Episode 03

2001 Words
Hanya ada dua alasan mengapa Aufar sampai mengikuti Tsauna ke rumahnya. Yang pertama, karena rasa penasarannya setelah sekian lama tidak bisa mendekati gadis itu. Lalu yang kedua adalah keisengan dirinya yang terkadang sulit untuk dihilangkan. Tsauna terpekik saat tangan Aufar menangkap bagian pinggangnya saat terjatuh di jalan. Rasa terimakasih itu langsung berubah menjadi kekesalan, karena ternyata pemilik tangan tersebut adalah orang yang selalu membuatnya risih dan kesal. "Dengar! pulanglah sebelum aku bersikap kasar kepada mu!" Ancam Tsauna. Mengabaikan beberapa tatapan orang yang dikenalnya. Jangan sampai dirinya menjadi bahan gosip karena kelihatan mengobrol dengan seorang pemuda. "Aku tahu kamu tidak sejahat itu." Bantah Aufar. Mengentengkan ancaman Tsauna, lalu memilih meninggalkan gadis itu lebih dulu. Berbalik sebentar sekedar menanyakan kearah mana rumah Tsauna. Tsauna mengabaikan. Tapi Aufar lebih cerdik dari Tsauna rupanya. "Ok, aku bisa tanya ke orang lain." Katanya. Tsauna mendelik. Kekesalannya sudah tidak bisa ditarik kembali. Aufar sudah mencapai puncak menguji gadis itu. "Masuk gang dua! rumah nomor dua dari kiri." Teriak Tsauna tidak mau jika Aufar, pemuda menyebalkan itu mendatangi orang lain. Lalu bertanya di mana rumah gadis itu. "Terimakasih." Sahut Aufar. Langkah kaki Aufar yang besar menyulitkan gadis itu untuk menyamai langkahnya. Tsauna memegangi bagian kepalanya ketika dilihatnya Firda_Ibu gadis itu sudah mengobrol bersama Aufar. Cukup akrab jika dinilai itu adalah pertemuan pertama keduanya. Maka perlahan gadis itu mendekati keduanya. Lalu langsung masuk ke dalam rumah begitu saja seakan tidak melihat apapun. Tidak perduli jika Ibunya memanggil dan meminta dibuatkan segelas minuman, karena Aufar tamu kehormatan sudah duduk manis di kursi depan TV. Tsauna membersihkan wajahnya dari keringat dengan tisu. Lalu mengganti baju seragam nya dengan baju santai. Perintah Ibunya beberapa saat yang lalu mau tidak mau membuatnya keluar kamar, masuk ke dapur ingin membuatkan segelas minuman. Tapi Firda sudah mendahului, hendak memberikan minuman itu ke Aufar. "Ibu senang bisa lihat teman sekolah kamu main ke rumah." "Bukan teman Tsauna kok." Sanggah gadis itu. Kepalanya mendidih mengingat kelancangan Aufar bertamu ke rumahnya. Dipikir siapa dirinya? "Rumahnya sepi, tante." Ujar Aufar. Firda tersenyum, sembari meletakkan minuman di atas meja. "Memang hanya berdua, tapi di luar ramai kan?" Katanya. "Saya tidak tahu kalau Tsauna mempunyai Ibu yang secantik tante." Puji Aufar pas sekali dengan kehadiran Tsauna. "Jangan merayu Ibu ku! atau aku seret kamu pergi dari sini." "Tsauna!" Firda memperingati anak gadisnya agar berlaku sopan terhadap tamu. Semenjak kakaknya tidak ada, gadis itu berubah menjadi lebih kasar dan keras. Firda tidak bisa mengerti dengan perubahan sikap putrinya yang tiba-tiba. Cari mati dia, gumam gadis itu. Dia tidak lagi menghiraukan Aufar, melainkan mendatangi kedua ikan peliharaannya yang harus diberi makan. Biar saja pemberi ikan tersebut menghindar darinya, bagi Tsauna sebuah kehidupan lebih penting dari keberadaan seseorang yang meninggalkannya. Kekecewaan yang tidak pernah Tsauna limpahkan kepada orang lain, selain Aufar si tengil menyebalkan. "Ibu masih ada pekerjaan, kamu ditemani Tsauna dulu ya?" "Tentu, tante." Sahut Aufar ikut mengangguk begitu Firda berpamitan ke belakang. Sepeninggal Firda, Aufar langsung berdiri dari duduknya. Menghampiri Tsauna yang sedang menempelkan hidungnya ke toples kaca. "Lagi apa?" Tanya pemuda itu mengageti Tsauna. Gadis itu mendengus. Menjaga jarak aman. "Aku aduin ke Ibu kalau kamu macam-macam." "Sejak kapan kamu jadi orang yang suka mengadu?" Tanya Aufar cengengesan. "Sudah lama." Sahut Tsauna. Gadis itu menghindar dari tubrukan bahu Aufar ke bahunya. Seakan sudah hafal kebiasaan aneh yang pemuda itu punya. Sering diganggu saat ke kantin sekolah membuat Tsauna mau tidak mau, sedikit memperhatikan pemuda tersebut. Termasuk sikap menjengkelkannya yang selalu menikkan tekanan darah. Belum lagi si Jesika, mantan kekasih Aufar. Siapa yang tahan jika terus menerus dituduh sebagai perebut kekasih orang lain? malu sekali kalau sampai menjadi pusat perhatian setiap hari. "Ibu mu tahu tentang Jesika?" Tanya Aufar. Pertanyaan yang sama sekali tidak masuk dalam pembahasan sebenarnya. "Untuk apa Ibu ku tahu?!" "Dia tidak sepenting itu sampai aku harus repot-repot membicarakannya dengan Ibu ku." Sahut Tsauna. "Nah, itu. Aufar menganggukkan kepalanya dengan garis bibir tertarik ke atas. Kamu bukan cewek senorak itu, makanya aku suka." Entah itu sebuah pernyataan, sebuah sanjungan atau malah sebuah ejekan Tsauna tidak tahu harus memilih kata yang mana. "Suka drama korea?" Lagi-lagi pertanyaan yang tidak masuk di akal, tapi mau saja gadis itu menjawabnya meski hatinya selalu kesal setiap saat. "Suka tidak?" Desak Aufar. "Iya, suka." Jawab Tsauna malas. "Tahu sebutan kalau jalan bareng cowok sama cewek, cuma berdua?" Otak Tsauna langsung merespon. Gadis itu mengerutkan kening beberapa saat, lalu memutar ekspresi kesal kembali. "Maksud kamu kencan?" Tanya gadis itu. "Tepat. Kalau sudah tahu... mau dong kencan sama aku?" Aufar mengedipkan sebelah matanya. Membuat gadis di depannya itu meringis. Jijik. ..... Tsauna terus menerus bersin setelah menghirup aroma bunga di depan rumahnya. Kata Ibunya mungkin tidak sengaja menghirup debu. Firda mengomel, mengatakan kalau anak gadisnya itu tidak punya kerjaan. Ngapain pakai mencium bunga di luar yang jelas-jelas tidak bersih dan berdebu. Tapi semua itu berntuk sebuah rasa khawatir, jadi gadis itu tidak merasa kesal. Bukannya merespon omelan Ibunya, Tsauna memilih mengobrol bersama Bela lewat panggilan telepon. Gadis itu menceritakan semua kesialannya bertemu dengan Aufar. "Salut deh aku sama kak Aufar." Ujar Bela. "Eh, hati-hati tapi kalau di sekolah. Si Jesika itu serem kalau udah pegang rambut." Tambah Bela. "Aku kan tidak salah. Kenapa harus takut sama dia? kalau mau marah... ya sama si Aufar. Dia kok yang ngejar-ngejar aku." "Lagian aku tidak ada hati sama Aufar. Tidak segampang itu untuk aku berpaling ke orang lain." Bela mengerti. Tsauna memang tidak pernah melirik siapapun semenjak kepergian Dirta. Kesetian gadis itu sudah tertancap di hati dan tidak akan ada yang bisa mencabutnya, kecuali jika Dirta sendiri yang mencabutnya. Bela memang tidak mengenal siapa sosok Dirta, dirinya hanya sebatas tahu jika pemuda itu adalah kakak kelasnya dan sudah lulus dari SMA. Bela juga belum lama ini berteman dekat dengan Tsauna, karena mereka baru saja menjadi teman satu kelas. Berteman dengan Tsauna memberikan keuntungan tersendiri untuk Bela. Tsauna itu cantik, bidadari sekolah kalau kata anak-anak yang lain. Otomatis selalu menjadi sorotan di sekolah. Jadi dengan tidak sengaja, Bela juga ikut menjadi sorotan karena berteman dekat dengan Tsauna. Tapi sebenarnya bukan itu yang Bela suka dari Tsauna. Bagi Bela, Tsauna adalah seorang gadis berparas bidadari yang menyembunyikan sayapnya. Tidak suka menonjolkan diri dan tidak merasa kalau dirinya cantik. Dia tipe orang yang biasa saja dengan titel cantik. Malah gadis itu pernah bilang kalau kecantikannya itu membuatnya tidak beruntung. "Terus ajakan kencan dari Aufar bagaimana?" Nah, itu juga yang sedang menjadi pertimbangan Tsauna. Bagaimana harus menolaknya jika tentu saja pemuda itu tidak menerima penolakan? Jangan coba-coba menolak seorang Aufar, atau pemuda itu akan lebih bersemangat dengan apa yang ingin dia lakukan. Contoh saja saat pemuda itu ingin mengantar Tsauna pulang. "Tentu aku tolak, Bel. Tapi... apa dia mau ditolak?" "Hahah tidak. Bela tertawa di seberang sana. Lakukan saja lah Tsauna. Toh, dia itu bukan tipe orang yang suka macam-macam." "Seperti sudah kenal ya kamu sama Aufar?" Tsauna menjadi curiga. Ditambah suara gagap Bela kemudian. "Haha... i iya lah kan... kita satu sekolah." "Nikmati saja yang ada Tsau... belum tentu juga kan, kalau kak Dirta di sana mikirin kamu juga?" Tsauna sebenarnya ingin mengelak dari ucapan Bela barusan. Hatinya tidak mengijinkan siapapun untuk meragukan kebaikan seorang Dirta, yang sudah cukup lama dia kenal. Hari minggunya yang selalu dia habiskan bersama, bahkan dua ekor ikan yang menjadi saksi kedekatan mereka. Apalagi yang harus Tsauna ragukan dari pemuda tersebut? selain jarak tentu saja. Tidak ada telepon tidak masalah. Mungkin saja benar-benar sibuk, tidak sempat mengangkat telepon. Tsauna tahu, Dirta berbeda dengan kakaknya ataupun dengan Bima. Dirta lebih serius dalam pelajarannya, jadi mungkin saja itu menjadi alasan yang kuat mengapa setiap kali gadis itu menelpon kakaknya, pemuda itu tidak pernah ada. Tsauna membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Menghalau segala pikiran tidak menyenangkan dengan menutup mata. Tapi justru suara Aufar yang mengajaknya kencan terus berdengung meminta untuk didengarkan. "Tidak, tidak... menunggu sampai akhir agar tidak ada penyesalan." Gumam gadis itu. Hatinya tidak boleh goyah dengan alasan apapun. Aufar datang di saat kegalauan melanda gadis itu. Memberikan celah lebih besar agar bisa mendekatinya. Maka pagi itu... Aufar sudah menunggu gadis itu di depan gang bersama motornya. Mulanya Tsauna terkejut, ingin sekali memutar arah agar tidak bertemu dengan pemuda itu. Tapi... tidak! dirinya harus berani agar tidak diremehkan terus menerus. Tsauna berjalan dengan percaya diri. Melewati Aufar dan menunggu angkot lewat. Aufar menyeringai, semua cewek sama dimata pemuda itu. Sok cuek, sok tidak suka padahal ingin sekali dikejar. Tapi Aufar tahu, kasus Tsauna ini berbeda. Gadis itu memang tidak menyukainya. Bahkan tidak melirik satu cowok pun selain Dirta, teman kakaknya. "Cewek! Aufar bersiul. Itu membuat Tsauna menoleh ke sekitar, tidak ingin menjadi perhatian tetangga. Ada ojek dianggurin aja." Ujar Aufar. "Aku anterin." Putus Aufar. Tsauna ingin membantah, berdebat. Tapi tidak untuk saat itu. Akhirnya mau tidak mau gadis itu duduk di boncengan Aufar. "Tumben nurut?" Aufar merasa takjub. "Cepet!" Tsauna mencubit pinggang Aufar hingga pemuda itu menjerit keskitan. Syukur! Motor segera Aufar nyalakan sebelum beberapa detik kemudian dia lajukan menuju sekolah. Tsauana merapikan rambutnya yang tertiup angin, dan baru tersadar jika kepalanya tidak terbalut helem. Pundak Aufar menjadi sasaran. Beberapa kali cubitan Tsauna berikan tidak perduli jika Aufat menjerit kesakitan. "Nyubitnya nanti saja aku lagi nyetir." Ujar Aufar. Tsauna diam. Benar juga. "Kamu galak sekali." Ujar Aufar. "Sudah tahu tapi masih mau dekat-dekat." Cibir Tsauna. Lupakan dulu jika mereka berdua sedang bermusuhan. Karena nyatanya gadis bermata sipit itu mengeratkan pegangannya ke bahu Aufar kala pemuda itu menambah kecepatan. Tidak lama motor Aufar sudah terparkir di area sekolah. Tsauna turun dari boncengan dan rasanya dia tidak perlu mengucapkan terimakasih. Apalagi Jesika mengamatinya dari sudut parkiran. Tatapannya seakan menguliti gadis itu dengan perlahan. Tsauna mengeluh dalan hati, mengapa Jesika tidak paham juga? kalau bukan dirinya lah yang menyebabkan hubungan mereka tutup usia, dan bukan Tsauna lah yang menggoda Aufar. Aufar berjalan cepat menyusul Tsauna, berjalan bersampingan. "Jesika merhatiin kita." Bisik Tsauna, santai sekali menuju ke kelas. "Biarin lah." Sahut Aufar. "Aufar... " Gadis itu berhenti melangkah. Takut-takut Aufar menoleh lalu melangkahkan kakinya menjauh. Daulani, Samsir dan Haris menyambut kehadiran Aufar. Memberikan berita yang baru saja menetas. Berita tentang anak kelas dua belas yang ketahuan berciuman dengan anak kelas sebelas. Kejadiannya siang kemarin. Daulani menuding Aufar. Jangan-jangan pemuda itu yang kepergok, soalnya baru-baru ini kan begitu aktif mengejar Tsauna. "Beruntung kalau Tsauna mau aku cium. Aku deketin saja empet." Ujar Aufar. Ketiga temannya langsung lega. Soalnya dengar-dengar anak yang ketahuan berciuman itu akan dikeluarkan dari sekolah. "Lagian, ciuman kok sampai kepergok." Cibir Aufar. Tidak profesional sama sekali. Mengingat dirinya sendiri yang termasuk ahli dalam melakukan hal tersebut, Aufar menjadi jumawa. Semua gadis yang takluk di tangannya sempat dia kecap manisnya. Dari bibir yang tipis, penuh, sexi semua pernah dia rasakan. Termasuk Jesika yang ternyata terlalu terobsesi kepada pemuda itu. Jesika mendatangi Tsauna di kelasnya. Bela langsung berdiri menghalangi ketika menyadari kehadiran Jesika. Tentu ada niat tidak baik jika gadis itu menemui Tsauna. "Hebat kamu. Rupanya punya pengawal pribadi?" "Siapa?" tanya Tsauna. Dan lirikan Jesika mengenai wajah Bela. "Dia temanku." "Kalau cuma mau berbasa-basi aku minta tolong, mendingan pergi saja aku mau fokus sama pelajaran." Ujar Tsauna. Kalimat yang sangat menyinggung Jesika. "Dengar!" Bentak Jesika. Menarik perhatian seisi kelas. "Aku sudah berbaik hati memperingatkan kamu, jangan mendekati Aufar." Suaranya begitu menekan dan mengintimidasi. "Kalau kamu tidak bodoh, seharusnya kamu tahu." Balas Tsauna santai. Jesika ini membuat Tsauna jengah. Bukan tipenya harus berhadapan dengan permasalahan yang norak seperti itu. Kalau bukan Aufar yang memulai segalanya... kehidupan gadis itu akan baik-baik saja. "Tanyakan saja kepada Aufar, kenapa dia sampai ninggalin kamu. Padahal aku tidak menggodanya, mendekatinya apalagi ingin berpacaran dengannya." "Cewek kurang ajar!" Jesika memaki dan mendorong tubuh Bela yang menahannya agar tidak mendekati Tsauna. Tubuh Bela roboh, Jesika lebih kuat dan barbar. Berani mendekati ku, tidak akan aku maafkan. Batin Tsauna. Gadis itu sangat tenang. Sudah Tsauna duga kalau Jesika akan menarik rambutnya, tapi gadis itu tidak sempat mengelak dan akhirnya terjadilah adegan tarik menarik rambut. Kelas menjadi heboh dengan teriakan keduanya. Belum lagi seisi kelas yang seakan mendukung kejadian tersebut tanpa maksud benar-benar ingin memisahkan keduanya. Situasi semakin memanas saat guru BK bertindak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD