yang secara suka rela mau menolong dirinya. Tubuh Naya seakan tersentak kala melihat sosok lelaki yang berdiri di samping tempat duduknya. Perawakan jangkung, alis tebal, rahang yang kokoh dan bola mata berwarna cokelat. Apakah Naya sedang melihat malaikat yang sedang berubah wujud menjadi manusia? Beberapa detik ia terdiam kaku dengan mata yang membulat sempurna hingga akhirnya ia disadarkan oleh lelaki itu dengan sentilan kecil di dahinya. “Lo kenapa si?” tanya lelaki itu. Naya mengerjap, ia menelan saliva sambil mengusap sekitar mulutnya barangkali ada air liur yang menetes tanpa sepengetahuannya. “Gue gabung duduk di sini ya, tempat lain udah penuh,” pinta lelaki itu yang langsung duduk di samping Naya. Naya yang terlanjur malu tak tahu harus berbicara apa. Ia pun hanya memilih diam tanpa mengatakan apapun atau bahkan mengangguk pun tidak. “Gue Galen, satu ruangan sama lo,” ujarnya memperkenalkan diri. Naya hanya mengangguk kikuk dengan mata yang menatap lurus ke depan. “Lo Arunaya Syabila, kan?” tanya nya dan lagi-lagi Naya hanya mengangguk. “Ga usah canggung, gue ikhlas ko ngasih lo minum.” Galen menggeser satu botol air mineral ke arah Naya yang sepertinya sedang menghindari kontak mata dengannya. “Nih, kalo mau ambil aja lagi,” tawarnya. Embusan napas yang terdengar cukup kasar Naya keluarkan, Laki-laki ini cukup menyebalkan bagi Naya, pikirnya. Hingga pada akhirnya rasa kikuk dan malu pun seketika berubah. Naya menggeser kembali air mineral tersebut ke arah Galen, “GA PER.LU,” tolak Naya dengan penuh penekanan. Galen yang melihat perubahan ekspresi Naya hanya tersenyum sambil menikmati roti yang ia beli beberapa menit lalu. “Dih, lo gila? Senyam senyum gitu, emang lo pikir dengan senyuman lo itu bisa buat gue jadi tergila-gila sama lo? Engga ya,” cecarnya seraya menyilangkan kedua tangan di depan dadanya. Galen kembali tersenyum, sepertinya dirinya memang sedang begitu menikmati roti yang ia makan ditambah dengan mendengarkan ocehan seorang perempuan di hadapannya ini. Saat potongan roti terakhir berhasil Galen lahap habis, ia pun berdiri dan mengambil sampah yang ada di meja. “Roti gue udah habis, makasih ya udah mau nemenin gue di sini,” ujarnya dan berlalu meninggalkan Naya yang masih berdiam diri di tempat. “Dasar orang aneh,” umpat Naya ketika wujud Galen hanya terlihat bagian punggungnya saja. Bertepatan dengan kepergian Galen, Naya kembali lagi dihampiri oleh seseorang yang sudah ia tinggalkan tadi. Yap, dia adalah Alda Naluna. Alda datang dengan memasang wajah yang tampak begitu kesal. “Lo,” Alda menunjuk wajah Naya yang memperlihatkan wajah tanpa dosanya. “Kemana aja si lo? Gue belum selesai cerita tau,”sambungnya lalu menjatuhkan bokongnya dengan kasar ke tempat duduk. “Gue abis ada urusan, maaf ya,” ucap Naya dengan suara lembut seraya memegang tangan kanan Naya. Alda yang sepertinya masih kesal dengan Naya malah memalingkan wajah dan melepaskan pegangan Naya secara kasar. “Yah, pake ngambek segala lagi nih anak,” cicit Naya pelan. Tanpa Naya duga ucapannya ini terdengar di telinga Alda, hingga Alda pun yang semula memalingkan wajahnya kembali menoleh ke samping kanan di mana Naya berada. “Ngomong apa lo barusan. Dasar teman tidak setia kawan.” “Eh, Alda, lo tahu sesuatu ga?” tanya Naya yang sebenarnya hanya untuk mengalihkan pembicaraan dan membuat Alda melupakan amarah kepadanya. Dari perubahan ekspresi yang Alda tampilkan, Naya bisa menebak bahwa Alda sudah masuk ke dalam perangkapnya. “Orang yang namanya Galen di kelas kita.” “What? Galen Magfaro yang lulusan dari SMP kita itu kan? Yang pinter nya nauzubilah?” tanya Alda penuh semangat. Naya menautkan alisnya. Rasanya otaknya sedang dipaksa untuk berpikir dan mengingat sesuatu. “Emangnya dia pernah se SMP ya sama kita?” Pertanyaan yang Naya ajukan berhasil membuat Alda kesal hingga perempuan itu pun memilih menoyor jidat Naya dengan pelan. “Heh, lo kemana aja si? Murid seterkenal Galen pun lo ga tahu.” “Lanjutin, ceritain gue tentang dia.” Meski masih terlihat begitu kesal, Alda yang memang pada dasarnya sangat up to date segala hal tentang kehidupan sekolah terlebih lagi tentang siswa atau siswi yang terkenal pun mulai menceritakan apa saja yang ia tahu tentang Galen. Bak sedang mendengarkan dongeng, alasan sebenarnya Naya meminta Alda untuk bercerita hanya untuk menghindari amukan Alda yang masih belum terluapkan sebelumnya. Hingga pada akhirnya Alda harus menghentikan kegiatan bercerita karena bel pertanda masuk sudah berbunyi. “Selamat gue.” Naya mengembuskan napas dengan sangat lega sambil berjalan menuju kelasnya bersama Alda. ****

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD