bc

Sejenak

book_age16+
0
FOLLOW
1K
READ
goodgirl
confident
sweet
genius
campus
city
highschool
stubborn
like
intro-logo
Blurb

Cinta pertama, setiap orang pasti akan merasakan tentang adanya cinta pertama dalam hidupnya. Tapi, apakah ada yang mempercayai bahwa cinta pertama itu akan menjadi cinta terakhir pula? Mungkin hanya ada 1 dari 10 orang. Yap, dan dia adalah Arunaya Syabila. Seorang gadis SMA yang sangat mencintai seseorang pada pandangan pertamanya. Bahkan bisa dikatakan ia pula terobsesi ingin memiliki seseorang itu sepenuhnya.

chap-preview
Free preview
MASA ORIENTASI SISWA
Bagi kebanyakan siswa, khususnya yang baru saja memasuki tingkat menengah atas, MOS tentu saja sudah bukan hal yang tabu. Ketika tiba waktu MOS, mereka yang mengikuti kegiatan ini pasti akan mempersiapkan segala yang diperlukan dari jauh hari atau pun satu hari sebelum kegiatan dimulai. Namun semua itu tentu berbeda dengan Naya. Memiliki nama lengkap Arunaya Syabila, gadis ceroboh yang tak memasang alarm kala malam hari dan hanya mengandalkan sang kakak untuk membangunkannya di kala pagi. Alhasil, sang kakak dengan tingkat keisengan yang tinggi malah membiarkan adiknya bangun kesiangan. Yap, baru hari pertama MOS dimulai dia sudah melakukan kesalahan fatal. “Sialan! Gue kesiangan.” Gadis itu segera bangkit dengan tergesa dari tempat tidurnya setelah berhasil menyibakkan selimut lembut yang menutupi sebagian tubuhnya. Tak sampai 10 menit, ia sudah selesai melakukan ritual pagi di kamar mandi. Tanpa memperdulikan riasan wajahnya, ia melesat keluar kamar dan menuruni anak tangga satu persatu. “Mah, Pah, Naya berangkat dulu, ya,” pamitnya sambil mengecup pipi Heru dan Maria bergantian. “Eh, sarapan dulu, Nay,” ucap Maria seraya mengambil roti yang sudah ia olesi selai kacang kesukaan Naya. “Mmm ..., kayaknya hari ini Naya ga bakalan sarapan dulu deh, Mah.” “Lho? Kenapa?” “Aduh, itu ..., Naya telat, Mah,” ucap Naya tergesa. “Ya udah, assalamualaikum, Mah, Pah.” Tanpa mendengar balasan dari kedua orangtuanya, secepat kilat ia berlari menuju pintu keluar rumah. Beruntungnya tak butuh waktu lama ojek online yang ia pesan sudah menunggunya di depan rumah. “Neng Arunaya?” tanya pengemudi ojol itu dengan sopan. “Iya, Pak, saya Naya,” balas Naya. Ia mengambil alih helm yang pengemudi ojol itu pegang untuk ia pasangkan ke kepalanya. “Ayo, Pak, jalan!” seru Naya setelah ia sudah menaiki jok motor. Pengemudi ojol itu mengangguk patuh dan segera melajukan motornya dengan kecepatan rata-rata. Sepanjang perjalanan menuju sekolah barunya, yang Naya dapat lakukan hanyalah berdoa dan sesekali menggerutu. Ia harap hari ini kejadian buruk tak menimpa dirinya. Dan untuk kakaknya, dimana dia adalah penyebab dari semua keapesannya hari ini, lihat saja nanti pembalasan dari seorang Arunaya Syabila. “Neng, sudah sampai tujuan,” ucap pengemudi ojol membuyarkan semua lamunan dan kegelisahan Naya. “Eh, iya, Pak, makasih banyak ya.” Naya turun dari motor yang ia tumpangi lalu menyalami tangan pengemudi tersebut. Setelah itu, ia pun segera berjalan menuju pintu gerbang besar. “Neng, Neng, tunggu,” panggil si pengemudi setengah berteriak. Mendengar teriakan itu otomatis membuat Naya harus menghentikan jalannya. “Ada apa lagi sih, Pak?” tanya Naya kesal. “Maaf Neng, itu helm saya belum dikembalikan sama uang ongkosnya belum Neng bayar.” Mendengar penuturan pengemudi tersebut sontak saja membuat Naya membulatkan matanya dengan sempurna dan membuka mulutnya hingga menyerupai huruf O. Bisa-bisanya ia lupa melepaskan helm dan lupa membayar ongkos ojol ini. Segera saja ia melepaskan helmnya dan merogoh saku roknya untuk mengambil beberapa uang yang kemudian ia bayarkan kepada pengemudi ojol itu. “Maafin saya ya, Pak. Saya lagi buru-buru,” ucap Naya tak enak sambil sesekali melirik ke arah pintu gerbang sekolahnya. “Ga apa-apa, Neng, hatur nuhun,” balasnya sopan. Naya hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis sebagai balasan. Lantas ia segera berlarian untuk masuk ke dalam area sekolah. “Kelas I.R Soekarno di mana sih?” Naya bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sudah melihat ke kiri dan kanan tetap belum menemukan ruangannya. Hingga saat dirinya akan melanjutkan perjalanannya untuk mencari ruangan, seseorang dari arah belakang menepuk pundaknya yang membuat ia sedikit terperanjat. “Mau ke mana lo, Nay?” tanya seseorang. Naya membalikkan tubuhnya. Ia begitu mengenali suara orang yang berhasil membuatnya setengah kaget. “Alda,” ucap Naya. Terdengar helaan napas lega yang Naya keluarkan kala ia melihat kehadiran Alda, salah satu sahabat SMP-nya. “Ruangan kita di sana,” ucap Alda sambil menunjukkan salah satu kelas di lantai 2. “Eh, tunggu dulu.” Alda menyipitkan kedua matanya dan memiringkan kepala ke sebelah kiri. “Kepala lo kenapa? sakit?” tanya Naya heran. “Gue udah nemu keanehannya sekarang,” ucap Alda mantap. Ia kembali menegakkan posisi kepalanya, “lo lahir tanggal 3, kan? Rambut lo kenapa ga dikucir 3 juga?” sambung Alda. Naya menautkan alisnya, ia benar-benar bingung. Di zaman modern begini masih ada saja peraturan yang mengharuskan siswi mengikat rambut sesuai tanggal lahir. Naya berdecih pelan,“Gue ke sini buat lanjutin ke tingkat atas, bukan dasar,” ucapnya dengan penuh penekanan. “Udah yuk, ke kelas,” ajak Naya sembari menarik paksa tangan sahabatnya. *** “Lo duduk di sini, Nay, dari tadi gue yang nempatin nih. Parah banget sih lo jam segini baru datang. Untung aja belum ada anak OSIS yang masuk,” gerutu Alda sembari merapikan ikatan rambutnya. Sementara Naya hanya diam mendengar celotehan demi celotehan yang Alda sampaikan. “Eh, by the way, poni depan gue bagus ga, Nay?” Naya melirik ke arah sahabatnya, memperhatikan sebentar gaya poni depan yang Alda miliki. “Lumayan lah kalo dibandingin sama poni lo waktu SMP.” “NAYA! Ah, lo ngeselin banget sih. SMP ya SMP, jangan lagi diungkit-ungkit. Jiji tau ga sih,” ketusnya seraya memalingkangkan wajahnya. Melihat perubahan wajah Alda yang begitu masam membuat Naya ingin tertawa, namun sayangnya itu tak terjadi karena dua orang lelaki berjas abu sedang berjalan sok gagah ke dalam kelas. “Selamat pagi,” sapa seorang lelaki yang memiliki perawakan jangkung dan beralis tebal yang sudah berada di depan kelas. “Pagi Ka ....” balas murid serentak. “Oke, di sini gue dan temen gue yang bakalan jadi Kakak pembimbing kalian selama melaksanakan MOS ini. O iya, nama gue Bima dan temen gue ...,” Bima melirik sekilas ke arah samping di mana temannya berada, “dia Andika. Gue mohon sama kalian semua untuk selalu patuhi aturan yang ada di sini. Kalian paham?” suara berat itu menggema menguasai seisi ruangan. “Paham, Kak.” “Gue mau absen dan cek kelengkapan peralatan kalian. Yang namanya gue panggil, tolong berdiri,” ujar Bima. Ia mulai membuka kertas putih yang berisi absensi nama siswa dan mulai membacakannya satu per satu. Sementara Andika malah sibuk memperhatikan lukisan yang terdapat di tembok belakang kelas. Hal yang diperbuat Andika tentu saja membuat beberapa adik kelasnya ini khususnya kaum hawa merasa melting, karena mereka mengira bahwa Andika itu sedang memperhatikan mereka. “Alda Naluna.” Mendegar namanya dipanggil pertama Alda pun dengan semangat 45 berdiri sambil mengacungkan jarinya. “Hadir, Kak.” Tak banyak bicara, Bima pun segera mempersilakan Alda untuk duduk kembali. “Arunaya Syabila?” “Hadir, Kak,” ujar Naya yang terdengar malas. “Lo ga tahu tanggal lahir lo kapan?” pertanyaan Bima berhasil membuat seluruh pasang mata menatap ke arah Naya. “Tahu ko.” “Terus lo tahu kan aturan di MOS yang lo ikutin itu kaya gimana?” nada bicara yang semula dingin berubah menjadi kesal. “Gue tahu ko, tapi sebelumnya gue mau minta maaf, coba lo liat dulu deh perempuan yang duduk paling depan,” perintah Naya. Entah mengapa Bima, Andika dan seluruh murid menuruti perintah Naya. “Gimana? Risi ga si Kak, lo liat dia diiket rambutnya sampe 31 biji gitu? Lo ga kasian apa gimana ribetnya dia pas buka-bukain lagi ikatannya?” Naya menjeda sebentar ucapannya, “Argh ..., gue masih heran sama sekolah yang nerapin aturan kaya gini di zaman yang udah se modern ini,” ujar Naya dengan begitu tenang. Seperkian detik Bima terbungkam akhirnya ia pun memberikan kertas absensi secara kasar kepada Andika. “Lo yang lanjutin, Dik,” ucap Bima yang langsung melenggang pergi meninggalkan kelas tanpa pamit. Melihat itu semua Naya hanya tersenyum miring, merasa seakan dia adalah pemenangnya. Dasar, baru segitu aja udah mewek. **** “Argh ....” Erangan yang keluar dari mulut lelaki bertubuh jangkung itu membuat seisi ruangan tertuju padanya. Mereka terheran-heran perihal sikap lelaki yang semula terlihat baik-baik saja seakan berubah menjadi tampak begitu kesal. “Lo kenapa, Bim?” tanya salah satu perempuan berambut pirang yang diketahui bernama Pricilia. Ia menggeret kursi untuk ia duduki. Sementara siswa lainnya berpura-pura kembali melanjutkan aktivitas mereka seperti biasa. “Gue kesel.” “Iya, kesel sama siapa?” Pricilia kembali bertanya. “Adik kelas songong.” Jawaban Bima membuat Pricilia menautkan kedua alisnya. “Are u serious? Who is he? Does he bothering u? “ cecar Pricilia yang mengundang banyak pasang telinga semakin tertarik dengan permasalahan yang sedang terjadi. “Arunaya Syabila,” ucap Bima yang dibarengi dengan gebrakan meja lalu pergi meninggalkan ruangan. “Lo,” langkah Bima terhenti pada seseorang yang tengah duduk sambil mendengarkan lagu melalui AirPods yang terpasang di telinganya, “Pak Bram nungguin lo di ruangannya.” Lanjutnya yang langsung berlalu. “What the hell, ternyata dia perempuan. Gue harus cari tahu.” Pricillia yang merasa penasaran bergegas keluar ruangan. Namun ia tidak sendirian, tentu sebelumnya ia memberikan kode kepada kedua temannya untuk mengikutinya. Kepergian Bima dan juga Pricilia membuat seisi kelas riuh membicarakan hal yang barusan mereka dengar. Wajar saja begitu, 60 persen di kelas ini memang didominasi oleh kaum hawa. Beberapa menit berlalu, lelaki yang sempat Bima hampiri itu kini beringsut bangkit dari tempat duduknya tanpa berniat melepas AirPods yang masih terpasang di telinga. Kakinya menuntunnya berjalan menuju ruangan bertuliskan kepala sekolah. Tak menghabiskan waktu lama, sekitar 10 menit berlalu lelaki itu sudah keluar dengan membawa beberapa map coklat di tangannya. Dalam langkahnya lelaki itu berpikir bahwa hari senin kali ini mungkin akan menjadi waktu yang sangat menyibukkan dirinya lagi. “Ka Alan?” panggil seseorang dari arah belakang yang terdengar kian mendekat ke arahnya. Perempuan berkucir satu itu kini sudah bisa menyesuaikan langkahnya dengan langkah Alan, dengan kata lain mereka berjalan bersama. “Ka Alan, makasih udah buat aku percaya sama takdir termasuk cinta pertama ku.” Kalimat itu membuat Alan tertegun, perempuan di sebelahnya memang benar-benar berusaha untuk bisa berada di sini. Tanpa membalas apapun, Alan segera memasuki ruangan yang tak diketahui namanya. Namun, sebelum ia benar-benar akan memasuki ruangan tersebut, perempuan itu kembali memanggil namanya yang mengharuskan Alan berhenti di depan pintu itu. “Semangat untuk hari ini, manusia sedikit kata,” ujarnya dengan nada riang. Alan yang mendengar itu hanya bisa memejamkan matanya tanpa mau membalikkan badannya ke arah belakang bahkan untuk sekedar melihat gadis itu. Beberapa detik hanya berdiam diri, akhirnya Alan memutuskan untuk segera memasuki ruangan tersebut dan meninggalkan seorang perempuan yang masih berdiri seraya berharap ucapannya akan terbalaskan. “Fokus, Lan, fokus,” gumam Alan begitu pelan. Ruangan kosong yang sering ia kunjungi menjadi tempatnya saat ini. Debu yang banyak menempel di antara meja satu dengan meja lainnya sudah bukan menjadi hal yang perlu Alan pikirkan. Karena memang ia sudah terbiasa dengan hal itu. Alan hanya perlu tempat untuk dirinya sendiri tanpa banyak orang yang mengetahui.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook