Hari natal sebentar lagi tiba. Gereja mulai dihiasi dengan gemerlap lampu berwarna-warni, dikunjungi jamaatnya yang mulai berdatangan.
Ada dua pasang mata yang mengamati. Tsauna dan Mauris, di pinggir jalan ketika menikmati semangkok Bakso, hasil racikan Pak Gondrong.
Bibir mungil Tsauna mendadak mengatup rapat. Dipikir-pikir... hanya keyakinan mereka lah yang berbeda, sejatinya mereka tetaplah sama. Beraktifitas seperti selayaknya manusia.
Haha picik sekali orang-orang yang berpikir karena keyakinan yang berbeda, harus menjadi musuh.
"Kenapa?" Tanya Mauris menyadari raut aneh dari wajah adiknya.
Tsauna menggeleng masih ingin menyimpan pemikirannya sendiri.
"Jangan terlalu dekat dengan Dirta." Ujar Mauris.
Jantung Tsauna berdesir aneh. Seperti... perasaan takut untuk dikekang, tentu saja perasaan yang seperti itu.
Tapi gadis itu bersikap santai, tidak ingin gegabah menyahuti kakaknya, yang dia rasa hanya ingin mengetahui bagaimana perasaan Tsauna yang sebenarnya.
Saat gadis itu pulang bersama Dirta waktu makan sate bersama, Dirta memberitahu Tsauna. Apapun yang dikatakan oleh Mauris nantinya, Tsauna tidak boleh membantah dan menyela. Jadilah adik yang baik, selagi kakaknya mengarahkan pada hal yang benar.
Tsauna memaksakan suaranya untuk bertanya, kepada Dirta kala itu dan juga pada Mauris yang sekarang berada di depannya.
"Kenapa Tsauna harus begitu?"
Dan ini lah jawabannya.
"Ada saatnya beberapa keinginan kita akan terpenuhi diakhir penantian. Tsauna harus sadar jika hidup itu tidak selalu sama." Kata Dirta waktu itu.
"Biar hanya kakak yang bisa jagain kamu." Ujar Mauris to the point. Hah! egois sekali, pikir Tsauna. Apakah seorang kakak semuanya begitu?
Gadis itu seringkali membaca dalam cerita remaja biasanya teman kakaknya memacari adik temannya sendiri. Kenapa Tsauna tidak? ribet sekali hidupnya. Mungkin benar, hidup tidaklah sedrama itu.
Jadi gadis itu harus sadar dengan segera. Mengangguk saja di depan kakaknya meski hatinya enggan.
"Dirta terlalu terobsesi sama kamu, Tsauna. Dia kesepian, tidak punya saudara kandung."
"Bukannya bagus ya kan? jadi Tsauna ada yang ngejagain." Sahut gadis itu lalu melanjutkan makan bakso yang sudah mulai dingin.
Pak Gondrong sudah membunyikan mp3 nya menarik pembeli. Suasana tidak lagi secanggung tadi.
"Kamu senang dianggap adik sama dia?" Tanya Mauris.
"Tsauna senang kok. Kak Dirta kan orangnya baik, selalu perhatian sama Tsauna."
Bagaimana caranya Mauris harus menyadarkan adiknya tersebut? tidak berpikirkah gadis itu jika apa yang sudah diucapkannya mungkin dilain waktu akan menjadi racun mematikan, dan perlahan racun itu akan menghancurkan hatinya.
Seseorang yang terlalu menyayangi seseorang, terkadang lebih berpikiran jauh ke depan. Seperti orang yang penakut, padahal dia hanya menghawatirkan orang tersebut tanpa perduli bagaimana dirinya sendiri nantinya.
Mauris hanya takut jika adiknya terluka, patah hati. Wajah gadis berparas bidadari itu selalu cerah jika berhadapan dengan Dirta, mungkin karena Cinta. Lalu... apakah Dirta juga memcintainya?
Mauris lebih tahu dari siapun, tidak ada Cinta dalam kehidupan seorang Dirta. Dia adalah anak tunggal dari orangtua yang sudah bercerai semenjak pemuda itu berusia sembilan tahun.
Tidak ada Cinta dalam keluarganya. Hanya pertengkaran, dan itu membuatnya menjadi pribadi yang tidak dapat ditebak, menutup diri dan pendiam. Hanya bermula dari Tsauna lah pemuda itu perlahan berubah ceria, hidup selayaknya orang lain.
....
Di hari keberangkatan Bima, Mauris dan Dirta ke Jakarta.
Tsauna bersikukuh tidak ingin ikut mengantar. Gadis itu hanya bergelung di balik selimut dengan air mata berjatuhan. HP selalu berada di genggaman, menampilkan foto bersama ketiganya sewaktu di pinggir jalan.
Ibu gadis itu ikut mengantar anak laki-lakinya ke stasiun pasar turi, menuju Jakarta. Sudah tidak mau bersikeras mengajak anak gadis nya yang ngambek tidak mau membuka pintu. Padahal... beberapa hari sebelum keberangkatan kakaknya, gadis itu sudan baik-baik saja. Malah meminta oleh-oleh jika nanti Mauris pulang ke Surabaya.
HP milik Tsauna menyala. Ibunya menelpon, jemari gadis itu mengusap layar menyambungkan komunikasi. Tidak lama suara seseorang membuat Tsauna membekap mulutnya.
Dari seberang sana suara Mauris menyapa indra pendengar Tsauna, menyanyikan lagu Wali yang judulnya baik-baik sayang.
"Harusnya kamu tadi ikut ke sini. Tidak ada kamu ternyata banyak cewek-cewek yang kelihatan cantik." Ujar Mauris.
Tsauna sesenggukan. Benar, harusnya dia ikut tadi. Mungkin saja bisa modus ke Dirta, sebagai pelukan perpisahan. Mauris tidak akan memperpanjang itu bukan?
"Sudahlah, sudah mau berangkat kamu." Terdengar suara Ibu gadis itu memperingatkan anak laki-lakinya.
Hening. Sepertinya HP sudah beralih ke tangan Ibunya dan Tsauna tanpa sadar berhenti menangis. Semakin merapatkan HP nya ke sisi telinga, seakan takut terlewatkan suara apapun dari sana.
Di menit ke empat, sambungan telepon terputus. Tsauna merapatkan selimut ke badannya. Kantuk mendera dan gadis itu terlelap.
Ada harapan besar dalam hati Tsauna. Bahwa mereka akan berjumpa lagi dalam waktu dekat. Tidak ingin berpisah karena harinya menjadi berbeda tanpa kehadiran mereka. Tidak ada lagi princes di tengah pemuda tampan seperti biasanya. Tsauna hanyalah gadis sederhana, yang harus mengisi kesehariannya dengan kesendirian.
Di awal kenaikan kelas, Tsauna mempersiakan seragam barunya. Tampil bersih dan rapih seperti biasanya. Rambutnya yang berwarna kecoklatan dan lurus dia ikat kuncir kuda. Memperlihatkan bagian lehernya yang bening tanpa cela.
"Kalau saja dia mau jadi pacarku, aku traktir kalian makan pizaa."
Tsauna pura-pura menulikan dirinya, tidak merespon bisikan sekumpulan teman kelasnya dari meja di depannya. PR yang harus dikumpulkan minggu depan jauh lebih menarik perhatian gadis itu.
"Jangan naksir cewek yang sudah punya pacar." Ujar gadis bermata belok kepada sekumpulan pemuda tersebut.
"Sudah punya pacar, dia?." Tanya salah satu dari mereka.
Gadis bermata belok itu membenarkan. Lalu membawa dirinya duduk di sebelah Tsauna. Membuka bukunya.
"Kak Verdi nanyain kamu terus tuh."
"Kamu bilang apa, Bel?" Tanya Tsauna, ternyata nama gadis bermata belok itu adalah Bela.
Memang, kakak kelas bernama Verdi itu dari kapan hari sering kepoin Tsauna, tapi karena gadis itu selalu dilindungi oleh Mauris, Bima dan Dirta jadi dia tidak berani.
"Aku bilang, pacar kamu cemburuan."
" Ke kantin mau?" Tawar Bela menutup bukunya.
Tsauna menarik bibirnya melengkung ke atas, lantas menggeleng.
"Huh! susah memang kalau punya wajah bidadari." Sahut Bela tertawa.
"Aku risih kalau geng nya Aufar gangguin aku. Kamu tahulah mereka suka nunggu di depan kantin. Bikin aku jadi bahan perhatian aja." Kesal Tsauana kalau mengingat Aufar.
Tidak ada lagi yang menjaga gadis itu, makanya semua yang lama suka kepadanya langsung tancap gas.
"Iya, aku paham. Belum lagi si... Jesika kan? apaan dia main tuduh-tuduh kamu ngerebut Aufar dari dia."
"Lapar tidak? aku belikan makanan deh." Bela pamit pergi ke kantin. Uang sakunya masih penuh, itu semenjak dirinya kenal dengan Tsauna yang terhitung cukup bijak dalam menggunakan uang.
Bela kembali ke kelas membawa dua bungkus biskuit dan satu bungkus snak berukuran tanggung. Tanpa diminta Tsauna mengeluarkan satu botol air minum yang sengaja dia beli sewaktu berangkat sekolah.
Masing-masing membuka biskuit lalu mengunyahnya perlahan. Tsauna sudah tidak sungkan lagi jika Bela menyodorinya dengan makanan, atau pun hal lain yang gadis itu tidak punya. Bela pernah berkata, uang sakunya menumpuk semenjak dirinya mengenal Tsauna. Kalau orangtuanya tahu, dia bisa diomeli dan uang sakunya akan dopotong. Daripada dipotong, Bela lebih suka jika berbagi dengan teman sebangkunya tersebut.
"Mau nyicip punyaku?" Tawar Tsauna.
"Tidak. Gigiku bisa sakit kalau makan coklat, aku lebih suka keju." Ujar Bela, menyentuh permukaan pipinya.
"Tsauna!" Tsauna menoleh. Bela melihatnya dengan pandangan ragu.
"Ada apa?"
"Ah, tidak... tidak apa-apa." Sahut Bela memalingkan wajahnya ke arah yang lain. Kelopak matanya berkedip, gadis itu merasa tidak enak untuk membohongi Tsauna. Temannya itu terlalu baik.
Maka perlahan Bela menghadap ke arah Tsauna kembali.
"Tsauna!"
"Aku siap mendengarkan." Respon Tsauna sembari mengerjakan PR nya kembali.
"Tadi... Aufar meminta alamat rumahmu."
Tsauna menoleh. Dahinya berkerut dan menyadari satu hal saat melihat mata Bela yang juga melihatnya. Aufar sudah tahu alamat gadis itu. Hanya menunggu waktu sampai kakak kelas Tsauna itu datang untuk bertamu.
Percuma rasanya Tsauna memarahi Bela. "Kak Aufar mengancam akan membocorkan rahasiaku ke kak Sultan? jadi, maaf... ."
"Sudahlah, mau bagaimana lagi? sudah terjadi bukan? si Aufar itu memang layak untuk dimaki." Ujar Tsauna.
Tsauna mengelak ketika Aufar ingin mendekatkan bibirnya ke daun telinganya.
Tiga teman Aufar mengunci gadis itu dengan berdiri di belakang Aufar. Tsauna tidak takut, hanya merasa risih sampai rasanya ingin muntah.
Aufar tidak perduli dengan tatapan tajam Tsauna kepadanya. Pemuda itu justru menikmati setiap gadis itu memutar bola matanya dengan berdecak kesal.
Sudah lama Tsauna menjadi seseorang yang tidak bisa dia dekati. Selalu ada Dirta, Bima dan Mauris di samping gadis itu sebagai pelindung. Bukan Aufar ingin berlaku kurang ajar... tidak. Dia hanya ingin dekat, itu saja.
"Kita pulang bersama?" Ajak Aufar. Rambut depannya menjuntai ke alis. Dan itu sudah lama menjadi alasan guru Bk berceramah kepada pemuda tersebut.
"Jangan ngelunjak Aufar!" Geram Tsauna, tidak ada lagi kata 'Kakak' dalam kalimatnya.
"Aku dengar ada warung sate kelapa kesukaan kamu. Nanti aku traktir." Ujar Aufar menyeringai.
"Kamu... memata-mataiku?!"
"Tidak. Hanya untuk memastikan kamu selamat." Sahut Aufar. Bagaimana pun pemuda itu tidak ingin Tsauna takut kepadanya.
"Minggir!" Pandangan Tsauna semakin tajam. Perlahan beralih kepada tiga anggota geng Aufar. "Atau aku aduin ke guru BK!"
Aufar memutar tubuhnya menjadi menghadap kepada ketiga temannya. Lalu bertanya, apakah dirinya kurang tampan? serempak temannya menjawab tidak.
Lalu pemuda itu menghadap ke Tsauna kembali.
"Aku yakin seleramu bukan yang murahan kan? semua terpesona hanya dengan aku kedipin mata."
"Kamu bangga hanya dengan itu?" Tsauna meremehkan. Lalu tergelak. Tawanya luntur seketika karena mengingat Dirta yang jauh di sana. Dahi gadis itu mengerenyit, menahan luapan perasaan yang tertumpuk tanpa bisa tercurahkan.
"Aku rasa hanya kamu yang berbeda. Karena itu aku suka sama kamu." Ujar Aufar hendak menyentuh wajah Tsauna.
Gadis itu mundur satu langkah. "Cukup Aufar... kamu hanya penasaran saja kepada ku."
"Biarkan aku pergi sekarang." Ujar Tsauna pelan. Aufar menjadi bingung dengan perubahan sikap Tsauna. Dengan gerakan tangannya, pemuda itu menyuruh teman-temannya untuk memberi gadis itu jalan.
Tsauna segera melangkah cepat meninggalkan Aufar dan gengnya. Begitu sampai di gerbang sekolah, gadis itu menoleh dan segaris senyum itu terbit. "Ternyata mengelabuhimu begitu mudah, Aufar."
Haha jika saja Aufar tahu apa yang dilakukan Tsauna, mungkin dia akan langsung mendatangi rumah gadis itu. Memaksa bertemu, atau... mengancam agar bisa jalan berdua?
Tidak ada yang tahu apa mau Aufar yang sebenarnya.
Tsauna menaiki angkot untuk pulang ke rumahnya. Hanya ada dua orang di dalam angkot. Gadis itu menyiapkan uang tiga ribu di genggaman. Lalu menikmati jalanan kota Surabaya dari kaca jendela.
Dua orang yang duduk di depan gadis itu asik mengobrol. Cekikan memperlihatkan apa yang berada di layar HP satu sama lain. Dan gadis itu teringat HP nya di saku rok. Dilihatnya tidak ada panggilan, pesan atau pemberitahuan yang penting.
Tsauna penasaran... apakah benar jika Dirta melupakannya, seperti kata Mauris di sambungan telepon?
"Jalan Kareeettt.... "
Supir angkot menyadarkan Tsauna kembali ke dunia nyata. Lantas turun dan menyerahkan lembaran uang kepada supir angkot.
Terik matahari siang begitu menyengat. Gadis itu menutupi bagian wajahnya dengan sebelah tangan. Asyik menyelamatkan wajahnya dari panas membuat kakinya tersandung dan hampir saja jatuh kalau saja sebuah tangan tidak menarik bagian pinggangnya.
Tsauna terkejut, tapi mengucapkan terimakasih sambil menunduk malu.
"Aspal di jalanan tidak berhak menerima tubuhmu." Ujar penolong tersebut.
Tsauna mendongak, matanya kemudian membulat.
"AUFAR!"